Natal dan Agama Sains
Perayaan Natal telah berlangsung dengan aman dan lancar. Selamat untuk umat Kristiani di Indonesia. Yang bisa bergembira ria di hari raya keagamaannya.
Kemeriahan ada di mana-mana. Sejumlah daerah menghiasi kotanya dengan lampu-lampu bernuansa Natalan. Setidaknya itu terlihat di Kota Solo dan Surabaya.
Menyenangkan.
Salut untuk Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Walikota Surabaya Eri Cahyadi. Keduanya telah berani memberi contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin daerah membangun keberagamaan dan keberagaman.
Di saat sejumlah kepala daerah tak berdaya dengan sebagian kelompok masyarakat yang ingin memaksakan kehendak. Termasuk dalam cara beragama. Sampai dengan mengatur bagaimana penganut agama lain harus menjalankan keyakinannya.
Memang, bagi bangsa dengan beragam agama sudah seharusnya demikian. Memberi ruang kepada semua agama dan keyakinan untuk mengekspresikan diri. Untuk menjalankan keyakinannya tanpa tekanan.
Selama ini, kebanyakan hanya pusat perbelanjaan yang melakukan demikian. Menghias tempat belanjanya dengan atribut Natal. Seperti ketika mereka menghias dengan atribut Idul Fitri saat Lebaran. Untuk menarik pasar dari umat yang sedang bersuka ria.
Apakah atribut Natal bisa merusak iman umat non Kristiani? Tentu tidak. Masak atribut saja bisa menggoyahkan iman seseorang? Begitu lemahnya iman mereka jika ini terjadi. Itu hanya kekhawatiran yang berlebihan.
Memang ada perdebatan tentang boleh dan tidaknya ummat Islam mengucapkan selamat Natal. Ada yang mengharamkan. Bahkan ada yang berlebihan. Dengan unjuk rasa melarang memasang atribut Natal di tempat publik.
Namun, Natal tahun ini makin sepi perdebatan itu. Meski masih muncul di beberapa daerah. Mayoritas umat Islam makin melihat sebagai hal biasa. Menjadikan kemeriahan Natal sebagai bagian dari keragaman bangsa.
Sebagian umat Islam melihat perayaan Natal bukan sebagai persoalan keyakinan. Juga bukan sebagai ekspresi toleransi. Tapi penghormatan atas keyakinan orang lain. Ini bukan soal keimanan. Tapi soal kehidupan bermasyarakat.
Rasanya sudah saatnya membedakan antara toleransi dan menghormati. Toleransi itu artinya menenggang rasa. Memberi ruang akan perbedaan. Dalam segala hal. Termasuk soal keyakinan beragama.
Sementara menghormati lebih pada level kehidupan sosial. Lebih berarti membangun sopan santun bermasyarakat. Konteksnya sosiologis. Agama diletakkan sebagai sebuah realitas sosiologis. Terkait perilaku sosial.
Menghormati lebih merupakan sebuah nilai bagaimana seharusnya relasi antar kelompok masyarakat terjadi. Menghormati bahwa ada umat manusia yang punya keyakinan lain dalam beragama. Menghormati demi menciptakan harmoni dalam kehidupan sosial.
Mengapa harus demikian? Sebab memang berbeda antara agama sebagai realitas teologis dan agama sebagai realitas sosiologis. Sebagai teologi, kebenaran mutlak bagi penganutnya. Agamaku agamaku, agamamu agamamu.
Sebaliknya, agama sebagai realitas sosiologis mengandaikan bahwa ekspresi dari keyakinan seseorang akan berbeda-beda. Karena nilai-nilai agama itu berkelindan dengan nilai-nilai yang telah ada. Ini yang menyebabkan cara beragama orang juga berbeda.
Memahami agama sebagai realitas sosiologis memungkinkan kita untuk lebih menerima adanya perbedaan. Menjadikan kehidupan sosial sebagai panggung atas ekspresi berbagai nilai yang dianut oleh umat manusia. Bukan sebagai dogma yang statis. Tapi dogma yang dinamis.
Dalam kelompok Islam masih ada yang berpandangan agama semata-mata sebagai teologi. Yang mengharuskan penganutnya untuk mengikuti dogma tanpa tawar menawar. Sebagai nilai yang saklek. Sepenuhnya seperti saat agama itu diturunkan di muka bumi.
Paham ini berusaha menarik kembali ekspresi kehidupan beragama yang berkembang sekarang kembali ke ratusan tahun yang lalu. Berusaha menyamakan persis. Bahkan sampai dalam hal berpakaian. Padahal, peradaban telah berubah sedemikian rupa.
Gus Muwafik, seorang penceramah agama dari Jogjakarta, memberi penjelasan logis dengan ini. Dia meyakini, upaya menarik kembali umat Islam ke dalam peradaban jaman Nabi pasti akan menimbulkan benturan keras. Juga pasti menimbulkan penolakan dari mayoritas.
