Nawal El Saadawi, Ikon Pejuang Hak Perempuan Mesir Wafat
Nawal El Saadawi meninggal di usia 89 tahun, pada Minggu 21 Maret 2021. Semasa hidup Nawal El Saadawi dikenal sebagai pejuang yang mengupayakan penghapusan praktik diskriminasi atas perempuan di Mesir. Pikiran dan kisahnya dituangkan dalam puluhan buku yang membuatnya terkenal sekaligus banyak menerima ancaman mati lantaran menuliskan dampak buruk budaya patriarki terhadap perempuan. Salah satu bukunya yang populer adalah Perempuan di Titik Nol.
Dilansir dari Al Jazeera, anak Nawal El Saadawi, Mona Helmy, menyebut jika ibunya meninggal di rumah sakit di Kairo setelah menderita sakit di masa yang cukup lama.
Nawal El Saadawi diketahui lahir di Kafit Tahla, tahun 193I. Ibunya berasal dari lingkungan berada, sedangkan ayahnya bekerja sebagai petugas pemerintah, dengan gaji yang sedikit.
Usia 10 tahun, Nawal El Saadawi dipaksa menikah. Namun ia menolak dan ibunya mendukung keputusannya. Umur 13 tahun, ia menulis novel pertamanya, dan orang tuanya mendorongnya untuk terus menuntut ilmu.
Omnia Amin, rekan dan translatornya menuturkan pada BBC di tahun 2020, jika ia pernah marah terhadap neneknya karena mendengar perkataan jika, "Satu laki-laki itu nilainya sama dengan 15 perempuan," kata Omnia Amin.
Ia lantas terus menuntut ilmu sambil menulis, mendokumenstasikan kekerasan dan diskriminasi yang dialami perempuan di lingkungannya. Termasuk pengalamannya menjalani khitan perempuan yang sangat menyakitkan.
Di tahun 1955, ia berhasil meraih gelar sarjana kedokteran dari Universitas Kairo. Ia lantas bekerja sebagai dokter dengan spesialisasi psikiatri.
Nawal El Saadawi Menulis 55 Buku
Ia lantas diterima sebagai direktur kesehatan publik di Pemerintahan Mesir, sebelum dipecat karena menerbitkan buku non fiksinya tentang Perempuan dan Seks di tahun 1972. Di dalamnya ia menuliskan tentang beragam penindasan berdasar kelamin yang dialami perempuan, sekaligus tentang khitan perempuan atau female genital mutilation (FGM).
Sedikitnya 55 buku telah ditulisnya sepanjang hidupnya. Buku-bukunya telah diterjemahkan sedikitnya ke dalam 40 bahasa.
Buku yang melambungkan namanya berjudul Perempuan di Titik Nol terbit di tahun 1975. Buku berdasar kisah nyata itu menceritakan pengalaman seorang perempuan menjelang eksekusi mati dari pemerintah.
Selanjutnya, tahun 1977, bukunya berjudul Wajah Telanjang Perempuan, memantik kritik yang luas. Buku tersebut berkisah pengalamannya sebagai dokter dan banyak menemukan kekerasan seksual, tradisi mati untuk menjaga kehormatan, dan prostitusi.
Tak hanya keras dalam menulis dan berupaya menghapus dikskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan, Nawal El Saadawi juga pernah berseteru dengan politisi.
Tahun 1981, Presiden Anwar Sadat menjebloskannya ke penjara selama tiga bulan. Ia bebas setelah Anwar Sadat tewas dibunuh. Namun buku memoar yang ditulisnya selama di penjara, dilarang untuk terbit.
Di tahun berikutnya, ia banyak menerima ancaman dibunuh dari kelompok fundamentalis. Ancaman tersebut membawanya ke pengadilan dan berakhir dengan Nawal El Sadaawi dibuang ke pengasingan di Amerika Serikat.
Penghargaan Internasional
Di sini, semangat untuk melawan kesewenang-wenangan semakin membara. Ia turut berdiri bersama kelompok feminis, sekaligus membela hak perempuan bercadar.
Sepak terjangnya dan suara lantangnya untuk melawan diskriminasi dan kekerasan berdasarkan gender dan juga ras, masalah yang banyak dialami negara di dunia, melahirkan adanya pengakuan dunia internasional.
Ia menerima banyak penghargaan dari berbagai universitas di dunia. Tahun 2020, Majalah Time menobatkannya sebagai satu di antara 100 Women of the Year. Wajahnya pun menjadi sampul majalah Time edisi Maret 2020.
1981: Nawal El Saadawi #womenoftheyear https://t.co/oBlgAS7YMS pic.twitter.com/QacO5AwMSQ
— TIME (@TIME) March 5, 2020
"Harapannya ia mendapat pengakuan dari Mesir. Ia mengatakan, menerima berbagai penghargaan secara luas di dunia, namun tak pernah mendapatkan dari negaranya sendiri," kata Amin.
Nawal El Saadawi Kembali ke Mesir
El Saadawi kembali ke Mesir di tahun 1996 dan menyebabkan protes muncul. Tahun 2004 ia mencalonkan menjadi presiden. Berikutnya di tahun 2011 ia juga berhadapan dengan Presiden Hosni Mubarak.
Di hari-hari terakhirnya, ia dikelilingi anak perempuan dan laki-lakinya. Pada hari ia meninggal, pesan pendek muncul di Facebooknya dengan kalimat, "Nawal El Saadawi...selamat tinggal."
Di mata koleganya, Nawal El Saadawi meninggalkan kesan dan kenangan yang menancap kuat. Kadija Sesay, agen penerbit bukunya di London mengingat betapa rendah hatinya Nawal El Saadawi. Dengan popularitas yang membumbung, ia sudi mendengarkan dan berbicang dengan perempuan lain, mengenai pengalaman kekerasan yang mereka alami.
"Ia juga tak ingin menjadi pahlawan bagi siapapun. Ia akan bilang, ""jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri"". (Bbc/Alj)
Advertisement