Nasionalisme Ngopi
Kemarin, ada hari penting nasional, namanya Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret. Karena terbitnya tanggal 11 Maret. Sejak itulah roda kekuasaan beranjak. Berputar. Seperti gasing. Cepat dan garang. Menjadi sejarah nan panjang. Namanya Orde Baru.
Sejak kemarin, ada hari penting nasional yang lain. Masih baru. Namanya bisa disingkat juga, seperti Supersemar. Terbitnya juga 11 Maret. Meski sama-sama 11 Maret, yang ini tidak bisa begitu saja disebut Supersemar. Bisa gawat.
Hari baru itu singkatannya berbunyi Harkopnas. Mirip dengan singkatan Hari Koperasi Nasional. Tapi ini bukan koperasi, melainkan kopi. Maka perlu rembugan agak serius biar tidak ada gontok-gontokan dengan orang koperasi. Gontok-gontokan yang tidak seru, malah bikin malu.
Harkopnas yang ini kalau dipanjangkan bunyinya: Hari Kopi Nasional. (Usul: Harpinas, Harkonas, atau kalau perlu tidak ada singkatan babar blas mungkin malah baik. Menyebut agak panjang kata barang sedikit kan tidak membuat orang batal ngopi. Iya kan).
Harkopnas sudah mencoba berputar. Hanya tidak bisa cepat. Hanya tidak seperti gasing. Tetapi tetap mencoba berputar. Dicoba tercatat, dan kelak semoga jadi sejarah.
Lalu namanya apa? Orde Baru Kopi? Tentu tidaklah. Kurang kreatif kalau pakai nama itu. Akan banyak pula "tudingan" berbau-bau cerita yang sudah lewat. Pun, kopi selalu punya imajinasi baru, jadi tak perlu di-orde-kan supaya lebih ada ruang untuk selalu menjadi baru sesuai dengan zaman.
Hari Kopi Nasional. Ini baru buat kita. Baru buat Indonesia. Sebuah cetusan nasionalisme yang memang wajib. Wajib yang harus. Harus yang sesuai zaman. Namun tidak ikut-ikutan. Tidak norok bontek. Tidak hanya karena usum kopi. Tidak karena usumnya bikin warkop. Karena warkop selalu ramai. Ramai juga dengan maksud dan tujuan.
Hingga sejauh ini, kita tahunya, orang Indonesia tahunya, ada Hari Kopi Internasional. Jatuh setiap tanggal 1 Oktober. Diperingati, dirayakan, dibahagiakan secara internasional. Banyak acara digelar, mulai yang sederhana hingga yang spektakuler. Intinya, hari itu, adalah memuliakan yang namanya kopi. Maka meriahlah Hari Kopi Internasional.
Beberapa negara penghasil kopi memiliki hari kopi sendiri. Memang tidak begitu terlihat. Tidak begitu bergaung. Dan mungkin tidak sehebat perayaan Hari Kopi Internasional. Juga tidak sedahsyat publikasi dan opini yang terbentuk. Tapi mereka punya. Dirayakan di negaranya masing-masing.
Indonesia ini penghasil kopi juga. Penghasil kopi kelas dunia pula. Memang Indonesia masih kalah sama Brazil. Masih kalah juga dengan Columbia. Pun, tertinggal dengan Vietnam, anak bawang yang mulanya belajar kopi ke Indonesia. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur, adalah gurunya. Masih belum lama. Masih bisa dihitung dengan jari jumlah tahunnya.
Sekarang? Huihhh jangan tanya. Vietnam, dia itu, sudah jadi raksasa yang mampu menyalip gurunya. Selangkah di depan kita. Ini cerita hebat. Tapi itu hanya cerita. Tahun depan bisa kita susul mereka-mereka. Asal kita kuat. Asal kita punya nasionalisme. Tertinggal itu hanya masalah waktu saja. Dan waktu bisa melompat.
Mari kita mulai yang satu ini. Memperbesar bara perkopian Indonesia. Mari kita mulai dengan cerita hari kopi milik sendiri. Hari Kopi Nasional. 11 Maret kita mulai. Setiap 11 Maret kita bergerak. Mulai dari sini, ayo kita berangkat bergerak. Hari Kopi Nasional. Hari kopi kita sendiri.
Ayolah. Boleh jadi 11 Maret kemarin kita belum terlalu siap. Siap untuk segalanya. Stakeholders perkopian belum bulat suara. Sudah bulat sebenarnya, hanya menggelindingnya belum besar.
Lalu kapan besarnya? Coba lagi 11 Maret tahun depan. Perayaan dengan kekuatan maksimal tentu bukan hanya impian seperti si punguk merindukan bulan. (widikamidi)
Advertisement