Narasi Kebencian Masa Pendemi (4): Berharap ke NU-Muhammadiyah
Kelompok formalis telah menjadi kekuatan baru. Ini fakta. Hanya sekuat apa? Itu yang harus diteliti lebih jauh.
Politik identitas, kini kembali marak. Itu fakta yang sudah sering kita saksikan. Kalau ini, sudah sangat terang. Mudah untuk membuktikannya.
Sikap intoleransi bermunculan. Ini juga fakta yang mudah ditemukan. Data hasil penelitian soal ini banyak. Saat pembubaran FPI beberapa waktu lalu, pemerintah salah satunya juga mendasarkan kepada temuan-temuan perilaku intoleran yang dilakukan kelompok ini.
Perpecahan mengancam bangsa kita. Ini sudah banyak tanda-tanda mengarah ke sana. Gejalanya sudah terasa. Namun, mungkin perlu penelitian lebih lanjut demi akurasinya.
Kita tidak perlu menutup-nutupi kenyataan itu. Sekarang, apa yang harus dilakukan?
Jawabannya, segera cari solusi agar problem tersebut terpecahkan. Oleh siapa? Oleh kita semua. Jangan sampai terjadi bahaya-bahaya mengancam keutuhan NKRI. Merusak sendi-sendi ukhuwah kita. Mencabik-cabik harkat kemanusiaan kita. Juga membunuh harapan anak cucu kita untuk bisa tetap tenang dan tentram hidup di Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya lebih menyodorkan agar persoalan itu diselesaikan secara kultural. Pendekatan politik, bisa. Namun, pendekatan politik selalu akan menorehkan catatan: kalah-menang.
Para politisi sekarang, rasanya juga terlalu berat untuk dititipi amanah itu. Mayoritas dari mereka lebih sibuk memikirkan kelanggengan karier politiknya, daripada harus berpikir yang jlimet-jlimet seperti itu. Itu pekerjaan berat yang tidak ada anggarannya.
Pendekatan kultural mengharuskan adanya dialog. Mengedepankan akal sehat. Membangun pemahaman bersama. Tepo seliro. Memperhatikan aspek manfaat dan madharat. Rela berkorban. Dan yang terpenting, mengutamakan kepentikan kolektif daripada kepentingan pribadi atau kelompok.
Saya berpegang teguh pada prinsip relativisme. Pola gerakan Islam kultural dan Islam formalis, masing-masing punya sisi positif. Islam kultural ala Walisongo, sukses membawa Islam ke nusantara dengan cara damai. Tidak ada tetesan darah. Sementara kelompok Islam formalis, berhasil memberikan penegasan soal identitas keislaman bangsa Indonesia.
Ilmu sosial tidak sama dengan ilmu pasti. Ilmu pasti mengatakan, 2 + 2 = 4. Ilmu sosial tidak bisa diperlakukan seperti itu. Dalam ilmu sosial, kita harus tetap menyiapkan ruang untuk memberi kemungkinan lain. Karena itu, hukum relativitas harus dipegang teguh.
Saya berharap strategi kultural yang saya tawarkan di atas dilakukan oleh ormas-ormas Islam yang dulu terlibat dalam pendirian republik ini. Khususnya kepada NU-Muhammadiyah. Keduanya menjadi tumpuhan utama saya.
Ekspresi keagamaan NU-Muhammadiyah memang beda. Dalam berbagai praktek ibadah –khususnya dalam masalah furu’iyah—juga ditemukan beberapa perbedaan. Namun soal hubungan Islam dan negara, NU-Muhammadiyah memiliki rumusan yang kurang lebih sama. Beda istilah, tapi sama di subtansi.
