Nadiem dan Tendangan Sudut Saleh Daulay
Pagi ini pukul 03.35, saya tertarik menulis kiprah seorang kader HMI sekaligus tokoh muda Muhammadiyah yang membuat saya berbunga-bunga. Dia berhasil mengupas tuntas siapa Nadiem yang sebenarnya. Sosok itu tidak lain adalah seorang anggota parlemen dari Fraksi PAN, yakni Dr. H. Saleh Partaonan Daulay, M.Ag., M.Hum., M.A. Dia akrab dipanggil Saleh Daulay.
Entah mengapa saya sebagai warga negara merasa terwakili dengan kiprah Saleh selama di parlemen. Perkenalan saya dengan Saleh, terjadi saat dia hendak mencalonkan diri sebagai calon legislatif pada 2014. "Bang saya juga hijau hitam, ini kartu anggota saya," cetusnya memperkenalkan diri seraya menunjukkan kartu anggota HMI.
Sejenak kemudian dia cerita soal dirinya sebagai anak sekolahan. Hobi saya sekolah Bang, tambah lelaki yang juga pernah menjabat Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah itu.
Sejak itu saya menaruh rasa kagum dan berharap semoga dia sukses masuk Parlemen. Kekaguman pertama muncul saat Saleh menerima kunjungan delegasi Muslim dari Moro di kantor PAN. Dia menjawab dengan baik semua pertanyaan dari para tamu tersebut dalam bahasa Inggris yang very very fluently. Kemampuan bahasa Inggris Saleh terlihat di atas para tamunya itu. Kesan saya satu; hebat dia.
Kedua, saya sering bangga melihat Saleh berdebat di layar TV One dalam acara ILC. Dia tampil dengan menguasai masalah dalam aneka topik. Saat itu saya lihat dia berdebat soal pemimpin Islam dengan sejumlah perwakilan partai. Ia kemukakan bahwa dirinya juga belajar politik Islam.
Bahkan disertasi doktornya mengenai politik Islam. Ia kuasai pemikiran politik ala Al Mawardi, Al Farabi, Ibnu Khaldun hingga Ibnu Taimiyah. Saleh waktu itu berhasil unggul dari dua lawan debatnya yaitu Tubagus Ace dari Golkar dan Maman Imanulhaq dari PKB. Meski berasal dari Muhammadiyah, Saleh juga mengerti tentang kaidah ushul figh yang kerap dijadikan pedoman bagi kalangan NU dalam soal kepemimpinan. Saat itu forum berdebat soal hakikat pemimpin dalam Islam. Saleh yang juga seorang akademisi ini menggunakan kaidah ushul figh ala NU itu untuk meyakinkan Maman Abdurrahman (PKB) dan Tubagus Ace (Golkar).
“Maaf, saya juga mengerti kaidah ushul dalam soal kepemimpinan, misalnya Tasarruful imam alarraiyyah manutun bil maslahah, bahwa kebijaksanaan kepala pemerintahan itu harus mengikuti kesejahteraan rakyat,” tegas Saleh waktu itu yang membuat lawan debatnya terdiam.
Ketiga, Saleh membuat kagum saya kembali setelah menonton ILC soal Nadiem Makarim, sang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang sangat berprestasi membawa anak-anak muda menjadi sopir Gojek jalanan sehari semalam memeras keringat ditengah terik matahari dan hujan lebat menembus alamat tujuan. Dan, jalanan pun crowded dengan sepeda motor Gojek. Mereka tetap saja tukang Ojek jalanan dengan risiko tabrakan karena berputar-putar kelelahan diburu setoran mengisi pundi-pundi Nadiem.
Sang menteri yang berprestasi memeras keringat para pengangguran dengan bermodal aplikasi antar jemput penumpang itu kini menjadi orang super kaya. Lagi-lagi anak-anak pengangguran itu tetaplah tukang Ojek jalanan. Melihat jalanan yang semrawut dengan ribuan ojek motor berjaket hijau itu membuat pemandangan kota semakin kumuh dan membahayakan pengendara mobil karena para Gojekers itu tidak ada jaminan tertib dijalanan.
Di Malaysia, Gojek dikabarkan di tolak karena berpotensi merendahkan martabat bangsa Melayu. Sayangnya, di Indonesia Nadiem justru mendapatkan red carpet dan kepercayaan puncak untuk memimpin Kementerian yang bertugas membangun karakter dan martabat bangsanya.
