Nabi dan Rasul Terjaga dari Dosa, Keturunan Nabi Bisa Salah
Umat Islam diingatkan agar janganlah berlebihan dalam mencintai habaib. Meski keturunan Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (SAW), tapi para habaib tetaplah habaib adalah manusia biasa, yang tak lepas dari dosa dan kesalahan.
Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Inshomuddin memberi penjelasan tentang hal itu.
Habib atau sayyid adalah sebutan atau gelar penghormatan dari masyarakat untuk mereka yang memiliki garis keturunan (nasab) yang bersambung hingga Rasulullah Muhammad SAW. Secara nasab para habib (habaib) itu jelas sangatlah mulia dan umat Islam wajib memuliakan dan menghormati mereka.
Merendahkan dan menghina nasab mereka merupakan perbuatan tercela dan berdosa. Tidak memandang rendah atau meremehkan nasab (garis keturunan) habaib kecuali mereka yang berpenyakit hati seperti sombong dan dengki.
Gus Ishom, panggilan akrab alumni Universitas Al-Azhar, Mesir menegaskan, meskipun habaib itu bernasab hingga Rasulullah SAW., menurut Kiai Ishomuddin, mereka juga manusia yang memiliki berbagai kelebihan dan tentu saja kekurangan. Berbeda dari para Nabi dan Rasul, termasuk Rasulullah SAW. yang dijamin oleh Allah terjaga dari perbuatan dosa, maka para habib itu tidak terjaga (ma'shum) dari melakukan kesalahan, maksiat atau dosa.
"Sebagai manusia, para keturunan (dzurriyyat) Nabi itu ada yang berakhlak sangat mulia atau ada pula yang tidak," tutur Kiai yang dicintai Rais Am PBNU periode 1999-2015, KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (almaghfurlah).
Menurut Kiai Ishomuddin, sangat banyak dari mereka yang mendalami ilmu agama, baik yang lahir maupun yang batin, sehingga banyak yang menjadi ulama besar, sangat terkenal luas ilmunya dan sangat berjasa bagi dunia Islam, menjadi kekasih-kekasih (awliya') Allah dan menghabiskan sepanjang usianya untuk berkhidmat kepada umat dan agama.
Mereka yang berakhlak mulia dan sangat mendalam ilmu agamanya inilah yang patut untuk didengar petuahnya dan diteladani perilaku baiknya. Profesi mereka juga sangat beragam, di antara mereka ada juga yang tidak menggeluti urusan agama, seperti menjadi pebisnis, pedagang, politisi, tentara, polisi, petani atau profesi lainnya yang bermanfaat bagi manusia.
Tentu saja di antara yang bernasab mulia itu ada yang tidak boleh kita teladani perilakunya, seperti karena kurang berilmu, akhlaknya buruk, gila hormat, senang dipuji, bersikap kasar, jauh dari sifat tawadlu' (rendah hati), dan ada juga yang ceramah agamanya hanya berisi provokasi dan caci maki sana sini.
Habaib pada masa lalu berjasa besar membawa ajaran Islam masuk ke Indonesia. Seminar tentang "Masuknya Islam ke Indonesia" di Medan pada 17-20 Maret 1963 memberi kesimpulan menarik. Disebutkan, Islam telah masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad pertama Hijriah langsung ke pesisir Sumatera dari negeri Arab yang antara lain dibawa oleh golongan Alawiyyin. Mereka adalah keturunan Sayyidina Hasan dan Husein bin Ali, baik yang berasal dari Makkah-Madinah maupun yang kemudian menetap di Yaman dan sekitarnya.
"Ada kemungkinan mereka singgah sambil berdagang di Gujarat di pantai Barat India beberapa waktu lamanya sebelum tiba di Indonesia. Jadi, tanpa mereka (habaib) pada masa itu mungkin kita sekarang tidak pernah mengenal dan bersentuhan dengan Islam. Oleh karena itu, kita wajib bersyukur kepada Allah, berterima kasih dan tentu menghormati keturunan mereka seluruhnya," tutur Kiai Ishomuddin.
Habaib itu orang yang patut dicintai karena ia juga mencintai, jadi bukan orang yang hanya ingin dicintai tetapi tidak mau mencintai, atau ingin selalu dihormati namun amat enggan menghormati.