NU-Muhammadiyah menganggap NKRI adalah solusi. Jalan tengah bagi kehidupan bangsa Indonesia yang beraneka ragam ras, suku agama dan budaya. NU-Muhammadiyah memandang membentuk Negara Islam bukanlah hal yang mendesak. Keduanya lebih berkepentingan menjadikan Islam sebagai spirit atau ruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
NU-Muhammadiyah mencapai kesimpulan itu setelah melalui kajian mendalam dan dialog yang sangat panjang. Sebelumnya, kedua ormas ini terlibat pada perdebatan panjang dengan tokoh-tokoh berbasis nasionalis dan juga tokoh-tokoh non muslim. Artinya, mereka paham bentul “asbabul nuzul dan asbabul wurudnya”, mengapa NKRI dan Pancasila jadi solusi. Ini bukan bicara idealitas. Melainkan realitas.
NU-Muhammadiyah, menurut saya, sangat memahami konteks historis sosiologisnya. Nah bermodal itu, saya berharap saat ini NU-Muhammadiyah segera tampil ke depan. Ambil prakarsa!
Demi menyelamatkan bangsa ini, NU-Muhammadiyah perlu selalu meneguhkan diri bahwa mereka adalah orang tua kandung NKRI. Keduanya, ikut susah payah mengandung dan kemudian melahirkan. Karena sebagai orang tua, maka NU-Muhammadiyah harus selalu bertekad untuk mengasuh dan menjaga keselamatannya.
Kesadaran sebagai orang tua kandung NKRI ini, harus selalu diceritakan kepada mereka yang memegang istafet kepemimpinan di NU - Muhammadiyah. Juga kepada seluruh anak bangsa, khususnya jamaahnya masing-masing. Tegaskan, bahwa pendahulu ormas ini, telah berijtihad sungguh-sungguh untuk mencari yang terbaik.
Plus-minus dari berbagai pilihan telah dipertimbangkan. Dan pada akhirnya, dengan kebesaran hati, dengan keikhlasan jiwa, dan dengan selalu menyandarkan diri kepada Allah, mereka memutuskan untuk menjadikan NKRI sebagai pilihan terbaik. Bukan Negara Islam. Bukan NKRI bersya’riat. Apalagi khilafah.
Dengan ikut mempertahankan NKRI, berarti warga NU dan Muhammadiyah menghargai hasil ijtihad pendahulunya. Begitu juga sebaliknya.
Jika pemahaman itu tertanam dengan baik, maka saya yakin warga NU dan Muhammadiyah akan dengan otomatis mengambil bagian atau berkontribusi untuk mempertahankan NKRI.
Tugas kemudian, sebagai orang tua, NU-Muhammadiyah perlu menyiapkan rumah besar untuk umat Islam Indonesia. Ingat, simbul NU adalah tali tampar melilit bumi yang tidak terikat kencang. Alias kendor. Itu artinya, NU harus bisa menjadi rumah besar yang menampung banyak orang.
Lambang Muhammadiyah yang berupa sinar terang, saya rasa juga punya makna kurang lebih sama. Yakni, sang fajar siap menerangi sebanyak mungkin umat manusia. Tidak pilih-pilih.
Agar peran sebagai rumah besar itu bisa berfungsi normal, NU-Muhammadiyah sebaiknya benar-benar menjaga diri untuk tidak terlibat politik praktis. Permainan politik yang harus dilakukan adalah cukup di wilayah politik kebangsaan dan politik kerakyatan.
Politik kekuasaan, sebisa mungkin dihindari. Itu biar menjadi wilayah orang-orang partai. Rasanya janggal, bila dalam rumah tangga, orang tua juga terlibat otot-ototan dengan anaknya dalam memperebutkan sesuatu. Hilang wibanya. Tidak memiliki trust lagi untuk sewaktu-waktu harus melerai anaknya yang sedang berselisih.
Karena itu, menurut saya, sebisa mungkin kepengurusan NU/Muhammadiyah dipenuhi orang-orang yang jiwanya sudah sumeleh. Demi kemaslahatan, siap ngalah. Siap mengambil posisi yang harus berkorban.
