Narasi Kebencian di Tengah Pendemi (2) Bagai Api dalam Sekam
Saya tidak berani memandang enteng narasi kebencian yang muncul di tengah pandemi Covid-19 ini. Ini semacam sinyal bahwa di tengah-tengah masyarakat kita ada api dalam sekam. Sewaktu-waktu, api itu bisa berubah menjadi kobaran. Dan yang terancam oleh kobaran itu, tidak hanya bangunan NKRI, tapi juga bangunan keislaman dan kemanusiaan kita.
Saya benar-benar mengkhawatirkan. Sebab, narasi kebencian yang dikembangkan adalah narasi kebencian yang dibungkus agama. Dengan kedok agama, sekelompok orang akan merasa benar –bahkan merasa mendapat pahala — ketika membela narasi itu. Sebaliknya bila tidak membela, merasa berdosa.
Pahala dan dosa bagi orang yang beragama, tentu merupakan hal yang fundamental. Nyawa pun akan dipertaruhkan. Sebab, hal iu terkait erat dengan syurga dan neraka. Terkait dengan masa depan abadi bagi umat manusia.
Karena itu, teori sosial menyebutkan bahwa konflik sosial yang dipicu agama (keyakinan) adalah konflik yang sangat berbahaya. Konflik itu, teramat sulit untuk dipadamkan. Sebab, masing-masing pihak yang terlibat konflik, akan rela mati. Bahkan, kematian itu menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. Orang itu akan mati dengan senyum mengembang.
“Mati sahid. Mati di jalan Allah. Pintu syurga terbuka lebar menunggu para mujahid fillah. Puluhan, atau ratusan pidadari sudah siap melayani apa pun yang dikehendak. Dan lain sebagainya”.
Persepsi-persepsi itu akan tertanam kuat bagi orang-orang yang terlibat konflik yang berbasis agama. Power yang dimiliki untuk menebaskan pedang atau menghujamkan pisau ke dada lawan, sangat kuat. Dan bila sudah seperti itu, maka akan sangat sulit dihentikan. Inilah, mengapa teori sosial mengatakan bahwa konflik berbasis agama sangat membahayakan.
Tentu, kebenaran dari persepsi di atas sangat layak diragukan. Gus Baha, dalam berbagai pengajian terang-terangan mengoreksi pendapat itu. Menurut Gus Baha, saat ini, tidak mudah untuk mengkatagorikan seseorang itu mati dalam keadaan sahid. Sebab, kebenaran yang mereka bela, tidak dijamin kebenarannya 100 persen atau mutlak.
Beda dengan konflik (perang) di zaman Nabi Muhammad SAW. Pihak yang membela Nabi, pasti berada di poisisi yang benar. Sedang pihak lawan yang kontra dengan nabi, pasti berada pada pihak yang salah. Benar dan salah ini terkonfirmasi langsung ke pemilik kehidupan, Allah SWT. Sebab, Nabi adalah maksum. Selalu mendapatkan kawalan dari Allah SWT. Jika salah, langsung akan dikoreksi dan dibetulkan.
Terkait dengan itu, Gus Baha selalu menekankan, dalam perbedaan (konflik apapun) meski persoalan yang dipertentangkan itu perihal agama, jangan sampai pada level menyakini kebenarannya 100 persen. Tetap hal itu berada di wilayah relativitas. Ada peluang untuk salah.
Karena itu, klasifikasi “Partai Allah” dan “Partai Setan” yang pernah diwacanakan Amien Rais, adalah klasifikasi yang sangat berbahaya. Itu klasifikasi yang (maaf) sembrono. Kurang dipikirkan secara mendalam dampak ke depannya.
Dan rupanya, model pengklasifikasian seperti itu, belakangan banyak peminatnya di negeri ini. Sekelompok orang dengan percaya diri yang ekstrim (dengan keyakinan agama) memastikan dirinya pada posisi yang benar. Sementara, orang lain atau kelompok lain diyakini “pasti” dalam posisi yang salah. Pihak yang merasa benar, punya kewajiban melenyapkan yang salah. Itu jihad. Itu membela Agama. Itu membela Allah. Itu sangat mulia di hadapan Allah.
Fanatisme! Dari pemikiran seperti, terbuka peluang untuk tumbuh suburnya sikap fanatik buta. Akal sehat sudah tidak bisa berfungsi normal sebagai kontrol.
Terkait dengan ini, mestinya para ulama terdahulu sudah memberikan tauladan luar biasa. Imam Abu Hanifah mengatakan, “Inilah yang terbaik yang bisa aku temukan dari ikhtiarku yang sungguh-sungguh atas kitab Allah dan sunnah Nabi. Jika ada hasil temuan yang lebih baik, aku akan menghargainya.” Imam Syafii mengatakan, “Pendapatku benar. Tetapi mengandung kemungkinan salah. Pendapat orang lain keliru. Tapi, juga ada kemungkinan benar”.
Relativisme. Yah…dengan mengungkapkan hal itu, baik Imam Abu Hanifah maupun Imam Syafii menegaskan soal adanya relativisme. Pendapat yang beliau miliki diyakini sebagai sesuatu yang benar. Tapi tidak mutlak. Nisbi. Kebenaran mutlak tetap hanya milik Allah SWT. Dan kebenaran mutlak itu, hanya bisa ditemukan ketika Nabi Muhammad SAW masih ada di tengah-tengah kaum muslimin.
