Nani Soedarsono, Perempuan Tegar di Tengah Gempuran Budaya Asing
Ny Nani Soedarsono, di antara perempuan menteri yang cukup legendaris di Indonesia. Mantan Menteri Sosial pada Kabinet Pembangunan IV di usia 90 tahun, meninggal dunia, pukul 15.10 pada Sabtu, 16 Februari 2019 di RS Medistra Jakarta.
Jenazahkan dimakamkan hari Minggu 17 Februari 2019 di TMP Kalibata, Jakarta.
Almarhumah dikenal sebagai pengampu Sanggar Tari Nasional Sekar Budaya Nusantara. Dalam beberapa kali kegiatan, Nani Soedarsono banyak berharap pada generasi muda Indonesia untuk tidak melupakan budayanya sendiri sebagai identitas bangsa.
"Kita boleh terus mengikuti perkembangan kemajuan kebudayaan dunia. Tapi janganlah meninggalkan identitas kita sebagai bangsa, dengan tetap mencintai budaya kita sendiri," pesannya, saat menjadi narasumber dalam seminar digelar Dewan Kesenian Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Pada saat-saat sehat, ditemani seorang cucunya, ia selalu menyempatkan hadir dalam pelbagai kegiatan. Termasuk di antarnya, mengasuh sebuah acara di televisi pemerintah, TVRI untuk memberikan komentar acara-acara budaya, termasuk Wayang Kulit.
"Ya, saya perlu memberikan penjelasan agar generasi muda memahami budaya kita," pesannya.
"Kita boleh terus mengikuti perkembangan kemajuan kebudayaan dunia. Tapi janganlah meninggalkan identitas kita sebagai bangsa, dengan tetap mencintai budaya kita sendiri," kata Nani Soedarsono.
Nani Soedarsono SH, dikenal sebagai satu-satunya perempuan yang memimpin departemen dalam Kabinet Pembangunan IV di masa Presiden Soeharto.
Ada catatan menarik, ketika Nani Sudarsono mengunjungi daerah terpencil di NTT yang mengalami kekeringan. Pejabat setempat bingung, bagaimana caranya mengantar menteri -- dan perempuan pula -- ke daerah musibah yang hanya bisa dicapai dengan sampan dan sepeda motor. "Terpaksa saya membonceng sepeda motor pak camat," ujar Nani, dalam Apa dan Siapa 1983-1984 (Terbitan Tempo, 1995).
Menempuh perjalanan yang sulit, sebenarnya bukan hal yang baru bagi bekas anggota Tentara Pelajar Batalyon 200 ini. Ketika bertugas di Yogyakarta, Nani mendapat kabar, ibunya, yang tinggal di Purworejo, jatuh sakit. Jarak kedua kota yang cuma 66 km itu sebenarnya bisa ditempuh dalam dua jam dengan mobil. Tetapi di zaman perjuangan itu, tidak mudah mendapatkan mobil. Jarak sejauh itu akhirnya ditempuh Nani selama berhari- hari dengan mendaki Gunung Menoreh.
Rr Naryati, demikian nama lengkap Nani, dilahirkan di Purwodadi, Jawa Tengah. Masa remajanya dilewatkan di Semarang bersama kakek, nenek, dan paman-pamannya. "Tetapi bukannya dimanja. Terkadang saya dijewer dan dimasukkan ke gudang yang gelap jika malas belajar," tuturnya.
Sebelum menjabat menteri, ia sudah dikenal sebagai perempuan yang sibuk. Berbagai jabatan dipegangnya, antara lain Wakil Ketua DPP Golkar, anggota Komisi III DPR, Sekjen Kowani, dan Ketua Umum Himpunan Wanita Karya. "Namun, kalau waktu makan, saya harus di rumah," tambahnya.
Sesekali, Nani mempersiapkan masakan sendiri untuk suami dan anak-anaknya. Anak sulung keluarga Soenarjo ini sejak gadis memang terampil dalam memasak, menjahit, dan membatik. Bahkan di zaman perjuangan, ia membantu dapur umum pejuang di Salatiga.
Sejak ibunya meninggal, Nani harus bekerja keras mencari nafkah sambil merawat kesembilan adiknya. Ia menjadi penulis steno, penyiar RRI, membuka salon kecantikan, katering, dan guru, sehingga kuliahnya tertunda.
Pada 1953, Nani menikah dengan Soedarsono, kini almarhum, teman kuliahnya di FH UGM. Pasangan ini dikaruniai seorang putra dan dua putri. Putra sulungnya, Ir. Sony Suharsono, menikah dengan GRA Koes Sabandiyah, putri Sunan Paku Buwono XII.
Sementara itu, Danny Sri Sunarti dan Lita Sri Iswarini, masih kuliah di Universitas Trisakti. Begitu dilantik menjadi menteri, Nani segera melakukan penertiban. Beberapa pejabat terkena alih tugas, diganti, bahkan ada yang diajukan ke pengadilan. Langkahnya yang tegas itu menyebabkan ia dijuluki "singa betina".
"Sebagai seorang menteri, saya harus dapat bertindak tegas terhadap aparat yang menyeleweng," ujar Nani.
Penertiban bukan hanya dilakukan terhadap aparatnya. Ia juga menolak sumbangan yang berasal dari hasil pembajakan lagu-lagu Live Aid, yang ditawarkan sejumlah produser rekaman kaset.
"Pembajakan adalah suatu pelanggaran hukum, dan dana yang berasal dari usaha itu tidak layak jika disumbangkan," tuturnya.
Pemberian bantuan, menurut Menteri Sosial, "Perlu ditertibkan. Bukan hanya tertib sosial, tetapi juga tertib hukum."
Selain membatik, menjahit, dan memasak, Nani juga mempunyai hobi menata ruangan. Konon, rumah pribadinya di kawasan Duren Tiga adalah hasil rancangannya bersama Sonny. Rumah gedung berlantai dua itu seluruhnya dicat putih. Begitu juga ruang kantornya, sehingga tampak lebih luas dan bersih.
"Putih adalah lambang kesucian hati yang melandasi kehidupan manusia," ujar Nani tentang warna kesayangannya.
Nani Sudarsono, menempuh pendidikan SD di Semarang, SMP di Salatiga, dan SMA di Yogyakarta, hingga Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (S.H., 1962).
Dalam karirnya:
- Anggota Tentara Batalyon 200, Salatiga (1946-1948)
-Anggota Komando Militer Kota Semarang (1950)
-Guru SMP, SMA, dan SGA, Yogyakarta (1950-1958)
-Penyiar RRI Yogyakarta (1955-1962)
-Pegawai Ditjen Perhubungan Laut, Jakarta (1962)
-Ketua Pimpinan Pusat Jalasenastri (1963-1974)
-Ketua Koordinator Seksi Wanita Sekber Golkar (1966-1970)
-Anggota Badan Harian Koordinator Seksi Wanita DPP Golkar (1968-1973)
-Sekretaris Bidang Wanita DPP Golkar (1973-1978)
-Sekjen DPP Kowani (1974-1978)
-Ketua Badan Kontak Wanita Koperasi Departemen Perdagangan (1977-sekarang)
-Wakil Ketua DPP Golkar (1978-1983) ; Ketua Yayasan Dana Sosial (1979-1996)
-Menteri Sosial RI (1983-1987)
Kegiatan Lain :
-Ketua Yayasan Pamentas (1980)
-Ketua Umum Himpunan Wanita Karya (1981)
Kini, tokoh pejuang di masa pembangunan ini telah meninggal dunia. Semoga jasa almarhumah diterima di sisi Sang Khaliq. (adi)
Advertisement