Nasib Petani dan HUT Proklamasi
Sepanjang sejarah kemerdekaan yang menginjak usia ke-77, nasib petani tertinggal di belakang. Harus diakui ada perbaikan taraf hidup petani dibanding era kolonial. Repelita 1969 merupakan “awal pembangunan ekonomi secara terencana", setelah berbagai pemberontakan berhasil diredam dan Papua Barat kembali ke ibu pertiwi. Data pemerintah menunjukkan jumlah petani pada 2020 mencapai 33,4 juta.
Petani mulai dikenalkan dengan bibit padi dan jagung unggul, cara menanam padi yang benar, pupuk buatan, penggilingan padi skala kecil-menengah sehingga swasembada beras pada 1985. Listrik masuk desa, jalan aspal sampai gang-gang, SD Inpres (Instruksi Presiden) dan Puskesmas. Dan di bidang kesehatan penyakit malaria, tipes, desentri dan kolera berkurang drastis, salah satu faktornya adalah tersedianya obat generik yang murah dan kepada para petani dibagikan bahan bahan untuk membuat kakus, yang sebelumnya menjadikan tempat terbuka atau kali sebagai kakus alami.
Prof Dr Mubyarto berkesempatan mempraktikkan ekonomi Pancasila, suatu sistem pemerataan sosial yang kuat, penciptaan ekonomi nasional sesuai asas kemanusiaan; suatu roda ekonomi yang digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral. Koperasi menjadi suku guru ekonomi dan dibarengi dengan perimbangan perencanaan yang jelas dan tegas pada tingkat nasional dengan desentralisasi kegiatan demi keadilan sosial. Praktiknya antara lain pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD) dan Instruksi Pembangunah Daerah Teringgal (IDT). Biasanya IDT disingkat oleh Pak Mubyarto: Iki Duit Tengkarno (kembangkan).
KUD Ditiru Korsel dan Sukses
Kebijakan nasional yang digelindingkan sejak 1993 itu mampu menimbulkan gairah di pedesaan. Konsep KUD ditiru oleh Presiden Korea Selatan Park Chung Hie dan berhasil menciptakan ekonomi pedesaan disana. Sayang Pak Harto jatuh dan kebijakan ekonomi berubah berkiblat meniru Barat terutama sejak 100 hari kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). UUD amandemen memang mengubah pasal 33 UUD 1945, prinsip “Keadilan Sosial” diganti dengan prinsip “Keadilan” atau keadilan berdasarkan individu.
Sejak itu kehidupan petani, buruh tani tertinggal atau terpuruk. Petani pusing waktu masa tanam karena soal benih dan sulit mencari buruh tani yang pindah cari kerja ke pabrik, bingung mendapatkan pupuk yang terjangkau, tambah bingung saat panen karena harga gabah turun. Memang ada “dana desa“ yang jumlahnya lumayan, tetapi praktiknya lebih didasarkan pertimbangan politik partai.
Dalam diskusi di UNDIP (Universitas Diponogoro) pada sekitar 4 tahun lalu, seorang dosen Pancasila mengutarakan dengan masygul bahwa berdasarkan penelitian tim universitas, pembangunan di suatu kabupaten di Jawa Tengah yang mengacu pada arahan instansi Pusat ternyata tidak selaras dengan sistem ekonomi Pancasila. Tentunya tidak ada yang disalahkan karena UUD telah berubah.
Pada tahun 2011, bersama beberapa pengurus PBNU saya melihat dari dekat pembangunan pedesaan di Taiwan atas bantuan Kamar Dagang dan Intelijen negara tersebut sambil minta izin pembangunan masjid untuk TKI atas permintaan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) - NU disana dan mereka menyambut baik. Beberapa tahun kemudian untuk keperluan serupa saya berkunjung ke Korea Selatan.
Saya menjadi iri atas keberhasilan kedua negara sahabat tersebut. Korea Selatan mempunyai BUMN yang khusus mengurus permodalan, bibit, pupuk, distribusi untuk keperluan petani.Pada hal Park Chung Hie meniru Pak Harto. Kalau tidak salah, nama lembaganya adalah “Nong Hyup Corporation”.
Taiwan dan Korsel yang Bikin Iri
Di Taiwan, selama dua hari saya dan tim blusukan ke kampung pertanian. Benar-benar ngiri, pertaniannya di-manage semi modern. Ada pembibitan benih padi setiap kecamatan (sekitar 2 atau 3 desa) dengan persemaian khusus padi hanya perlu tujuh atau 8 hari kemudian benih setinggi 7 - 8 cm dipindah ke sawah dengan traktor 1 ha hanya perlu 15 - 20 menit dengan jarak antarbatang sama, sehingga tampak rapi dan produksi jauh lebih tinggi. Berbeda dengan di Indonesia dimana benih disebar di persemaian selama sebulan kemudian dicabut satu persatu dipindah kesawah. Jelas layu sekitar seminggu sehingga produtivitasnya rendah ketika sudah panen hasilnya jauh berbeda.
Ketika panen tiba, gabah harus diproses di mesin pengering gabah untuk mengurangi kadar air sehingga tahan disimpan untuk 2 tahun dan bebas dari jamur padi. Tanpa proses pengeringan seperti itu, beras dianggap tidak layak dikonsumsi karena rawan terhadap kanker. Di setiap unit pertanian, tersedia mesin pengering dan pemecah, penggilingan gabah yang dimiliki oleh unit koperasi.
Bukan hanya tanaman padi saja yang diatur tetapi juga tanaman lain seperti pisang, kentang dan tanaman lain yang dikelola di bawah kontrol departemen pertanian. Di setiap kecamatan ditempatkan dua insinyur pertanian untuk membimbing petani. Negara liberal, tetapi ekonomi pedesaan ternyata bisa dikelola dengan model setara koperasi berbasis pertanian.
Karena makanan utama mereka berbahan utama gandum, maka untuk membantu petani, setiap hari Rabu diberlakukan “rice day", setiap kantor pemerintah dan swasta wajib menyediakan nasi sebagai makanan utama. Alangkah nikmatnya jadi petani di Taiwan.
Kuncinya adalah kita praktikkan koperasi secara rasional berbasis teknologi dan manajemen semi modern, bukan koperasi alami sekedar paguyuban atau arisan. Dan prinsip lain yang bisa ditiru, jauhkan pengelolaan ekonomi secara politik. Tetapi semata berdasarkan kemakmuran rakyat dan pemerataaan pendapatan sesuai dengan “ keadilan sosial”.
Sayang prinsip keadilan sosial dalam UUD '45 telah diubah menjadi “keadilan” artinya suatu keadilan individu ala Barat. Kita didekte oleh Neo-Liberalisme. Jangan heran nasib petani merana dan hal itu telah berlangsung sejak 100 hari pemerintahan SBY. Jangan salahkan siapa-siapa, kecuali mereka yang merekayasa amandemen UUD 1945 khususnya pasal 33. Wassalam.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, tinggal di Jakarta.