Narasi kebencian yang marak saat ini, adalah seri lanjutan dari narasi kebencian yang sudah terbangun sebelumnya. Artinya, ini bukan gejala baru yang muncul bersamaan dengan covid. Namun, fenomena lama yang sudah bersemai puluhan tahun lalu. Pilpres 2019 lalu, menjadi penegasan bahwa polarisasi itu sudah sedemikian mengkristal.
Menurut saya, persemaian itu sudah dimulai pada era 1990 lalu. Saat itu, simbul-simbul Islam mulai dimunculkan atau diformalkan. Hal-hal yang terkait dengan agama Islam, harus diformalkan. Harus dibungkus dengan bungkus yang jelas identitas ke-Islaman-nya. Islam tidak cukup berhenti di subtansi. Tapi, harus sempurna sekaligus cashingnya.
Pola ini, beda jauh dengan pola yang dikembangkan para Walisongo ratusan tahun lalu, ketika mereka mendakwahkan Islam di Nusantara. Saat itu, justru formalisasi dihindarkan. Para Wali lebih memilih membungkus nilai-nilai Islam dengan rapi untuk kemudian dimasukkan ke dalam budaya-budaya lokal. Pola akulturasi. Misal, untuk mempopulerkan dua kalimat sahadat (syahadatain) ke masyarakat, pada Wali lebih memilih istihah sekaten.
Pola yang diterapkan Walisongo itu, istilah populernya adalah pendekatan kultural. Dan secara faktual, metode dakwah seperti itulah yang terbukti mampu merubah Nusantara yang sebelumnya beragama Hindu Budha menjadi mayoritas Islam. Proses perubahan itu, berlangsung smart. Tanpa disertai pertumpahan darah. Fenomena ini, beda dengan ketika Islam masuk ke kawasan lain, Andalusia (Spanyol) misalnya.
Karena dianggap lebih pas, lebih damai, pola strategi itu dilestarikan oleh para ulama nusantara yang pada umumnya merupakan keturunan biologis Walisongo. Akibatnya, banyak sekali tercipta budaya-budaya Islam lokal, yang tidak bisa ditemui di daerah asalnya (Makkah-Madinah). Namun, karena hal itulah, Islam dan budaya lokal menjadi berjalan beriringan. Tidak terjadi gap antara Islam dan budaya yang berkembang di nusantara.
Para ulama pelestari strategi dakwah kultural itu, pada umunya berbasis pesantren. Di era sebelum kemerdekaan, dan di awal-awal kemerdekaan, kelompok ini cukup dominan. Namun, selama pemerintahan Orde Baru mereka kehilangan panggung. Oleh Soaharto mereka dimarginalkan. Sementara di sisi lain, Pak Harto memberikan ruang gerak yang luas kepada Islam non pesantren.
Setelah berjalan kurang lebih dari 20 tahun, pada era 90-an, strategi orde baru itu mulai berimbas di lapangan. Kelompok non pesantren yang dari sisi jumlah minoritas, berada di depan. Mereka menjadi “imam”. Mereka memainkan dan mengarahkan wacana-wacana keislaman di masyarakat. Sementara pesantren, meski secara kuantitas tetap mayoritas, menjadi kelompok lemah yang kurang berdaya. Mereka harus puas menjadi penonton. Bahkan sebagian umatnya mulai larut terbawa arus.
Pada fase inilah, menurut saya, pergeseran itu terjadi. Strategi kultural yang dulu diterapkan Walisongo mulai digeser, diganti dengan pola-pola formal.
Setelah itu, identitas keislaman semakin ditampakkan. Pak Harto yang semula lebih berperforma Islam abangan, pada fase ini merasa perlu untuk menformalkan diri sebagai “muslim sejati”. Pada tahun 1991 Pak Harto dan keluarga menunaikan ibadah haji. Nama yang semula hanya Soeharto, menjadi Muhammad Soeharto.
Islam kaffah, juga mulai ramai diperbincangkan. Kajian-kajian tentang Islam mulai marak di kampus-kampus umum. Para mahasiswa yang berlatar belakang abangan, mulai rajin mendatangi halaqoh-halaqoh. Seperti Soeharto, nama mereka yang semula tidak “bernuansa Islam”, juga mulai “diislamkan”. Sebutan “akhi”, “ukhti”, “umi”, “abi” dan seterusnya dari hari ke hari semakin familiar diucapkan.
IAIN –sekarang UIN— yang sejarah kelahirannya memiliki benang merah dengan pesantren dan di dalamnya dilakukan kajian-kajian ilmu keislaman, dipandang “kalah Islami”. Bahkan, sempat muncul tudingan bahwa IAIN adalah pusat pemurtadan. Tudingan itu dilontarkan hanya gara-gara keislaman mahasiswa IAIN dinilai kalah formal.
Tahun 90-an adalah fase awal formalisasi Islam berkembang di Indonesia. Selanjutnya, kelompok ini akan terus berproses dan menemukan momentumnya setelah era reformasi pada tahun 2000-an. (bersambung)
Akhmad Zaini
Mantan jurnalis, kini menjadi pendidik di Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (AINU) Tuban, Jawa Timur.
Advertisement