Kenapa?
Sebab, peradaban umat ini sudah melaju ke depan. Seiring dengan perkembangan peradaban dunia. Ketika peradaban itu dipaksa kembali ke peradaban lama, maka akan terjadi tabrakan hebat. Seperti massa yang bergerak maju tiba-tiba dipaksa mundur kembali. Pasti akan chaos.
Belum lagi berbenturan dengan peradaban Barat yang lain sama sekali dengan Islam. Karena itu, menempatkan agama sebagai sains dan agama sebagai realitas sosiologis menjadi sangat penting. Agar agama, seperti disebutkan dalam teks, menciptakan rahmat bagi sekalian alam.
Misalnya, ada ustaz yang mengharamkan dukungan kepada pemain bola yang beragama lain. Juga mengharamkan pemain bola yang memakai celana pendek. Mereka jelas menafikan sepakbola sebagai bagian dari kehidupan masa kini dengan penonton terbanyak di dunia.
Kalau kita punya paham demikian, apakah Gus Dur dan juga sejumlah kiai yang hobi nonton bola termasuk golongan kafir? Padahal kita tahu ketokohan dan keilmuan Gus Dur dalam Islam. Juga kita tahu bagaimana kedalaman ilmu agama para kiai yang juga menggemari sepakbola.
Gus Dur punya cara menghadapi orang-orang yang suka mengkafirkan lainnya karena perbedaan cara beragama. Dia bilang, gitu saja kok repot. Kalau dikatakan kafir ya sahadat lagi. Demikian ia dengan entengnya menghadapi paham keras dalam beragama.
Seperti halnya peradaban dalam masyarakat pada umumnya, beragama pun akan mengalami tahapan-tahapan. Tahapan dalam cara memahami agama. Mulai dari tahap teologis, metafisika, dan ilmu. Tingkat pemahaman umat ini ditentukan oleh tingkat ilmu agama mereka.
Yang berbeda barangkali dalam hal basis awalnya. Dalam beragama, seseorang memulainya dengan keyakinan teologis. Keyakinan yang diperoleh dari berbagai sumber teks. Baru bagaimana mereka mengekspresikannya tentang keyakinan itu dalam kehidupan sosial.
Cara beragama teologis menjadikan teks ajaran agama sebagai mitos-mitos. Segala apa yang terjadi di muka bumi ini mutlak karena Tuhan. Tak ada ruang campurtangan manusia. Kerusakan alam dan sosial selalu dimaknai sebagai azab atau hukuman.
Sedangkan cara beragama metafisika mengandaikan alam sebagai penentu segalanya ketimbang kekuatan supranatural dan mitos. Kekuatan supranatural diekspresikan dalam benda-benda alam. Mentransformasi kekuatan Tuhan ke dalam bentuk fisik yang nyata.
Sementara beragama secara ilmu menjadikan teks sebagai sumber nilai yang bisa ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Para ilmuwan menyebutnya dengan istilah Islam Kontekstual. Menjadikan teks agama kontekstual dengan jaman dan peradaban manusia yang berkembang.
Mereka yang telah mencapai tahap terakhir ini biasanya mengekspresikan keyakinan beragamanya dengan ringan. Menjadikan agama sebagai tuntunan yang mengarahkan umat manusia dalam kehidupan sehari-hari secara aplikatif.
Dalam Islam, Kiai Bahaudin Nursalim yang akrab dipanggil Gus Baha adalah sosok pemimpin agama sains ini. Masih banyak lagi contoh dari tokoh agama yang memahami agama secara moderat. Mereka umumnya punya basis pemahaman ilmu agama yang kuat.
Tapi seperti juga dalam perubahan sosial, tahap-tahap itu tidak berjalan linier. Seperti tangga secara berurutan. Masing-masing tahap itu bisa sling beririsan dalam setiap kelompok masyarakat. Demikian juga terjadi di dalam ummat beragama.
Tapi yakinlah, perubahan itu akan berlangsung terus. Tidak akan pernah perubahan berjalan mundur. Demikian pula dalam hal pemahaman beragama. Bisa saja kini kita masih menyaksikan kelompok agama teologis yang mengingkari paham agama sebagai realitas sosiologis.
Inilah tugas para pemimpin semua agama. Meyakinkan ummatnya bahwa keyakinan agamanya bermakna bagi kehidupan manusia. Menjadikan setiap perbedaan sebagai rahmah. Dengan tetap yakin Tuhan yang kita yakini adalah benar.
Saya setuju dengan Gus Dur: Tuhan tak perlu dibela. Yang perlu dibela adalah keadilan di muka bumi ini. Demi peradaban yang mensejahterakan. Peradaban yang mendamaikan untuk kehidupan bersama.
Asyik kan? (Arif Afandi)