Narasi Kebencian di Tengah Pendemi (1): Stop Umbar Nafsu
Bangsa ini, mungkin benar-benar sedang sakit. Di saat Pandemi Covid -19 belum reda, di antara kita tetap saja sibuk saling mengolok. Saling menyalahkan. Saling sindir. Bahkan, ketika belakangan jumlah korban meninggal semakin meningkat, beberapa ulama tersohor juga meninggal, nafsu keburukan itu malah semakin diumbar.
Alasannya prihatin. Alasannya sedih. Alasannya karena cinta ulama. Namun, bersamaan dengan itu, anak panah dilepaskan untuk menghujam dada orang lain. Orang lain yang bukan kelompoknya. Orang lain yang dibencinya.
Kalau menurut saya sih, itu namanya mengeksploitasi. Mempolitisir kematian ulama. Untuk kepentingan siapa? Ya untuk kepentingan menyalurkan nafsu pribadi. Atau nafsu kepentingan kelompok.
Coba amati narasi-narasi yang beredar di medsos. Ada yang mengungkapkan kesedihan, tapi sembari melempar pertanyaan, apakah ini pertanda negeri ini tidak diridhoi karena pemimpinnya dholim? Ada juga yang mengatakan, mengapa yang dipanggil lebih dahulu adalah ulama yang selama ini menebarkan kebaikan, tidak para ustadz yang hobby menebar kebencian?
Ada juga yang tidak kalah konyolnya. Mempersalahkan Presiden Jokowi karena tidak mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Syekh Ali Jaber. Orang itu membandingkan dengan ketika seminan Glann Fredly pada 8 April 2020 lalu. Saat itu, Jokowi menyampaikan ucapan bela sungkawa di media sosial.
Konyol. Menyedihkan!
Menurut saya, fenomena itu, mirip dengan ketika orang tua meninggal, seseorang menangis meratap, tapi sambil menyalahkan semua saudaranya dengan tuduhan yang bukan-bukan. Mungkin ada yang disalahkan karena tidak segera membawa ke dokter, ada yang disalahkan karena pas orang tua sakit sibuk bekerja, tidak sempat menunggui dan lain sebagainya.
Intinya, semua salah. Yang tidak salah hanya dirinya.
Yang pasti, memang ada seribu satu alasan untuk menyalahkan orang lain. Sebaliknya, kalau mau, juga ada seribu satu alasan untuk tidak menyalahkan (memaafkan) orang lain.
Orang yang terbiasa menyalahkan pihak lain dan suka nyinyir, apa pun peristiwa yang terjadi, bisa dijadikan “modal” untuk mengumbar kebiasaannya itu. Sebaliknya, bagi yang tidak terbiasa, maka seandainya toh memang ada kesalahan yang dilakukan pihak lain, maka orang itu tidak akan buru-buru menyalahkan. Dia mencoba berbaik sangka. Bila toh kesalahan itu benar-benar terjadi, orang itu akan dengan mudah memaafkannya.
Jadi, berbagai ekspresi yang muncul mengiringi kematian ulama yang beruntun belakangan, pada hakekatnya mencerminkan kebiasaannya selama ini. Itu adalah cermin kepribadian.
Apakah Islam memang mengajarkan begitu? Apakah Nabi dan para salafus shalih melakukan itu? Saya rasa tidak! Terus ente niru siapa?
Sungguh, saya pun sangat sedih dengan fenomena itu. Hampir setiap hari Group WA bertaburan dengan berita lelayu. Sebagian yang dikabarkan meninggal itu, para tokoh yang kiprahnya sangat besar di tengah-tengah masyarakat. Juga ulama-ulama dan habaib yang selama ini dengan sabar mendampingi umat.
Tapi, kesedihan itu, cukup saya ekspresikan dengan memanjatkan doa ke mereka. Cukup dengan memperkuat penegasan bahwa semua memang milik Allah. Pada saat yang ditentukan semua pasti harus kembali kepada-Nya.
Doa dan kalimat istirja’ (innalillahi…dst) itu, acap kali cukup saya ucapkan di lisan dengan penghayatan di hati. Tidak selalu mengirim “meme innalilah” atau kalimat bela sungkawa di medson. Toh biasanya ucapan bela sungkawa yang terangkai indah itu, dibuat orang lain dan sudah beredar luas.
Mengapa sikap saya begitu?
Ya, karena saya yakin Allah Maha Mendengar. Doa yang saya panjatkan, tidak perlu dimedsoskan. Allah sudah cukup tahu, tanpa do’a itu diwujudkan dalam “meme” yang menarik. Soal dikabulkan dan tidak, semua hak prerogatif Allah. Hanya Allah yang mengetahui, standar apa yang dibutuhkan untuk menerima doa seorang hamba.
