Najwa; Antara Tuan dan Puan
Ketika menonton siaran Narasi dari Najwa Shihab yang kontroversial itu, yaitu soal Tuan & Puan, saya sama sekali tidak tertarik. Itu jelas bukan fokus saya pagi ini. Karena itu sama sekali tidak istimewa. Mengapa? Karena isi parlemen sejak reformasi memang sudah begitu.
Saya akan fokus pada muka Najwa saja. Sebab muka itu lebih sensasional, mengalahkan Fruit Cake Banana yang biasa dibeli Clara Lorenzo di Orchad Street 37, Firenze, Italia.
Firenze adalah ibukota dari region Toskana. Firenze dibelah oleh Sungai Arno. Kota ini berpopulasi 400.000 jiwa. Firenze merupakan tempat kelahiran Renaissance, sejak abad ke-14 sampai 16.
Firenze itu juga dikenal luas sebagai pusat budaya, ekonomi dan keuangan penting di Italia dan Eropa sehingga sering dijuluki sebagai "Athena di Barat".
Jika anda melihat Fruits Cake Banana, anda akan tergoda. Sebab ia terbuat dari bahan-bahan bermutu tinggi dan disajikan dengan penampilan yang sangat artistik. Mengundang selera. Pijar-pijar cake kesukaaan warga Firenze itu selalu menampakkan keberanian; persis seperti muka Najwa yang selalu meletupkan kata-kata cerdas penuh selidik. Gerak-gerik bibirnya kerap membuyarkan rasa takut yang tak bertepi.
Saya tidak tahu pasti, mengapa wajah indah itu tercipta diruang publik. Kini di tengah merebaknya kontroversi seiring narasinya soal Tuan dan Puan, engkau bukan lagi sebuah nama; Dikau adalah wacana itu sendiri. Wacana yang mencerdaskan kita semua. Bagiku, kehadiran Najwa sudah cukup rasanya untuk mengobati kebekuan berfikir bangsa ini yang terlalu lama tersumbat oleh kebodohan yang akut.
Wajah Najwa memang kerap mempesona, sorot matanya yang indah juga membangkitkan keberanian yang prima. Tidak banyak jenis perempuan cerdas- berani seperti dia. Saya tengok para presenter wanita kelas dunia macam Betty Nguyen (CBS Morning News), Alysn Camerota (Fox News Channel), Melissa Theuriaue (Metropole 6), Ghida Fakhry (Aljazeera), Kiran Cherry (CNN, American Morning) Shawn Yao (Filipina), hingga Cristina Chiabotto.
Rasa-rasanya Najwa masih mampu head to head melawan mereka dengan pesonanya yang komplet; cantik, cerdas, dan berani. Cara bertanya Najwa jelas lebih nakal dari mereka semua. Walau kadang Najwa kerap terkesan menteror narasumber dengan tone-tone yang tinggi. Tak peduli seorang presiden sekalipun. Ketika itu terjadi, saya paham, dia tak bisa menyembunyikan gundah, kekesalan menangkap realitas, serta rasa gregetan yang membahana dalam jiwanya.
Saya kadang bertanya dalam hati, sebenarnya dari material apa wajah itu tercipta. Saya pun terdiam. Pikiranku menggelayut pelan menemukan jawaban. Oh ya, wajah itu betul-betul tercipta dengan Doa.
Doa seorang Abah yang alim dalam soal agama, Prof. Dr. Quraish Shihab, sebuah nama yang pelan-pelan melegenda. Nama yang akan abadi bersama Kitabnya "Tafsir Al-Misbah" yang masyhur itu.
Saya beruntung dapat gratisan saat peluncuran pertamanya di suatu hotel di bilangan Thamrin Jakarta sekian tahun silam. Saat itu Prof. Dr. Nurcholish Madjid (almarhum) dan Mar'ie Muhammad (almarhum) sebagai narasumber. Tak disangka saya termasuk salah seorang penanya mewakili kalangan jurnalis, sedangkan penanya lainnya adalah Alwi Shihab dan Habieb Chirzin.
Yang istimewa Cak Nur lebih banyak membahas pertanyaan yang saya sampaikan. Saya coba ingat apa saja pertanyaan itu, namun hingga tulisan ini ditulis saya tetap lupa. Astaghfirullah!!
Najwa dan Kontroversi itu
Memang sulit membahas Najwa hanya dari wajahnya belaka. Sebab dibalik wajah itu kerap muncul topik-topik panas yang membelalakkan mata semua orang. Topik-topik yang dibawakan Najwa sering menyentuh hal yang sensitif, tentu saja bukan hanya soal politik.
Namun pembawaannya yang tangkas itu membuat topik-topik bahasannya yang panas ikut meleleh lembut kayak ice cream. Meski kadang nampak jutek, namun Najwa tetap memiliki banyak penggemar. Mungkin dia bisa juga disebut Si Jutek Pembawa Berkah.
Dalam beberapa percakapan di media sosial Najwa sering melahirkan kontroversi. Terakhir ia menyoroti soal Tuan dan Puan.
Ada yang bertanya, apakah video talkshow yang dibuatnya itu termasuk karya jurnalistik atau bukan? Apakah Najwa mewakili kepentingan kelompok politik tertentu atau bukan? Apakah Najwa mendapatkan upah dari seseorang atau bukan? Apakah Najwa adalah orang suruhan dan lain sebagainya. Semua pertanyaan itu menambah ramai dunia maya.
Pendek kata, Najwa bukan lagi sebuah pribadi. Namun sudah mulai bergerak sebagai wacana yang terbuka untuk ditafsirkan. Oleh karena itu ketika ada kritik balik atas Najwa, maka Najwa tidak boleh lagi tersinggung. Sebab itu adalah hukum besi dalam ilmu wacana publik.
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)