Nadiem NU, Nadiem Muhammadiyah
Nadiem Makarim sedikit lega. Setelah Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf berkunjung ke kantornya. Menyatakan Ormas Islam terbesar di Indonesia itu tetap ikut POP: Program Organisasi Penggerak.
Tinggal Muhammadiyah yang belum mau kembali. Juga PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Tapi dengan NU tak lagi boikot POP, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini bisa lebih percaya diri untuk melanjutkan program.
NU dalam relasinya dengan pemerintah memang sering mengejutkan sepanjang sejarah. Banyak langkah taktis yang tak terduga dalam setiap merespon dinamika politik yang ada. Meliuk, merangsek, merangkul, dan terkadang memukul.
NU memang organisasi yang mandiri sejak dulu. Tak hanya bergerak di bidang sosial dan keagamaan. Tapi juga pendidikan. Hanya sesuai dengan basis sosialnya, gerakan NU lebih banyak di pedesaan. Bukan perkotaan seperti Muhammadiyah.
NU berdiri 15 tahun setelah Muhammadiyah ada. Pendirinya juga punya guru yang sama. Juga akar keilmuwan yang tak berbeda. KH Hasyim Asy'ari pendiri NU dan KH Ahmad Dahlan sama-sama santri KH Saleh Darat. Kiai yang juga menjadi guru RA Kartini. Juga sama-sama belajar di Makkah bersama.
Keduanya sama-sama mengembangkan pendidikan melalui organisasi yang didirikan. NU dengan pondok pesantren (boarding school) yang mengajarkan pendidikan agama. Muhammadiyah bergerak dengan amal usaha sekolah umum dan rumah sakit.
Namun pendidikan pesantren mengalami transformasi sekarang. Tak hanya mengajarkan ilmu agama. Tapi juga mengembangkan sekolah-sekolah formal seperti yang dulu dikembangkan Muhammadiyah. Sekolah berbasis pondok alias boarding.
Bahkan makin banyak pesantren yang memiliki lembaga pendidikan formal sampai setingkat perguruan tinggi. Tak hanya perguruan tinggi agama. Tapi juga perguruan tinggi umum. Jumlah sekolah formal dan perguruan tinggi NU pun berkembang melesat.
Kini agak sulit mendikhotomi NU dan Muhammadiyah di bidang pendidikan. NU tak lagi menjadi ormas Islam tradisional dalam arti bergerak di pedesaan dan model pendidikan pesantren. NU telah menjadi ormas Islam dengan ruang garap lebih luas dari hanya sekadar pesantren.
Dinamika eksternal NU memungkinkan hal itu terjadi. Juga karena lahirnya makin banyak santri profesional yang tidak hanya mendapat sentuhan pendidikan pesantren. Banyak santri dan anak kiai (figur sentral kepemimpinan NU) yang mendapat terpaan pendidikan umum.
Pergeseran struktur basis sosial dan desakan perubahan di luar NU membuat ormas Islam ini melakukan berbagai penyesuaian. Transformasi sosial di dalam NU ini dipercepat juga adanya reformasi politik yang memberi ruang lebih besar kepada para elit NU dalam domain strategis pengambilan kebijakan.
Transformasi dalam tubuh NU ini yang masih sering luput dari pengamatan pihak luar. Termasuk para pengambil kebijakan di pemerintahan. Masih banyak yang melihat "ketradisionalan" NU sehingga menganggap tidak bisa menjadi bagian dari perubahan ke masa depan.
Padahal NU telah berkembang --untuk tidak mengatakan berubah. Bisa jadi ia sekarang menjadi ormas dengan jumlah lembaga pendidikan terbesar di Indonesia. Dengan kluster keilmuan yang begitu beragam. Tidak hanya melulu pendidikan agama.
Selain sebagai respon terhadap perubahan di masyarakat, kesediaan dunia pesantren untuk juga menyelenggarakan pendidikan formal di lingkungannya perlu mendapat apresiasi pemerintah. Ini bagian dari menyediakan akses pendidikan yang seharusnya menjadi kewajiban n
Demikian juga dengan apa yang telah dilakukan Muhammadiyah. Yang secara mandiri telah berinvestasi membangun lembaga pendidikan di seluruh pelosok negeri. Berapa triliun rupiah yang telah mereka investasikan untuk sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban negara?
Karena itu, pelibatan NU dan Muhammadiyah dalam setiap program pemerintah sebetulnya bukan berarti bantuan terhadap mereka. Hakekatnya lebih merupakan kewajiban sejarah negara untuk membalas budi kepada kedua ormas Islam tersebut.
Nadiem Makarim sebagai dirijen agen perubahan dunia pendidikan di Indonesia tak bisa meninggalkan dua ormas Islam ini: NU dan Muhammadiyah. Agar program dan kebijakan-kebijakannya bermakna. Agar target perubahan yang dimimpikan berjalan.
Nadiem adalah nama berasal dari bahasa Arab. Artinya rekan atau sahabat. Sudah seharusnya sebagai Mendikbud ia mencerminkan nama yang menempel sekaligus doa orang tua kepadanya. Sahabat bagi semua stake holder utama dunia pendidikan di Indonesia.
Meski ia layak terus menatap ke depan untuk mempersiapkan generasi mendatang, rasanya perlu juga menengok sejarah siapa saja yang pantas jadi rekan dan sahabatnya. Terutama rekan dan sahabat dalam menangani dunia pendidikan kita.
Sebagai pembantu presiden, Nadiem harus menjadi sahabat NU. Juga menjadi rekan Muhammadiyah. Yang memang sudah menunjukkan kiprah besarnya dalam ikut mencerdaskan bangsanya. Melalui lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru nusantara.
Perubahan di dunia pendidikan tak mungkin bisa berjalan tanpa adanya pengorganisasian yang baik dari semua pelaku di bidang ini. NU dan Muhammadiyah adalah pelaku pendidikan sejak sebelum Indonesia lahi. Kegagalan dalam mengorganisasikan kedua ormas ini dalam proses, perubahan tak mungkin bisa tercapai maksimal.
Rasanya mimpi Nadiem untuk membawa dunia pendidikan Indonesia tak bisa dicapai bila mengabaikan mereka. Apalagi sejarah telah membuktikan bahwa NU dan Muhammadiyah tak hanya sebagai ormas keagamaan. Tapi juga pilar utama penjaga NKRI.
Sesuai dengan makna namanya, Nadiem harus bersahabat dengan NU. Ia juga harus menjadikan Muhammadiyah sebagai rekan dalam perjuangan memajukan pendidikan Indonesia. Bukan yang lain.