Musyawarah Burung, Puasa Setengah Hari Berpahala Setengah Tahun
Abdurrahman Wahid alias Abdurrahman Ad-Dakhil, mempunyai kelebihan dibanding santri sebayanya. Ada kisah yang mengejutkan, yang tak banyak diketahui publik: hubungan dengan KH Chudlori Tegalrejo, sang guru. Mari kita simak fragmen yang indah dari perjalanan hidup Gus Dur itu.
Musyawarah Burung di Depan Kiai Chudlori
Suatu malam, setelah para santri selesai mengaji, Kiai Chudlori Tegalrejo Magelang, mendapati Abdurrahman Wahid muda lagi khuyuk membaca sebuah buku.
Gus Dur mulai tercatat sebagai santri Pesantren Tegalrejo tahun 1957. Ia hanya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan pendidikan di bawah asuhan Kiai Chudlori, santri lainnya memerlukan waktu setidaknya empat tahun Dalam Biografi Gus Dur, ditulis Greg Barton (Yogjakarta: LKiS, 2003/49) dikisahkan, setelah meletakkan peci hitam di atas rak, Kiai Chudlori duduk di samping santri kinasihnya itu.
“Baca apa, Dur?” tanya Kiai Chudlori.
“Ini kiai, Muntiquth Thayr,” jawab Gus Dur sembari menunjukkan buku yang sedang ia baca.
“Rapat manuk, sapa sing nulis?”
“Iya kiai, Musyawarah Burung, karangan seorang sufi, Fariduddin Attar.”
Dijelaskan betapa Kiai Chudlori begitu antusian menyimak penjelasan Gus Dur soal buku berbentuk puisi itu.
“Apik tenan kuwi. Lha, bukunya mengaji tentang apa, Dur?”
“Ini kisah tentang burung-burung yang binggung, kiai,” jawab Gus Dur.
Kiai Chudlori lalu minta Gus Dur mengurai isi dari buku yang ia baca:
“Dikisahkan, segala burung di dunia, yang dikenal atau tidak dikenal, datang berkumpul. Mereka sama-sama memiliki satu pertanyaan, siapakah raja mereka? Di antara mereka ada yang berkata, “Rasanya tak mungkin negeri dunia ini tidak memiliki raja. Maka rasanya mustahil bila kerajaan burung tanpa penguasa! Jadi, kita semua memiliki raja. Ya, raja!”
“Dalam keadaan serba-bingung, tampillah burung Hudhud. Ia mengatakan pada semua burung bahwa memang bangsa burung memiliki raja. Namanya Simurgh. Kalau bangsa burung hendak mengenal rajanya, mereka harus menempuh perjalanan yang sangat jauh dan berat menuju Simurgh”.
“Mereka mau, Dur?”
“Iya, kiai. Dipimpin Hudhud, mereka akhirnya mencari Simurgh”.
“Ketemu?”
“Tidak kiai. Setelah hanya tersisa kurang lebih 30 jenis, mereka akhirnya menemukan diri mereka sendiri”.
“Yo, yo...Mudeng aku”
“Inggih, kiai”
Lalu, sang kiai terdiam. Ia pandangi Ad-Dakhil, yang juga memandang ke arahnya. Tetapi Ad-Dakhil tak mampu menatap lama. Ia lantas kembali pada rangkaian-rangkaian kalimat indah dari buku Fariduddin Attar itu.
Puasa Setengah Hari Berpahala Puasa Setengah Tahun
Pada waktu itu, Muhammad AS Hikam menemani Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memperingati bulan Rajab di salah satu tempat di daerah Jawa Barat.
Gus Dur dan AS Hikam, Menristek dalam Kabinet Gus Dur, pun turut menyimak ceramah seorang kiai dalam kegiatan tersebut. Salah satu substansi ceramah sang kiai ialah bahwa faedah puasa 1 hari di bulan Rajab sama dengan puasa setahun.
Lalu sepulang dari acara tersebut, Gus Dur bilang kepada AS Hikam, “Kam, besok puasa Rajab lho. Lumayan 'kan, kata kiai tadi, puasa sehari sama seperti puasa setahun,” ujar Gus Dur.
“Iya Gus,” jawab AS Hikam yang sebenarnya mengkhawatirkan kondisi Gus Dur ketika harus berpuasa, seperti dilansir Muhammad AS Hikam, "Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita" (2013).
Keesokan harinya, Gus Dur dan AS Hikam bersama-sama lagi. Mereka pergi ke Tuban, Jawa Timur untuk menghadiri acara haul. Di sepanjang perjalanan, tiba-tiba Gus Dur meminta menepi sejenak di warung makan.
“Lho, Gus, katanya mau puasa? Ini baru setengah hari,” ujar Hikam.
“Iya Kam, saya ambil pahalanya setengah tahun saja, lumayan kan,” seloroh Gus Dur.
Advertisement