Nasionalis Harus Beragama, Beragama pun Harus Nasionalis
Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj mengatakan, kaum santri dan umat Islam telah menyatakan komitmennya dalam kehidupan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Pancasila.
Bila ia seorang nasionalis ia harus beragama. Demikian pula, bila ia seorang beragama maka ia pun harus nasionalis.
Terkait hal itu, Kiai Said Aqil berpesan kepada seluruh anggota Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) untuk terus meningkatkan semangat dalam memerjuangkan Nahdlatul Ulama. Sebab bangsa dibangun dari keluarga dan keluarga dibangun oleh seorang ibu (Muslimat NU).
Kiai lulusan Ummul Qura ini menjelaskan di Timur Tengah tidak ada yang seperti Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, tidak ada yang mengatakan hubbul wathan minal iman, nasionalisme bagian dari iman. Bagi Kiai Said hal tersebut merupakan ijtihad yang luar biasa dari seorang pendiri NU. Ketika timur tengah belum menemukan solusi setelah runtuhnya khilafah utsmaniyyah, ternyata Kiai Hasyim sudah punya konsep menyatukan agama dan bangsa.
“Anda Nasionalis harus beragama, anda beragama harus nasionalis,” tegas Kiai Said, dalam tausyiah pada kegiatan Halal Bihalal Muslimat Nu sedunia, Sabtu lalu.
“Barang siapa yang tidak punya tanah air / sejarah, maka akan terlupakan umat. barang siapa mati dengan tanah airnya maka mati syahid. Barang Siapa yang mengkhianati negaranya, halal darahnya. ini Mbah Hasyim di timur tengah tidak ada,” tutur Kiai Said
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari membangun NU untuk membangun hubungan sesama muslim dan untuk membangun persaudaraan tanah air dengan tujuan menciptakan perdamaian di Indonesia, dengan prinsip moderat dan toleran.
Tahun 1935 NU muktamar di Banjarmasin memutuskan bahwa Indonesia adalah Darussalam bukan Darul Islam. Darusslam adalah negara yang damai yang dapat merekrut suku bangsa yang ada. Inilah keberhasil Kiai Hasyim mengharmoniskan agama dan negara dengan jargon yang terkenal hubbul wathan minal iman.
PBNU sejak muktamar di Jombang tahun 2015 menggagas istilah Islam Nusantara, Islam yang harmonis dengan budaya, yang dibangun di atas infrastruktur budaya. Sehingga antara agama dan budaya bisa harmonis, Islamnya kuat, Budayanya Lestari. Islam Nusantara eksistensinya jauh dari radikal, ekstrim, dan liberal. Sebab Islam Nusantara menjaga Ahlusunnah wal Jama’ah dan menjaga keutuhan bangsa Indonesia.