Alasan kedua, berita lelayu sering kali juga muncul di berbagai group. Apalagi, yang meninggal tokoh terkenal. Semua group, semua komunitas dan semua media sosial pasti mengabarkan.
Bukan tidak sedih. Bukan tidak peduli. Saya sangat sedih. Saya sangat prihatin. Saya sangat peduli. Tapi, saya tidak ingin menambah kegaduhan di medsos. Tapi lebih memilih diam untuk menghayati di balik munculnya musibah yang bertubi-tubi ini.
Medsos adalah wilayah manusia. Bukan wilayah Allah.
Ini bukan berarti saya anti dengan “meme innalilah” dan ucapan-ucapan bela sungkawa di medsos. Sama sekali tidak. Di group-group tertentu, saya juga mengeirimkannya. Namun, tidak selalu. Bila toh saya kenal sanak saudaranya, maka saya lebih memilih untuk mengirim doa dan ucapan bela sungkawa secara langsung. Lewat jaringan pribadi (japri). Atau kalau memungkinkan, ya datang melayat atau takziyah.
Persoalan ini sangaja saya kedepankan. Untuk jadi renungan kita bersama. Jangan sampai gara-gara tidak mengucapkan bela sungkawa, seseorang dipersalahkan. Kedua, jangan sampai di saat musibah itu menimpa kita, kita malah sibuk mencari kambing hitam. Kita tidak juga menjadikan kematian itu sebagai pelajaran.
Prahara Covid 19 ini, melanda semua umat manusia di dunia. Penderitaan dan kerugian menimpa semua orang. Negara Arab Saudi, yang oleh sekelompok orang Islam di Indonesia dianggap “negara paling syar’i” pun tidak luput dari musibah ini. Secara materi negara itu juga mengalami kerugiaan besar. Ibadah haji dan umrah, ibadah yang sangat dirindukan oleh umat Islam sedunia, dan sekaligus menjadi ladang emas bagi negara itu, juga dihentikan.
Negara maju? Setali tiga uang. Negara super power seperti Amerika Serikat pun kalang kabut. Negara-negara-negara di Eropa yang mendewakan teknologi juga morat marit. Tidak beda juga dengan China yang saat ini sedang tumbuh menjadi raksasa baru.
Yang saya sampaikan ini, bukanlah informasi baru. Saya yakin semua sudah tahu. Namun, terpaksa saya sampaikan kembali. Sekadang untuk menunjukkan logika yang benar. Sekadar untuk menunjukkan adanya ketidakjujuran. Juga untuk menunjukkan bahwa rasa kebencian yang sudah tumbuh sumbuh di antara anak bangsa di negeri ini, telah mampu membutakan mata.
Sungguh lucu, ketika musibah ini dihubungkan dengan pemerintah yang dituduhnya dholim. Sungguh tidak logis, bila Pandemi Covid ini dihubungkan dengan kriminalisasi ulama. Ulama yang mana?
Saya tidak bermaksud membela pemerintah. Khususnya Presiden Jokowi. Saya hanya ingin mengajak, mari berpikir waras. Bangun logika yang sehat. Mari di situasi yang sangat mencekap ini, kita perbanyak doa. Perbesar rasa solidaritas. Perkuat ukhuwah untuk saling menguatkan.
Coba sekali-kali membayangkan, bagaimana seandainya, jika atas kehendak Allah, ternyata di antara yang harus pulang ke haribaan Allah di musim pademi itu adalah kita. Sementara, kita selama ini sibuk nyinyir. Sibuk mempersalahkan orang lain. Sibuk mempolitisir kematian ulama?
Sampai detik ini, semestinya peringatan dan pelajaran itu sudah terlalu banyak terjadi. Teman kita yang kemarin masih membalas cuitan kita di medsos saja, tahu-tahu dikabarkan meninggal. Syekh Ali Jaber yang masih muda dan sudah dinyatakan negatif Covid saja, tidak luput dari penggilan Allah itu.
Intinya, kematian benar-benar mengepung kita. Masak dalam situasi seperti ini, kita masih sibuk memproduksi kebencian? Masih sibuk mencari kambing hitam? Masih sibuk berdebat dan memutar balikkan fakta?
Jika Allah menghendaki, tidak ada satu pun orang yang bisa menunda atau mengajukan kematian. Wallahu a’lam! (bersambung)
Akhmad Zaini
Mantan Jurnalis, kini menjadi pendidik di Tuban.