Nainggolan: Perlu Perubahan untuk Hancurkan Tirani Oligarki
Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Marauke Circle, Syahganda Nainggolan, menegaskan jika perubahan sangat diperlukan untuk menghancurkan tirani oligarki yang menyandera dan mengendalikan kekuasaan.
Hal itu dikatakan Syahganda saat menjadi narasumber di acara yang diselenggarakan Simpul Jaringan Umat Institute (Sijarum Institute) di 101 Hotel, Palembang, Selasa (28/6/2022).
Syahganda berterimakasih masih ada Lembaga Negara seperti DPD RI yang terus berjuang untuk rakyat. Sebab, setelah Indonesia merdeka, rupanya masih terjebak pada persoalan sama seperti masa kolonialisme penjajahan Belanda saat itu.
Saat itu, ketika tengah diadili di dalam pengadilan kolonialisme Belanda pada tahun 1930, Soekarno dengan lantang mempertanyakan mengapa negerinya tak boleh mempunyai kebebasan sebagaimana yang dirasakan oleh Negeri Belanda. Apakah Indonesia juga tak boleh menikmati kekayaannya sendiri yang dihasilkan dari Bumi Pertiwi.
"Soekarno juga bilang, mengapa kalian mengesahkan aturan untuk buruh tani kami dengan upah yang rendah," tegas Syahganda.
Rupanya, apa yang terjadi pada saat sebelum Indonesia merdeka itu kembali kita rasakan saat ini.
"93 tahun kemudian, setelah Bung Karno mempertanyakan hal itu di hadapan pengadilan Belanda di Bandung, sekarang terjadi lagi. Kita tak punya demokrasi, kemakmuran untuk rakyat. Kita terus berada pada situasi kolonialisme. Kita diadu-domba," papar Syahganda.
Saat ini, tak ada sama sekali perubahan berarti seperti yang dialami Bung Karno dahulu.
"Penguasa dalam konteks feodalisme hanya memikirkan kalangan dan keluarga mereka saja. Inilah problem struktural. Maka, kita butuh perubahan untuk menghancurkan tirani oligarki yang mengendalikan pemerintahan kolonial sekarang. Ini namanya post-kolonialism. Kolonial selalu menstigma rakyat itu bodoh dan mereka akan tetap berkuasa," urai Syahganda.
Bagi dia, hal inilah yang menjadi problematika Indonesia pasca-reformasi. Ada problem kemiskinan struktural. Di Pelembang misalnya di tempat yang kaya raya ini, kemiskinan hanya turun 0,19 persen dari 12,98 persen. Apa yang mau dibanggakan. Negara ini sedang mempertahankan kemiskinan rakyatnya," tutur Syahganda.
Oleh karenanya, Syahganda menilai perubahan harus segera dilakukan. Kita harus kembali kepada demokrasi Pancasila. "Maka, perlu ada poros. Poros kita gerakkan hingga ke pelosok daerah," tegas Syahganda.
Narasumber lainnya, Direktur Pusat Kajian Potensi dan Pembangunan Daerah Solehun menuturkan, problematika Indonesia kini adalah kemiskinan. Hal itu pula yang dirasakan oleh masyarakat di Sumatera Selatan.
"Tingkat kemiskinan di Sumsel ini angkanya lebih tinggi dari nasional. Jadi, tak selamanya daerah dengan potensi besar sejalan dengan kemakmuran rakyatnya," tutur Solehun.
Parahnya, kemiskinan di Sumsel justru terjadi di daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), di mana banyak perusahaan besar yang mengeruk keuntungan.
"Data ini membuktikan jika selama ini pemerintahan tak diurus dengan benar. Hal itu berdampak serius bagi daerah. Sumber daya tak linear dengan kemakmuran di daerah. Masyarakat di daerah berkepentingan jika ada Koalisi Rakyat untuk Poros Perubahan," ujar Solehun.
Oleh karenanya, kepentingan rakyat harus dikembalikan menjadi persoalan utama yang diurus pemerintah.
"Maka rakyat harus membangun gerakan ini secara terstruktur, sistematis dan massif. Kami menunggu adanya kekuatan massif agar ada perubahan di daerah," tutur dia.
Guru Besar Sosiologi UIN RF Palembang, Prof Abdullah Idi, mengatakan realitas sosial harus diubah melalui kepemimpinan di level tertinggi hingga yang terendah.