Orang yang belum selesai dengan dirinya. Orang yang masih bernafsu besar untuk bertarung memperebutkan sesuatu, lebih baik fokus di partai saja. NU/Muhammadiyah bukan tempat yang cocok untuk dirinya.
Kita perlu ingat kembali sejarah ketika kaum Quraisy Makkah berselisih soal siapa yang harus meletakkan Hajar Asward setelah Kakbah direnovasi. Perselisihan yang hampir menjurus ke peperangan itu, akhirnya terpecahkan dengan sosok Muhammad (saat itu belum diangkat sebagai nabi), yang dikenal berkepribadian baik.
Dan yang penting, sejak awal Muhammad tidak terlibat dalam perselisihan itu. Ini prakondisi yang sangat menunjang.
“Kami rela karena dialah orang yang dapat dipercaya,” seru para kepala suku bergembira. Hati mereka plong.
Dan ketika kepercayaan itu diperoleh, Muhammad pun bersikap sangat bijaksana. Beliau bentangkan sorban. Hajar Asward ditaruh di tengahnya. Kemudian, semua kepala suku diminta untuk memegang ujung-ujung surban itu dan mengangkatnya bersama-sama.
Semua merasa dilibatkan. Semua merasa dihargai. Diwongno! Tidak ada yang merasa diabaikan. Kepercayaan kepada Muhammad pun semakin besar.
Sungguh ini tauladan yang indah sekali. NU-Muhammadiyah perlu menirunya. Memosisikan diri seperti itu.
Ini sangat penting. Sehingga ketika perselisihan terjadi, bangsa Indonesia memiliki tempat untuk mencari solusi.
Kepribadian luhur itu, secara istiqomah dan terencana harus diajarkan oleh NU/Muhammadiyah kepada jamaahnya. Juga kepada semua anak bangsa. Lewat ribuan lembaga pendidikan yang dimiliki. Juga lewat mimbar-mimbar masjid yang dimiliki. Para khotib dari NU/Muhammadiyah idealnya punya bekal yang cukup soal peran penting ini.
Hubungan NU-Muhammadiyah, seyogyanya juga terus dipelihara. Tokoh di dua ormas ini, harus sering menjalin kerja sama. Khususnya, kerja-kerja besar terkait dengan kepentingan agama, bangsa dan negara.
Siapa pun yang memegang pemerintahan di Republik ini, idealnya secara aktif terlibat dalam pengkondisian agar NU-Muhammadiyah selalu seiring dan seirama. Jangan malah meniru strategi pecah belah yang dilakukan pemerintahan kolonial. Juga jangan sekali-kali mempraktekkan strategi belah bambu ala Soeharto. Satu diinjak, satu diangkat.
Dalam menghadapi masalah-masalah krusial, sebaiknya para elite di negeri ini menjadikan NU/Muhammadiyah sebagai rujukan. Jangan terombang-ambing dengan kekuatan baru di luar NU/Muhammadiyah. Jika NU/Muhammadiyah “merestui” pemimpin di negeri ini harus percaya diri untuk melakukan sesuatu. Bagaikan anak yang sudah mendapat restu orang tua, maka apa pun dilakukan dengan penuh keyakinan.
Maka, siapa pun yang berkepentingan agar NKRI utuh, harus ambil bagian dalam menjaga eksistensi NU-Muhammadiyah. Percayalah, jika dua pilar ini masih kokoh, masih satu pemahaman tentang NKRI, maka pemikiran-pemikiran di luar itu, akan layu sebelum berkembang.
Kata (alm) Nurcholish Madjid, NU-Muhammadiyah itu bagai sayap bagi Indonesia. Dengan sayap itu, Indonesia bisa stabil. Dengan sayap itu pula, Indonesia bisa terbang tinggi. (*)
Akhmad Zaini
Mantan Jurnalis, kini menjadi pendidik di IAINU Tuban.