Napak Tilas Jejak Kaki Gus Dur (1): Hadiah Terindah di Situbondo
Ini Desember. Bulan Gus Dur. Bulan yang pas untuk menghidupkan kembali memori tentang Gus Dur. Karena pada bulan ini, cucu pendiri NU Hadratus Syech KH Hasyim Asy’ari itu menghadap keharibaan Allah SWT. Tepatnya pada 30 Desember 2009.
Gus Dur orang besar. Ini bukan karena beliau pernah menjadi presiden di negeri ini --karena pada kenyataannya Gus Dur tidak terlalu menganggap penting jabatan itu--. Tapi lebih dikarenakan peran-peran sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang pernah beliau torehkan yang membekas hingga saat ini. Terutama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orang non muslim mencatat Gus Dur sebagai simbul toleransi. Karena selama hidupnya, beliau sangat gigih memperjuangkan nilai-nilai toleransi. Hambatan besar yang sering muncul dari kelompok ekstrim tidak mampu menghambat langkahnya untuk menghargai keberagaman. Gus Dur terus berusaha merawat dan menumbuhsuburkan sikap tolerensi di muka bumi.
Bagi aktivis demokrasi, Gus Dur dikenal sebagai tokoh demokrasi. Karena di tengah-tengah hegemoni pemeintah orde baru yang otoriter, Gus Dur berani tampil untuk melawan arus. Puncaknya, beliau dianggap sebagai “musuh” yang harus “disingkirkan” oleh rezim kala itu.
Namun, di luar dugaan Gus Dur tetap berdiri kukuh. Muktamar Cipasung sebagai puncak skenario untuk menyingkirkan itu, gagal total. Gus Dur tetap terpilih sebagai Ketua Umum PBNU mengalahkan Abu Hasan yang disokong pemerintah Orde Baru.
Bagi kaum terpinggirkan, Gus Dur juga dianggap bapak bagi mereka. Keberpihakannya kepada kaum lemah ini, sangat menonjol. Artis “goyang ngebor” Inur Daratista yang saat itu “diintimidasi” oleh Sang Raja Dangdut Rhoma Irama gara-gara goyang ngebornya, juga mendapatkan pembelaan dari Gus Dur. Juga dengan Megawati, Aswndo dan lain sebagainya.
Untuk warga NU? Tentu, Gus Dur menjadi “jimat” yang sangat berharga. Gus Dur adalah maskot. Tentu bersamaan dengan maskot-maskot lainnya, seperti Mbah Hasyim, Mbah Wahab, Mbah Bisri dan Kiai Wahid Hasyim. Karena di tangan Gus Dur, NU mengalami perubahan sangat besar. Gus Dur mampu mengenalkan NU atau pesantren di tingkat nasional dan internasional.
Sebelum itu, terbangun persepsi kuat di masyarakat bahwa NU atau pesantren adalah sekelompok masyarakat tradisional dan tertinggal dalam peradaban. Karena itu, NU sering kali dipandang sebelah mata. Namun dengan munculnya Gus Dur yang merepresentasikan masyarakat pesantren, maka banyak mata yang terbelalak. Gus Dur mampu menjadi duta yang begitu elok bagi NU dan pesantren.
Terkait dengan hegemoni politik orde baru yang cenderung memarginalkan NU dan pesantren, Gus Dur menorehkan sejarah yang bernama “Khittah NU 1926” pada Muktamar ke 37 di Situbondo. Secara maknawi, Khittah 1926 itu menggariskan agar NU sebagai jam’iyah diniyah kembali ke barak. Fokus “permainan jam’iah NU” di ranah sosial keagamaan seperti ketika organisasi itu didirikan pada tahun 1926. Jam’iyah NU menjauh dari hingar bingar politik.
Bersamaan dengan itu, NU juga memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal. NU adalah ormas Islam pertama yang membuat keputusan fondamental tersebut. Dan keputusan itu, akhirnya mampu merubah 180 derajat pola hubungan Islam dan negara (dalam hal ini pemerintah orde baru). Hubungan yang sempat meruncing dan memanas, akhirnya bisa diredakan. Ketegangan pun berakhir anti klimaks.
Gus Dur adalah tokoh penting di balik keputusan kembali ke Khittah dan penerimaan asas tunggal itu. Bersama Gus Dur ada tokoh kharismatik KH Ahmad Sidiq, KH Sahal Mahfudz, KH Mustofa Bisri, Slamet Effendi Yusuf dan lain sebagainya. Keputusan itu, bukan semata-mata bagian siasat politik menghadapi pemerintah orde baru yang represif. Tapi, juga didasarkan pada referensi keagamaan yang sangat kuat.
Keputusan Kiai NU di Situbondo ini benar-benar menjadi “kado” yang sangat istimewa bagi bangsa Indonesia. Karena setelah itu, Panacasila sebagai asas tunggal tidak lagi menjadi problem keagamaan yang rumit. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menjadi semakin kokoh. Karena dengan demikian, NKRI akhirnya bisa dipandang menjadi bentuk final yang tidak perlu diotak-atik lagi. Inilah sumbang sih yang sangat mahal dari Gus Dur, juga para kiai NU lainnya.
