Nahdlatul Ulama Punya Banyak ''Jimat''
Persenyawaan dan keserasian antara budaya lokal dan Islam yang diamalkan warga NU menjadi salah satu kekuatan (baca: keramatnya) Nahdlatul Ulama. Dengan persenyawaan itu, NU dan umat Islam Indonesia sulit dipisahkan. Inilah inti kekuatan, mengapa NU sulit diruntuhkan.
Kemudian, inti kekuatan NU lainya adalah kedalaman ilmu. Keluasan referensi keagamaan yang dimiliki para ulama NU. Keserasian atau persenyawaan budaya lokal dan Islam tercipta karena luasnya ilmu. Orang yang minim referensi. Orang yang memahami teks al Qur’an dan al Hadist dengan leterlek (bahasa Belanda: letterlijk) akan kesulitan membangun keserasian itu.
Dalam sejarah Islam, perilaku kaum khawarij adalah contoh kegagalan menserasikan antara Islam dan realitas sosial. Dengan kedangkalan pemahaman mereka atas teks-teks agama, mereka mudah sekali mengharamkan sesuatu. Menyalahkan pemahaman lain yang tidak sama dengan pemahaman dirinya.
Kadangkalan ilmu, minimnya referensi, sempitnya penafsiran, menjadikan kaum khawarij, tidak memiliki cakrawala yang luas. Imbasnya, ketika mereka menghadapi problematika sosial, mereka minim kreasi. Mereka tidak mampu membuat rumusan-rumusan untuk kemaslahatan umat.
Cara berpikir model khawarij itu, sampai sekarang tetap ada. Namun, keberadaannya selalu jadi problem. Bukan solusi. Mereka hobby melakukan kegaduhan. Kerusakan. Teror. Bahkan, pembunuhan. Saidina Ali bin Abi Thalib, yang kealimannya diakui Nabi saja meninggal karena kenaifan mereka.
Ciri kaum khawarij ini di antaranya sangat rajin beribadah. Istilah Gus Baha kesholehen (terlalu sholeh). Dalam agama selalu menggunakan standar tinggi. Menuntut kesempurnaan. Baik dalam berbusana dan berinteraksi sosial. Hanya sayang, semua itu, disandarkan kepada pemahaman teks-teks nash secara leterlek. Mereka tidak memiliki cukup ilmu untuk melihat satu persoalan dengan perpektif atau sudut pandang yang lebih luas.
Teks agama, baik Al-Quran maupun hadits, sifatnya global. Kedua sumber pokok hukum Islam itu, tentu tidak mungkin menjelaskan secara rinci kasus per kasus. Mengingat, kehidupan manusia sangat dinamis dan kompleks. Ada ruang dan waktu yang memicu munculnya masalah-masalah baru.
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, persoalan sosial yang muncul dan belum ada nash yang menjelaskan, bisa ditanyakan kepada beliau. Penjelasan beliau menjadi nash hukum. Persolannya, ketika beliau tidak lagi berada di tengah-tengah umat Islam. Maka, mau tidak mau umat Islam dituntut untuk mampu menggali hukum dari teks-teks yang ada. Mungkin tidak sama persis, tapi ada kemiripan atau padanannya. Dari situlah muncul metode qiyas.
Itulah istinbath. Yakni, berusaha mendapatkan (mengeluarkan) hukum dari al Qu’ran dan al Hadist. Untuk bisa melakukan itu, tentu banyak perangkat ilmu yang harus dimiliki. Tidak cukup hanya mengetahui teks-teks yang tersurat. Tapi, harus bisa menangkap kandungan-kandungan makna yang tersirat.
Pesantren di nusantara, yang identik dengan NU, mengkaji dan mengajarkan secara turun temurun perangkat-perangkat itu. Bersamaan dengan itu, mereka juga mendalami kitab-kitab klasik hasil istinbath para ulama terdahulu.
Artinya, di pesantren dibekali dua hal penting dalam kaitannya dengan hukum Islam. Pertama, dibekali metode atau cara mengeluarkan hukum. Dan yang kedua, produk hukum yang sudah berhasil dirumuskan hukumnya.
Dari penguasaan metode istinbath ini, alumni pesantren akan memiliki kemampuan menggali dan merumuskan hukum Islam. Masalah-masalah keagamaan yang muncul di masyarakat, mampu dicarikan jawabannya. Mereka akan menjadi sosok yang solutif bagi umatnya.
