Nasionalisme Bola
Piala dunia sampai pada puncaknya. Tinggal menunggu siapa yang akan jadi jawara: Perancis atau Kroasia. Malam ini. Minggu (15/7/2018) di Stadion Luzhniki, Moskow.
Banyak yang mengunggulkan Kroasia karena sentimen ingin tampilnya juara baru. Perancis masih dianggap mewakili kemapanan meski baru sekali berhak memasang bintang di dada.
Tapi kita lupakan dulu berbincang teknis soal juara piala dunia. Mari bicara tentang sesuatu di balik gegap gempita laga sejagat setiap empat tahun sekali ini.
Piala dunia akhirnya bukan soal laga sepak bola. Ia telah menjadi sebuah sistem. Ia menjadi rezim dunia di atas negara bangsa. Ia berkembang menjadi rezim cabang olah raga lintas negara dan bangsa.
Rezim per definisi adalah serangkaian peraturan, baik formal (misalnya, Konstitusi) dan informal (hukum adat, norma-norma budaya atau sosial, dll) yang mengatur pelaksanaan suatu pemerintahan dan interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat.
Rezim bola kurang lebih demikian. Ia adalah serangkaian peraturan yang mengatur organisasi sepakbola dengan segala kegiatannya. Inilah rezim yang telah berhasil menata dunia. Satu peraturan yang diikuti oleh seluruh dunia di bawah "pemerintahan" bernama FIFA.
Sebagai rezim ia sangat kuat. Bahkan bisa mengalahkan negara pemerintahan yang begitu digdaya. Melanggar statuta, sebuah negara bisa dihukum FIFA. Jepang pernah merasakan hukumannya. Indonesia juga.
FIFA menjadi "penguasa" atas negara dan swasta. Ia membawahi negara-negara. Juga mewadahi berbagai klub bola yang telah menjadi industri bola dengan aset dan omset yang menggila.
Transaksi jual beli pemain bisa terjadi setiap saat dengan nilai trliliunan rupiah. Inilah valuasi atas skill dan keahlian seseorang yang belum bandingnya. Aset pemain bintang yang hanya dibeli miliaran rupiah bisa dijual triliunan.
Saham terbaik perusahan bluechips pun tak beranjak sampai ratusan ribu rupiah per saham. Bandingkan dengan nilai transfer Shaqiri yang baru saja diambil Liverpool. Juga Christiano Ronaldo yang diambil Juventus dari Real Madrid.
Rezim bola juga telah menjadi anti tesis bagi persaingan antar negara di dunia global. Inlah sebuah persaingan yang secara resmi dipatuhi semua negara dengan sportif dan fair.
Rezim bola pada dasarnya merupakan model pengelolaan dunia global yang ideal. Ia menyatukan warga dunia tanpa harus mengabaikan nasionalisme masing-masing negara. Ia menyedot emosi warga global dengan penuh euforia dan gembira.
Dalam politik, negara-negara berusaha membuat rezim di bawah PBB. Namun, lembaga yang berpusat di New York ini tak berhasil membuat tatanan dunia yang tenteram. Apalagi menyenangkan dan membuat warga dunia bahagia.
Nasionalisme dan persaingan untuk menjadi superior di dunia tak bisa diatasi oleh PBB. Perang dagang masih bisa menggoncang ekonomi dunia. Persaingan senjata tetap membawa korban kemanusiaan di mana-mana.
Rezim dunia di bawah payung PBB tak pernah berhasil melindungi negara yang lemah. Juga tak mampu memberi sanksi negara-negara adi kuasa jika melanggar tata krama dunia. Tak pernah berhasil mencegah kekerasan Israel atas Palestina.
Nasionalisme negara bangsa tak bisa ditata secara global. Masih terlalu kecil ruang kerjasama global yang membuat semua warga dunia bisa bekerjasama dalam sebuah persaingan sehat dan menggembirakan.
Di sinilah uniknya sepakbola. Ia berhasil mengatasi nasionalisme bola dengan kepatuhan penuh. Ia berhasil menjadikan sebuah persaingan yang menyatukan. Mampu mengatur dunia lewat sebuah pertunjukan seluas lapangan bola.
Persaingan gengsi hanya muncul di panggung hijau bernama stadion. Rumput hijau dengan dua gawang itu menjadi ajang yang sangat egaliter. Negara kaya dan miskin bisa berlaga di sana. Tidak ada adi kuasa. Tak ada yang dominan, kecuali permainan sebelas orang kali dua.
Rezim bola pada dasarnya merupakan model pengelolaan dunia global yang ideal. Ia menyatukan warga dunia tanpa harus mengabaikan nasionalisme masing-masing negara. Ia menyedot emosi warga global dengan penuh euforia dan gembira.
Sepak bola menjadi model dari persaingan antar bangsa tanpa harus melanggar kemanusiaan. Ia menjadikan warga sebuah negara mendukung negara lain tanpa harus kehilangan kewarganegaraan dan kebanggaan atas negaranya. Bola telah menjadi model tatanan dunia yang sportif yang ditakluki berbagai jenis kekuasaan.
Dunia rasanya perlu mengadopsi nasionalisme bola yang mengglobal. Bukan nasionalisme sempit yang menjadikan sumber kekacauan dunia.
Nah, mungkinkah ini bisa terjadi karena bola bundar yang menyerupai bumi kita? Kecuali mereka yang percaya dengan bumi datar.
*) Arif Afandi adalah CEO Ngopibareng.id dan Mantan Ketua Umum Persebaya