Nahi Munkar Bisa Dilakukan Secara Preventif, Sikap Muhammadiyah
Sekretaris Umum PP Muhammdiyah, Abdul Mu'ti mengingatkan, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terpenting di Indonesia sebelum perang dunia kedua. Banyak peneliti yang menilai bahwa kelahiran Muhammadiyah merupakan respon terhadap cengkraman kolonialisme Barat dan keterbelakangan pemahaman keislaman di abad modern.
Tak heran bila antropolog James Peacock menilai Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam yang paling tahan banting dalam sejarah.
Abdul Mu’ti menuturkan, alasan utama Muhammadiyah mampu bertahan bahkan berkembang pesat hingga kini lantaran mampu berdialektika dengan zaman. Namun Mu’ti juga menyadari dalam proses berdialektika dengan zaman, pasang surut Muhammadiyah sudah pasti terjadi. Salah satunya banyak di antara kader Muhammadiyah yang menilai gerakan persyarikatan ini hanya gemar amar ma’ruf tanpa bertindak banyak dalam nahi munkar.
“Sebenarnya amar ma’ruf nahi munkar itu sederhana. Amar ma’ruf itu buanglah sampah pada tempatnya, nahi munkar janganlah buang sampah. Sekarang kebanyakan orang, nahi munkar diartikan represif bukan preventif,” terang Mu’ti, dalam keterangan Selasa, 29 Desember 2020.
Selain itu, Mu’ti juga menyayangkan frasa “Tajdid” dalam definisi Muhammadiyah akhir-akhir ini jarang disebut. Padahal, sejarawan Deliar Noer menyebut bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan tajdid yang paling penting dalam sejarah pergerakan Islam di Indonesia.
Mu’ti menerangkan, seperti dilansir situs resmi muhammadiyah.or.id, bahwa Muhammadiyah memiliki tiga ciri tajdid.
Pertama, Muhammadiyah melakukan pembaharuan dari sisi metodologi pemahaman agama Islam. “Bagaimana kita memahami ajaran agama Islam yang memang dari metode itu akan lahir pemahaman yang baru. Tapi Muhammadiyah tidak genit dalam berijtihad,” tutur Mu’ti.
Kedua, pemaharuan pada praksis gerakan. Dalam bidang pendidikan, misalnya, konsep-konsep KH. Ahmad Dahlan sangat revolusioner. Menurut Mu’ti ada tiga pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah, yaitu: memperbaharui kurikulum pendidikan dengan mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dengan ilmu sekular; melakukan pembaharuan dalam kelembagaan pendidikan yang mengenalkan gabungan pesantren dan sekolah Belanda; dan memposisikan pendidik hanya sebagai fasilitator yang bertugas membimbing dan mengarahkan murid.
Ketiga, pelembagaan amal saleh. Mu’ti mengambil contoh pendirian Panti Asuhan. Menurutnya, Muhammadiyah memperbaharui makna “yatim” yang bukan hanya dimaknai seorang anak yang kehilangan orang tuanya (yatim piatu). Tetapi, maknanya adalah orang yang tidak mampu lagi dalam memaksimalkan potensi dirinya untuk berdaya.