Beda ketika seseorang tidak menguasai metode istinbant. Jalan pintasnya, mereka mudah mengeluarkan hukum haram karena dianggap tidak ada dalilnya di al-Quran dan al-Hadist. Imbasnya, sering terjadi kebuntuan. Kemaslahatan umat sering jadi korban. Dalam situasi semacam itu, agama akan menjadi kurban. Dianggap tidak sesuai dengan perkembangan jaman.
Sementara dari penguasaan terhadap teks-teks klasik, para santri menjadi memiliki rujukan atas hasil-hasil istinbath yang sudah ada. Tinggal menerapkannya. Selain itu, mereka juga akan memiliki gambaran atau memperoleh contoh, bagaimana para ulama terdahulu melakukan istinbath. Sehingga ketika menemukan hal baru, mereka mampu melakukannya.
Tentu kemampuan para santri atau ulama sekarang dalam melakukan istinbath tidak sekaliber para ulama mujtahid seperti para Imam Madzhab dulu. Tapi paling tidak, mereka akan mampu menjawab atau membimbing umat ketika menghadapi perkembangan jaman.
Pesantren-pesantren besar di tanah air seperti Sarang, Rembang dan Lirboyo, Kediri, punya tradisi bahtsul masail. Yakni, melatih para santri seniornya untuk berdiskusi membahas persoalan-persoalan sosial keagamaan yang muncul di masyarakat.
Dalam bathsul masail itu, para santri senior akan berdebat dan beradu argumentasi. Mereka adu piawai dalam merujuk kitab-kitab besar yang sudah dikarang oleh para ulama terdahulu. Kitab rujukan yang mereka gunakan meliputi lintas madzhab, juga tidak jarang lintas jaman. Artinya, selain merujuk kitab karya ulama salaf (lampau), juga ulama modern (khalaf).
Tradisi bathsul masail ini, dalam bingkai besar juga dilakukan di kongres atau muktamar NU. Di forum itu, dirumuskanlah hukum-hukum agama yang kontekstual dengan tuntutan jaman. Keputusan NU untuk menerima Pancasila sebagai azas tunggal juga dirumuskan di forum seperti itu.
Sejarah mencatat, NU adalah ormas Islam pertama yang bisa menerima “proyek” Pak Harto itu. Padahal di saat itu, Pak Harto dengan sistematis meminggirkan NU. Penerimaan NU itu, dilakukan setelah memperdebatkannya di forum bathsul masail. Jadi, bukan kepentingan jangan pendek, demi kepentingan pragmatis. Mengambil hati Pak Harto, misalnya. Buktinya, ketika Pak Harto tumbang, NU tidak merubah keputusannya itu.
Langkah berikutnya yang menurut saya juga menjadi bukti keramatnya NU karena kedalaman ilmu adalah ketika NU memutuskan khittah. Dengan keputusan itu, NU memberikan keleluasaan warganya untuk berkiprah di mana-mana. Dari sini, NU yang awalnya menjadi incaran rezim Soeharto, akhirnya bisa selamat. Sebab, warganya menyebar. Tidak berada pada satu titik.
Keputusan-keputusan NU itu, bersifat fleksibel dan lentur. Karena itu, NU sering disalahpahami atau tepatnya dituduh plin plan atau oportunis. Namun, menurut saya, justru dari situlah NU muncul keramatnya. Selalu eksis di berbagai kondisi dan situasi.
Ini yang umumnya tidak diketahui orang di luar NU. Bahwa keputusan-keputusan yang sering dinilai plinplan atau tidak konsisten itu, pada dasarnya disandarkan kepada kaidah-kaidah ushul fiqih, seperti menghindarakan kemadlaratan itu, lebih didahulukan daripada mengambil sebuah manfaat. Jika tidak bisa didapatkan seluruhnya, maka jangan tinggalkan seluruhnya. Dan masih banyak lagi.
Kaidah ushul fiqih itu, intinya mengarah kemaslahatan yang lebih luas. Kepentingan jangkan panjang. Dan ini, sifatnya relatif. Bergantung illat (alasan) yang menyertainya.
Dengan memaparkan semua itu, saya berharap warga NU pede dalam menghadapi berbagai gempuran. Karena pada hakikatnya, NU memiliki banyak “jimat” yang menjadikan NU itu keramat. (bersambung)
Akhmad Zaini
(Mantan Jurnalis, kini menjadi pendidik di IAINU Tuban, Jawa Timur)