"Tingkat kejelasan demokrasi kita masih samar. Kita harus mulai berpikir secara massif untuk masyarakat. Kalau mental kita sportif, kita tak akan mengorbankan nasib rakyat," tutur Abdullah.
Ketua Gerakan Reformasi Politik Indonesia Andrianto menambahkan, dalam teori dan praktik, kekuasaan tak boleh tanpa batas. Namun praktik yang terjadi saat ini, oligarki begitu kuat mencengkram kekuasaan.
"Zaman Soeharto, Orde Baru yang mengontrol oligarki. Tapi sekarang, oligarki yang justru mengontrol kekuasaan. Saya sebagai pelaku sejarah Reformasi 98 sangat menyayangkan hal itu," tutur dia.
Andrianto sependapat dengan pernyataan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, bahwa untuk membenahi problematika rakyat dan memutus kontrol oligarki harus dimulai dari hulu, bukan di hilir.
"Hulunya, yaitu Reformasi yang gagal yang menghasilkan empat kali amandemen konstitusi, itu yang harus dibenahi," tutur Andrianto.
Sebab, hingga hari ini kita tak pernah bisa menghasilkan pemimpin berkualitas oleh karena dibatasi Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Oleh karenanya, harus ada perubahan mendasar untuk membangun pemerintahan yang diistilahkannya dengan strong government.
"Harus ada perubahan fundamental. Nah, Pak LaNyalla ini bisa mewakili strong governmnent yang saya sebut tadi itu," katanya.
Pada kesempatan itu, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Lintas Provinsi menyampaikan aspirasi kepada Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Aspirasi KAMI yang tertuang dalam surat bernomor 23/VI/2022 itu meminta agar memproses dan mengawal aspirasi untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Presidium KAMI Jawa Barat, Syafril Sjofyan memaparkan alasan mendesak pemakzulan Jokowi. Katanya, telah banyak perbuatan melanggar UU yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. "Di antaranya menerbitkan UU yang bertentangan dengan UUD 1945," kata Syafril.
Sebagai contoh, Syafril menyebut PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, Kartu Prakerja, Pendirian LPI (Lembaga Pengelola Investasi), UU KPK yang melanggar independensi KPK, Bank Indonesia membeli SUN di pasar primer berdasarkan UU Keuangan Negara dan UU BI), UU IKN, Penentuan Anggaran Proyek Kereta Cepat dengan memakai APBN tanpa prosedur anggaran secara benar serta proyek-proyek tol BUMN yang membengkak tanpa ada audit investigasi.
Dari kajian tersebut, Syafril menyebut KAMI Lintas Provinsi berpendapat bahwa Presiden Jokowi diduga terbukti telah melanggar hukum secara berat. Untuk hal tersebut berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, presiden bisa diberhentikan/ dimakzulkan oleh MPR.
"Karena DPD-RI adalah Lembaga Tinggi Negara sejajar dengan DPR-RI dan merupakan bagian dari MPR-RI. Kami menyampaikan aspirasi kepada DPD-RI melalui Ketua DPD, untuk memproses dan mendalami serta mengawal aspirasi yang kami himpun dari denyut nadi berbagai kalangan masyarakat di daerah," tutur Syafril.
LaNyalla sendiri menerima aspirasi tersebut dan akan meneruskannya melalui Sidang Paripurna DPD RI, untuk kemudian diserahkan ke DPR RI sesuai konstitusi.
"Saya akan sampaikan aspirasi ini. Namun perlu saya tegaskan bahwa berdasarkan konstitusi, maka saya berkomitmen untuk mengawal pemerintahan Presiden Jokowi hingga selesai. Namun, saya tak bisa membendung aspirasi rakyat yang ingin memakzulkan Pak Jokowi. Itu di luar tugas kami," kata LaNyalla.
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin. Hadir pula Ketua Simpul Jaringan Umat Institute (Sijarum Institute), Khalifah Alam dan sejumlah akademisi, tokoh dan aktivis lintas elemen dan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Palembang.
Sedangkan narasumber yang dihadirkan adalah Pengamat Politik Rocky Gerung, Guru Besar Sosiologi UIN RF Palembang Prof Abdullah Idi, Ketua Gerakan Reformasi Politik Indonesia Andrianto, Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Marauke Circle Syahganda Nainggolan, Direktur Pusat Kajian Potensi dan Pembangunan Daerah Solehun.