Nasab Tak Berpengaruh, Manusia Setara di Depan Tuhan
Belakangan banyak isu dan diperdebatkan soal nasab. Ada yang mengaku punya keturunan lebih unggul di masyarakat, karena itu harus dihormati. Mereka merasa lebih utama meskipun dengan orang-orang berilmu.
Berikut uraian menarik KH Husein Muhammad soal "Manusia itu setara dan sama di depan Tuhan dan Hukum".
Nasab tak Berpengaruh
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Nabi saw bersabda :
أيُّها الناسُ إنَّ ربَّكمْ واحِدٌ ألا لا فضلَ لِعربِيٍّ على عجَمِيٍّ ولا لِعجَمِيٍّ على عربيٍّ ولا لأحمرَ على أسْودَ ولا لأسودَ على أحمرَ إلَّا بالتَّقوَى إنَّ أكرَمكمْ عند اللهِ أتْقاكُمْ
Wahai manusia. Tuhanmu Satu. Ingat. Tak ada kelebihan orang Arab dari yang bukan Arab (ajam), yang bukan Arab dari orang Arab, yang berkulit merah dari yang berkulit hitam, dan yang berkulit hitam dari yang berkulit merah, selain karena ketakwaannya kepada-Nya".
Nasab tak berguna
فَإِذَا نُفِخَ فِى ٱلصُّورِ فَلَآ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍۢ وَلَا يَتَسَآءَلُونَ
(Manakala "sangkakala" ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu) yang dapat mereka bangga-banggakan (dan tidak pula mereka saling bertanya) tentang nasab tersebut.
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ . إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
”(ingatlah) pada hari (kiamat) saat harta dan anak-anak tidak bermanfaat. Kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang pasrah, bersih dan tulus (Q.S asy-Syu’ara’, 88-89).
Nabi SAW, bersabda :
وايْمُ اللَّهِ لو أنَّ فَاطِمَةَ بنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.
"Demi Allah, andaikata/sekiranya Fatimah anak perempuan Muhammad mencuri, pasti aku sendiri yang akan menghukumnya."
Imam al Ghazali menulis dalam bukunya "Al Tibr al Masbuk fi Nashihah al Muluk":
Suatu hari cucu Nabi yang amat saleh dan rendah hati, yang populer dipanggil "Al-Sajjad" tampak sedang berduka. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Pipinya basah oleh air mata yang tak terbendung. Temannya mengatakan : "wahai, putra Husein yang mulia, cucu Ali bin Abi Thalib yang mulia dan cicit Nabi Muhammad, utusan Allah yang amat mulia, mengapa engkau berduka?".
Al-Sajjad menjawab : saudaraku, tolong jangan bawa-bawa ayah, ibu dan kakekku. Aku sedang memikirkan masa depanku sendiri, aku akan tinggal di mana sesudah aku meninggalkan dunia ini. Apakah aku akan selamat atau tidak?. Ingatlah, di akhirat kelak tak ada lagi hubungan nasab/keturunan yang bisa menyelamatkan seseorang, kecuali amal salehnya masing-masing".
Pertemuan itu Indah
Perpisahan itu menitipkan luka
Beberapa hari lalu, orang-orang yang aku cintai datang ke rumah. Anak-anak, Cucu-cucu, menantu, adik-adik, dan keponakan-keponakan. Mereka datang dari tempat-tempat yang jauh dan menjadi anggota masyarakat di tempat mereka sekarang itu dan untuk selamanya.
Pertemuan itu indah sekali, penuh derai tawa ria, cengkerama dan canda yang manis. Ia sebuah kemesraan yang merekahkan senyum dan meneteskan air mata bening yang membahagiakan. Kami bercerita masa lalu, saat masih bersama-sama di kampung tempat asal di mana mereka dilahirkan. Rindu yang panjang pun telah terlunasi.
Tetapi itu hanya beberapa hari saja. Hari ini mereka pulang, kembali ke rumah masing-masing bersama orang-orang yang mereka cintai dan akan kembali menyusuri kembali jalan menuju harapan-harapan dan impian-impian masing-masing.
Perpisahan itu, lambaian tangan kekasih itu dan pelukan yang terlepas itu selalu menitipkan luka, merenggut relung jiwa dan mengembangkan air mata duka.
Kini rumahku kembali lengang dan sepi. (28.04.23/HM)