Memang, 10 tahun belakangan ini ada sekelompok “umat Islam baru” (sebagian benar-benar mualaf) yang gagap memahami konsep itu. Mereka kembali gagal paham soal hubungan Islam dan negara. Namun, hingga hari ini, mereka tetaplah kelompok minoritas. Mayoritas masyarakat Indonesia, sudah paham. Meraka berteriak lantang, ”NKRI HARGA MATI!”.
Terumuskannya konsep hubungan Islam dan negara oleh para ulama NU, mestinya harus benar-benar disyukuri oleh bangsa Indonsia. Sebab di berbagai negara Islam, masalah itu masih menjadi masalah krusial. Ketegangan, bahkan konflik fisik acap kali terjadi gara-gara masalah itu.
***
Gus Dur memiliki area pergaulan yang begitu luas. Di kalangan agamawan, Gus Dur dikenal sebagai ulama. Di kalangan aktivis demokrasi, Gus Dur dikenal sebagai ketua Forum demokrasi. Di kalangan intelektual, Gus Dur dikenal sebagai intelektual papan atas. Di kalangan penulis, Gus Dur adalah penulis produtif dengan ide-ide yang geniun dan cemerlang. Di kalngan seniman, Gus Dur tercatat pernah menjabat sebagai ketua Dewan Kesenenian Jakarta.
Performa Gus Dur benar-benar membelalakkan mata banyak orang tentang NU dan pesantren. Karena Gus Dur yang masih lekat dengan tradisi pesantren itu, ternyata mampu berinteraksi dengan dunia luar dengan begitu smart. Pelan-pelan, akhirnya pandangan orang tentang NU dan pesantren menjadi terkoreksi. Beberapa peneliti dari luar negeri pun tertarik untuk mengamati atau meneliti tentang NU dan kehidupan kaum santri.
Bagai mutiara yang terpendam lumpur. Kini, mutiara itu sudah digosok dan terlihat kemilaunya. Tidak disepelekan lagi. Situasi ini menjadi energi luar biasa bagi generasi di bawahnya. Muncul beberapa tokoh nasional dari rahim NU yang corak pemikiran dan gerakannya seirama dengan Gus Dur.
Begitu juga dunia intelektual dan akademisi. Beberapa intelektual muda pengikut arus pemikiran dan gerakan Gus Dur juga bermunculan. Mereka mampu meramaikan dan mewarnai jagat intelektual dan akademisi ini. Terutama para intelektual muda yang tinggal di Jogjakarta.
Di akhir karir saya di Jawa Pos (sekitar 2009-2011), saya sempat mendapat tugas menjaga pos halaman opini. Setiap hari puluhan naskah dari kalangan intelektual saya terima dan harus saya baca satu per satu. Bisa dipastikan, dari sekian naskah yang masuk itu, ada beberapa penulis yang merupakan “anak idiologis” Gus Dur. Mereka menulis analisis berbagai persoalan. Khususnya yang menyangkut masalah sosial keagamaan. Mereka rata-rata pemikir pluralis dan sangat gigih melawan sikap ekstim dan intoleran.
Saat ini, beberapa rektor perguruan tinggi negeri di Indonesia, juga banyak yang berlatar belakang NU. Khususnya perguruan tinggi di lingkungan Kemenag (UIN, IAIN atau STAIN). Para rektor itu mayoritas bergelar Profesor, doktor. Bisa dipastikan, para doktor dan profesor itu pada umumnya pengikut “madzhab Gus Dur”. Mereka adalah mahasiswa angkatan 90-an yang ketika kuliah dulu sangat mengidolakan Gus Dur.
Semua itu adalah fenomena baru di lingkungan NU dan pesantren. Dulu, ketika masih hidup dan menjadi tokoh penting di NU, ayahanda Gus Dur, KH Wahid Hasyim pernah mengungkapkan kegusarannya soal minimnya sarjana dari kalangan pesantren. Beliau membuat perumpamaan, mencari sarjana di NU bagai mencari penjual es pada waktu dini hari.
Di era Gus Dur dan pasca Gus Dur saat ini, sarjana di lingkungan NU sudah tidak terbilang lagi jumlahnya. Gelar profesor-doktor, sudah bukan barang langka lagi.
Pemikiran dan cita-cita Gus Dur diduplikasi dan diperjuangkan secara massif oleh sekelompk santri yang menghimpun diri dalam wadah “Gusdurian”. Mereka secara masif terus bergerak.
Bagai anak yang ingin berbakti kepada orangtuanya yang sudah tiada, mereka aktif menjaga tradisi-tradisi yang pernah dilakukan Gus Dur. Mereka merawat pertemanan-pertemanan yang pernah dirintis Gus Dur. Meraka juga mengkampanyekan pemikiran-pemikiran plural yang dulu menjadi konsen Gus Dur. (bersambung)
Akhmad Zaini adalah mantan Jurnalis sekaligus Aktivis Pendidikan Islam, aktif di IAINU Tuban, Jawa Timur.
Advertisement