Nasi Jenggo, Menu Urban yang Bikin Lidah Menari Srimpi
Namanya nasi jagung. Sego jagung bahasa Jawanya. Ada yang bilang dengan bahasa prokem, lalu menyebutnya sebagai Nasi Jenggo. Nasi jagung bukan ampok lho ya. Ada sebagian yang menyebut ampok dengan empok. Beda bentuk dan rasa meski dari ras yang sama.
(Jenggo? Jenggo kan nama lain dari Koboi Amerika? Ya begitulah prokem di kalangan para muda. Jagung menggoknya jadi Jenggo. Hanya mengambil dua huruf yang sama, J dan G. Tidak nyambung sebenarnya, tapi itulah khas orang muda. Kadang juga sak karepe dewe memakai istilah dalam berbahasa. Tidak begitu masalah sebenarnya, yang penting mereka tahu dan mau mencoba makanan asli Indonesia nan warisan nenek moyang).
Di pedesaan, menu begini sudah umum. Sangat umum malah. Karena sudah dianggap makanan harian. Sebab itu menu begini acapkali kurang laku kalau dibuat jualan. Tidak menjadikan menu yang bagaimana begitu. Tidak seksi. Kurang mengundang selera. Padahal, tampilan seperti foto itu, kalau embah-embah kita yang bikin, pasti nikmatnya bukan main.
Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, sebagian wilayah Tulungagung di bagian Selatan, Blitar bagian Selatan, Malang bagian Selatan, Pulau Madura, dan wilayah yang bergunung-gunung lainnya, pasti akrab dengan menu nasi jagung ini. Malah seringkali tidak ada nasinya, hanya jagung nyel. Alias jagung tok. Mengapa? Karena beras dirasa mahal. Tanah kelewat tandus, yang bisa lumayan hidup dan bisa dipanen hanya jagung. Maka jagung menjadi menu harian.
Di zaman susah, zaman Jepang misalnya, beras tidak ada. Beras hanya untuk penjajah Jepang meski petani kita yang tanam padi. Ketahuan menyimpan beras, kata ayah saya, siap-siap dihajar sampai lintang pukang.
Kalau apesnya kelewatan, perut harus rela ditembus bayonet. Dan mati. Mati untuk peringatan yang lain agar jangan main-main dengan beras. Supaya tidak mati gara-gara beras, hidangan yang aman adalah memasak gaplek dan jagung.
Masih di zaman susah, zaman awal-awal kemerdekaan RI, jagung paling favorit. Gaplek pelan-pelan ditinggalkan. Gaplek dihibahkan menjadi makanan sapi dan ternak lainnya.
Jagung ditanak kasar dicampuri sedikit beras. Jadilah nasi jagung. Kreasi lainnya agar menghemat beras, jagung digiling atau ditutu sangat halus. Jadilah ampok. Ada yang menyebut empok. Topingnya adalah daun ketela dimasak pakai santan, goreng teri, lalu sambal terasi. Huhhh, lidah sudah menari seperti tari Srimpi. Lemah gemulai tapi menyimpan kekuatan.
Zaman susah sudah menghilang. Berganti menjadi zaman kekinian. Jagung pun menghilang. Menyusul kerabatnya si gaplek. Dihibahkan menjadi makanan ternak.
Pun jagung bukan lagi tanaman favorit. Jagung sangat murah harganya. Sebab itu Indonesia lebih senang mengimpornya dari negara lain. Jumlahnya berkapal-kapal. Lagi pula rente impor lebih seksi ketimbang menanam sendiri. Semuanya diimpor untuk pakan ternak. Bukan lagi menjadi santapan kita sehari-hari. Santapan yang selalu membuat perut serasa kenyang seharian.
Pun sawah-sawah jarang ada jagung. Adanya padi. Padi menari-nari, tapi impor beras lebih bisa menari cacaca juga dansa-dansi ala tarian Dewi Sri.
Kekinian membuat nasi jagung ikut bermigrasi. Seperti manusianya, suka hidup di perkotaan. Nasi jagung kini malih rupa menjadi menu favorit bagi masyarakat urban. Saat menyantapnya ingatan boleh jadi melayang-layang seperti kembali ke desa. Tapi apa ya masih punya desa to?
Nyaris, di setiap pasar di Surabaya ada yang jualan nasi jagung. Gayanya plek meniru gaya ndesa. Nasinya hanya plentong-plentong sedikit, jagungnya yang buanyak. Mungkin kalau nasinya diambil, satu loyang hanya bertemu 20 butir nasi. Sedikit amat. Seperti hanya kamuflase agar jualan menjadi lebih seksi saja.
Di kawasan pasar obrakan (karena sering diobrak Satpol PP) di pasar Pacuan Kuda, Sawahan, Surabaya, malah ada 3 orang yang jual nasi Jenggo ini. Ujung Selatan, Mas Peni asal Trenggalek. Di tengah ada si Buk, asal Bangkalan Madura. Diujung Utara Mbak Yekti asal Sukoharjo, Jawa Tengah. Sayangnya mereka tidak ajek jualannya, sebab sering semburat karena obrakan.
Di Pasar Asem, Banyu Urip, Surabaya, ada Bu Aminah dari Blitar. Di ujung pasar, lapaknya berhadapan dengan Jalan Petemon barat dan Jalan Simo Kalangan. Di tengah Pasar Kembang, di dekat blok penggilingan bakso, ada Mbah Sayem, sudah lebih 18 tahun berjualan nasi jagung. Menu dan lauknya tidak sekomplit Bu Aminah yang di Pasar Asem. Tapi selalu ludes meski baru dasar dua jam.
Nasi jagung dalam foto itu ada di Pasar Soponyono, Rungkut, Surabaya. Gaya tampilannya adalah nasi jagung Madura. Penjualnya juga asli Madura. Orang sepasar manggilnya Buk. Begitu saja. Padahal seisi pasar nyaris semua orang etnis Madura. Jadi kalau ada panggilan Buk, tidak serta merta mereka akan menoleh. Sebab semua yang berada di pasar nyaris semua dipanggil Buk. Maka perlu dijawil dulu atau langsung beli sesuatu di depannya.
Jangan remehkan lho ya, nasi jagung juga mengenal toping. Toping wajibnya adalah urap-urap, peyek, dan sambal terasi. Toping lainnya adalah pilihan, disebut iwak. Iwak opo? Iwak endog atau pindang masak merah, tongkol masak pedas, goreng iwak teri, kadang ada juga iwak ayam. Sementara sayurnya juga bisa pilih, oseng terong, manisa, kadang oseng tahu tempe, dan lainnya.
Atau full toping dan semua iwak. Harganya sama, rata-rata sama, 10 ribuan. (Entah, mereka janjian atau bagaimana). Murah kan, sementara waregnya bisa seharian. Belum terhitung sensasinya yang seperti dibawa ke ranah nenek moyang. (widikamidi)