Dalam konteks Nadiem ini, kekaguman saya pada Saleh Daulay semakin bertambah. Dalam dialog di ILC itu ia mengaku terlebih dahulu mendatangi Muhammadiyah untuk mendapatkan masukan informasi tentang what is going on dengan Kementerian Pendidikan itu.
Sebagai anggota parlemen Saleh ingin mengetahui apa sesungguhnya keberatan Muhammadiyah sehingga mundur dari Program POP nya Nadiem Makarim. Setelah ke Muhammadiyah dia tanya-tanya di lingkungan pejabat kementerian Pendidikan untuk mendapatkan informasi lapangan di kantor Nadiem. Setelah kaya informasi dia datang ke ILC dengan amunisi amunisi yang berbobot. Saleh betul-betul piawai mempreteli Nadiem dari berbagai sudut. Nadiem tidak seperti yang diharapkan. Ia jauh dari ekspektasi Presiden Jokowi dalam memperbaiki dunia pendidikan. Tak ada ide dan gebrakan apapun yang berguna untuk menjawab problematika esensial yang dihadapi masyarakat. Nadiem justru membuat langkah-langkah blunder yang merusak tatanan pendidikan, disharmoni birokrasi, serta kecerobohan diseputar program POP yang heboh itu. Terakhir, Saleh mendesak Presiden Jokowi untuk mengevaluasi Nadiem selaku Mendikbud. Cocok!
Puas saya menontonnya. Jiwa gundahku dengan kondisi pendidikan di bawah Nadiem langsung terobati dengan tendangan ciamik dari kawan itu. Sejak awal saya sudah menaruh curiga saat dia dipilih sebagai menteri, apalagi menteri pendidikan.
Saya menduga, Nadiem akan mencret-mencret mengurus pendidikan tanpa pengalaman dalam dunia pendidikan sedikitpun. Bahkan Fachry Ali sebagai pengamat politik melihat Nadiem sebagai orang yang sama sekali tidak mengerti tentang Indonesia. Oleh karena itu Fachry Ali dengan nada sinistik berani memerintahkan Nadiem agar belajar tentang sejarah Indonesia. "Dia sama sekali tidak mengerti Indonesia, sekarang saatnya dia belajar tentang Indonesia secara serius," pinta Fachry Ali dengan mimik serius.
Urgensi Politisi Intelektual
Melihat penampilan Saleh dalam parlemen maupun di ruang publik, saya semakin yakin betapa pentingnya keberadaan politisi intelektual dalam parlemen. Parlemen sejatinya harus lebih banyak diisi oleh kaum intelektual. Sebab pekerjaan parlemen itu adalah pekerjaan berfikir strategis, mengawasi kinerja pemerintah dan membaca untuk mengasah kecepatan berfikir dalam menganalisa masalah-masalah negara.
Kaum intelektual akan lebih mampu melihat masalah-masalah bangsa secara lebih baik dibanding yang lain. Begitu pula dalam mencari jalan keluar untuk masalah tersebut. Pekerjaan parlemen dimana penggunaan otak sangatlah menonjol adalah tidak pantas diserahkan pada seorang pengusaha yang terbiasa berfikir untung dan rugi. Kacau negara jika isi anggota parlemennya adalah pengusaha. Kacau pula negara jika diisi oleh orang-orang yang tidak terbiasa berdebat dan menemukan jalan keluar secara intelektual.
Anda bisa bayangkan betapa garingnya suasana rapat-rapat parlemen jika isinya mayoritas orang-orang yang tidak memiliki kemampuan berargumentasi yang baik. Kemampuan berfikir cepat dan argumentatif atas pembahasan undang undang yang secara strategis menentukan nasib rakyat dan negara. Sejalan dengan kebutuhan akan itu maka menjadi tugas para ketua partai adalah bagaimana menyeleksi calon-calon anggota legislatif dalam pemilu-pemilu mendatang.
Ketika pemimpin partai tidak memiliki perhatian yang benar soal itu, saya kira sama halnya dengan ikut melakukan perusakan negara secara mekanis. Selama reformasi berjalan hingga saat ini komposisi anggota parlemen lebih banyak didominasi oleh kaum pedagang ketimbang kaum intelektual. Inilah buah demokrasi transaksional yang secara akumulatif berpotensi menyeret bangsa pada kehidupan yang memprihatinkan. Semua kebijakan politik negara tidak lagi berbasis pada kebenaran dan keadilan serta kebaikan bangsa. Namun lebih didasarkan pada seberapa besar modal yang ditransaksikan. Jika hal itu dibiarkan, maka bangsa ini akan semakin terpuruk dan tak layak berharap menjadi bangsa yang lebih baik.
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)
Advertisement