Naik Haji, Naik Sepeda, Naik Pangkat
Oleh: Fathorrahman Fadli
Pagi ini, tepat pukul 04.00 WIB, istri saya mendorong pelan pintu kamar yang tidak terkunci. Ia mengajak saya sahur untuk berpuasa menjelang Hari Raya Idul Adha tiba. Sahur kali ini ditemani anak saya juga, Muhammad Keenan Rahman. Ia senang juga ikutan puasa arafah. Sedang dua anak saya yang lain Kayla Rahman dan Muhammad Kemal Rahman masih mengejar ilmu di pesantren Al-Amien Prenduan, di pulau Madura sana.
Kemal sempat protes dua tiga hari yang lalu. Ia bosan dengan kehidupan pesantren barangkali. Makanannya yang kurang bergizi, merasa terkungkung karena ketat, tidak boleh ketemu lain jenis dan sebagainya. Dihari libur menjelang lebaran haji, Kemal minta ijin liburan di rumah Bu De Falahah, kakak saya yang kedua. Mbak Lahah dan keluarga memang menjadi penampung keluarga, ponakan, adik-adik yang dinilai paling nyaman untuk ditinggali. Kemal sudah beberapa kali langganan untuk membunuh sepi dan memperbaiki gizi.
Puasa Arafah ini jelas memberi pengalaman yang berharga bagi saya pribadi. Biasanya, bangun pagi hari, saya tidak sahur, namun menulis renungan pagi; entah apa yang keluar dikepala. Saya kurung saja kata-kata itu dalam satu textgram, lalu saya luncurkan keberbagai grup whatsapp di seluler saya. Saya tak peduli apa reaksi orang-orang setelah membacanya. Mau negatif terserah, mau positif ya alhamdulillah. Ada satu orang saja berfikir tentang isinya, bagi saya itu sudah sedekah. Semoga menjadi satu tetes ilmu yang bermanfaat.
Calon Haji Bersepeda
Sahur pagi ini, mengingatkan saya pada tamu bersepeda sore hari kemarin. Tepatnya sehabis ashar. Tiba-tiba saja ada orang naik sepeda datang ke warung saya, tengok-tengok menu makanan pada spanduk. "Oh...ada nasi pecel...Pak, pecelnya masih ada gak, saya mau minta saus kacang pecelnya. Ini saya bawa nasi," kata orang itu seraya memperlihatkan nasi bungkus dalam tas kresek.
Laki-laki berusia sekitar 59-an tahun itu masih berada di atas sepeda yang berat dengan bekal dan peralatan yang menempel di sepedanya. "Saya ini sedang latihan naik sepeda 40 ribu km, saya berniat mau naik haji ke Mekkah. Niat saya sudah bulat untuk naik sepeda menuju Baitullah," katanya dengan spirit yang tegar dan tubuh yang bugar.
Dia kemudian menyentak saya untuk bercakap-cakap dengannya. Ia mengemukakan beberapa alasan seputar niatnya naik haji. Mulai antrean haji yang sangat panjang hingga 30-an tahun, ketidakbecusan pemerintah mengelola administrasi jemaah haji hingga kerinduannya mengunjungi rumah Allah (Baitullah).
"Di zaman yang secanggih sekarang ini, masih ada saja orang mau naik haji dengan naik sepeda," gumamku dengan rasa kagum pada niatnya.
Apakah itu ekspresi keberagamaan yang rasional? Apakah itu ekspresi kerinduan akan berjumpa dengan Allah dirumahNya? Apakah itu betul-betul wujud ketakjuban pada keajaiban-keajaiban di seputar ibadah haji? Apakah laki-laki itu sudah membaca buku HAJI karya cendekiawan asal Iran Ali Syariati, saya tidak tahu pasti.
Atau itu sebuah bentuk protes yang tak ternilai harganya karena itu tidak mungkin dikuantifikasi dalam angka-angka numerikal yang kaku.
Niat orang itu jelas bukan angka-angka statistik yang dipakai para tukang survei politik yang trend sebagai cara mencari uang. Uang dari para konglomerat pendukung capres-capresan Pemilu 2024. Niat orang itu rasanya didorong oleh pengetahuan bahwa Berhaji itu merupakan perintah agama, dan termasuk rukun Islam yang kelima. Berhaji baginya seperti atap rumah, yang berada dipuncak penyempurna keislaman mereka.
Tidak ada yang salah dengan cara dia dengan bersepeda ke Saudi Arabia sana. Sepeda hanya sebagai alat. Kalau sekarang orang naik pesawat terbang, sedang waktu saya kecil, orang berhaji naik kapal laut. Si zaman yang super canggih ini orang berhaji ada juga yang naik sepeda seperti bapak itu. Sungguh paradoks bila dilihat alat transportasi yang digunakannya, namun saya tahu pasti bahwa niat orang-orang berhaji itu tetap sama; Lurus Menuju Rumah Allah.
Naik Pangkat di Mata Allah
Orang-orang naik haji itu seharusnya telah bersiap membersihkan dirinya dari sifat-sifat tercela. Kalau pejabat, betul-betul sudah bertobat untuk tidak korupsi lagi. Berjanji untuk melayani rakyat dengan baik, sebab dia harus menghayati bahwa keberadaan dirinya itu dalam masyarakat untuk melayani, menjadi pembantu umum. Bukan menjadi pencuri uang rakyat yang seharusnya dicintainya. Bukan mencuri uang negara untik foya-foya dan hidup mewah. Berhaji itu untuk menyempurnakan hidup. Naik pangkat dan jabatan terpuji di mata Allah. Bukan dimata manusia. Berhaji itu untuk melepaskan diri dari sifat fasik, sifat tamak dan mencintai dunia. Berhaji itu melambangkan kita mendamba cinta dan ridho Allah. Berhaji itu agar kita jauh lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Lebih hidup bersih, hidup tenang, hidup ramah, dermawan, dan menjauhi perilaku buruk yang melekat karena nafsu-nafsu yang rendah. Nafsu melanggengkan kekuasaan, menabrak konstitusi, menambah periode kepemimpinan, berbohong, memalsukan ijazah, berdusta dengan janji-janji, suka berhutamg memberatkan beban rakyat, serta kepalsuan lainnya.
Berhaji itu melepaskan diri dari segala kepalsuan, menepiskan bujuk rayu setan dan tertarik menuju jalan-jalan Allah. Pagi ini saya berpuasa Arafah, dan saya berdoa, semoga para calon haji yang kini berada di Mekkah menjadi haji yang sesungguhnya, dan laki-laki yang berniat berhaji dengan naik sepeda itu segera terwujud. Amiiin!
Advertisement