"Kecintaan umat Islam Indonesia kepada para habib (habaib) itu telah mentradisi, khususnya di kalangan warga NU. Barangkali tidak ada penghormatan di negara lain kepada habaib yang bisa melibihi penghormatan warga NU yang kadangkala, bahkan terkesan berlebihan," kata Kiai Ishomuddin.
Memuji habaib yang 'alim, menurut Kiai Ishomuddin, memiliki bashirah (ketajaman mata hati), mengenal Allah dan sadar diri tidaklah mengapa, sebagaimana Rasulullah SAW. pernah memuji sebagian sahabatnya dan seperti sahabat pernah memuji sahabat lainnya di hadapan beliau.
Pujian semacam itu menambah kecintaan dan semangat mereka untuk menambah ketaatan dan motivasi untuk gemar beribadah karena Allah. Pujian itu tidak merusak hati dan tidak melalaikan hati mereka sedikit pun, melainkan menumbuhkan keimanan.
Sebaliknya, kita jangan pernah melontarkan sekerat pujian kepada habaib yang jahil, yang sering kali tertipu oleh perasaannya sendiri, yang tidak punya bashirah dalam beragama, tidak punya pengetahuan dan keyakinan kuat, karena pujian itu pasti merusak hatinya dan itu hanya menambah keangkuhannya.
Sudah berapa banyak pujian dan rasa kagum tetap dilontarkan kalangan awam Muslim kepada orang yang digelari habib padahal ia bergelimang dalam dosa dan menyimpang terlalu jauh dari rel ajaran mulia kakeknya, Rasulullah SAW. yang diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia? Lalu, orang-orang awam itu seenaknya menjawab bahwa tidak mengapa habaib melakukan dosa dan kesalahan, karena kelak Rasulullah SAW. pasti memberikan syafa'at (pertolongan) kepada mereka, barangkali tidak mengapa mereka itu berbuat dosa.
Ucapan demikian ini sangatlah keji, pengucapnya mencelakai diri sendiri dan sangat merusak hati para habib yang kurang berilmu (jahil). Bagaimana tidak? Sedangkan dalam al-Quran ada ayat yang menunjukkan bahwa ahl al-bait (keluarga Nabi) itu dilipat gandakan pahalanya atas kebajikan yang dikerjakan, sebagaimana juga dilipat gandakan dosanya atas keburukan (maksiat) yang dilakukannya.
Siapa saja yang mengatakan atau menduga bahwa meninggalkan ketaatan-ketaatan atau melakukan aneka kemaksiatan itu tidak membahayakan seorang pun karena kemuliaan nasabnya atau karena kesalehan para orang tuanya, maka sungguh ia telah berdusta atas nama Allah dan menyimpang dari ijma' al-muslimin (konsensus ulama dari kaum muslim).
Namun demikian, tetap harus diperhatikan bahwa Rasulullah SAW. memang memiliki perhatian lebih kepada ahl al-baitnya (dzurriyyah/habaib). Banyak wasiat atau perintah beliau yang memotivasi kita sebagai umatnya agar mencintai mereka.
Kepada para habaib terutama yang bila nyata-nyata tidak sejalan dengan para pendahulu mereka yang suci maka tetap kita cintai dan kita hormati karena kekerabatan nasab kepada Rasulullah SAW.
Adapun wujud kecintaan dan penghormatan kepada habaib itu antara lain bagi yang mampu dan patut hendaknya dengan memotivasi dan mengingatkan mereka agar meneladani para pendahulu mereka baik dalam ilmu maupun kesalehan, akhlak yang mulia, perilaku yang terpuji, serta memberitahukan bahwa habaib itu lebih layak dan berhak untuk itu semua dibandingkan manusia lainnya.
Sesungguhnya nasab semata tidaklah bermanfaat dan tidak meninggikan martabat seseorang bila tidak diiringi oleh ketakwaan. Bila nasab orang yang mulia itu tidak mampu menunjukkan kemuliaan jiwa seperti para pendahulunya, maka patutkah seseorang itu hanya membangga-banggakan nasab sepanjang hayatnya?
"Nasab termasuk salah satu dari tujuh sebab kesombongan. Sombong (merasa lebih baik) adalah penyakit Iblis, yakni menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Sesungguhnya yang paling mulia menurut Allah hanyalah yang paling takwa kepada-Nya."
Demikian pandangan Kiai Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU.