Musuh Jokowi Paling Potensial
Oleh: Erros Djarot
Ketika sejumlah tokoh berkumpul dan bersatu ke dalam satu barisan politik yang menamakan diri Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), berbagai reaksi bermunculan. Ada yang menyambutnya penuh antusias. Ada yang mencibir dan berkomentar miring. Ada juga pihak yang gerah karena merasa terganggu. Sedangkan mayoritas masyarakat memilih cuek tak ambil pusing. Mereka lebih disibukkan oleh urusan Covid-19 yang nyaris melumpuhkan kegiatan sosial ekonomi mereka.
Sikap cuek mayoritas masyarakat bisa jadi merupakan ekspresi politik mereka yang sangat jujur dan realistis. Mereka telah mengalami bagaimana perjuangan menuju reformasi telah menguras tenaga, pikiran, dan bahkan nyawa pun mereka pertaruhkan. Namun dalam perjalanannya hingga hari ini hanya menghasilkan bangunan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang menjengkelkan seperti sekarang ini. Janji Reformasi tinggal janji. KKN tetap berjalan lancar, rakyat tetap hidup susah pas-pasan, dan para elite penguasa politik dan ekonomi, hidup mewah berlebihan.
Wajar lah bila rakyat banyak yang berkeluh kesah; dulu hidup susah dan sekarang pun tetap susah, apa bedanya? Bedanya mungkin hidup lebih bebas. Termasuk bebas bagi yang kaya dan kuasa menindas yang miskin dan tak berdaya. Realita demikian ini memicu mayoritas masyarakat sekarang ini bersikap lebih kritis. Apalagi menyikapi setiap gerakan yang bertujuan mengganti pemerintahan. Trauma masa lalu agaknya masih kental membayangi mereka.
Apakah kehadiran KAMI menjadi ancaman serius bagi pemerintahan Jokowi? Mengingat KAMI muncul di tengah keterjepitan pemerintah menghadapi gempuran pendemik Covid-19. Jawabannya akan sangat tergantung, apakah KAMI dalam kerja politiknya mampu menarik simpati dan dukungan rakyat lebih luas dan lebih banyak lagi. Tentunya hal ini masih merupakan tanda tanya besar.
Menilik para tokoh yang dimunculkan, kerja politik KAMI sepertinya masih harus dipompa dengan keras untuk dapat mencapai tahapan dan kondisi dimaksud. Apalagi jika politik aliran kental mewarnai gerakan ini. Maka yang berpotensi membesar justru konflik di wilayah internal. Karena sejumlah tokoh yang bergabung dengan latarbelakang profesi maupun agenda politik yang tidak satu warna, memerlukan waktu untuk dapat berjalan sebagai satu entitas gerakan politik.
Satu hal yang juga penting untuk dicatat, hingga saat KAMI mendeklarasikan diri, belum muncul dan tampil secara meyakinkan satu sosok figur kharismatik atau bebarapa sosok figur yang dapat diterima publik sebagai simbol pemimpin gerakan perlawanan yang memiliki greget dan magnet penggerak massa rakyat. Berbeda dengan situasi dan kondisi ketika Gus Dur, Megawati, dan Amien Rais tampil bersatu sebagai simbol kepemimpinan perlawanan politik anti Orde Baru.
Dan ketika ‘sosok lama’ dimunculkan KAMI sebagai salah satu sosok simbol perlawanan dimaksud, wajah KAMI malah terkesan muncul sebagai potret lama yang menyimpan sejumlah catatan. Oleh karenanya saya malah berpendapat, kemunculan KAMI justru menolong Jokowi untuk lebih mendapat dukungan penuh kembali. Mengapa demikian? Karena ketika KAMI belum terdeklarasikan secara publik, di kalangan pendukung Jokowi sendiri telah terbangun sejumlah keresahan.
Tidak sedikit yang kecewa lalu mengambil sikap apatis, walau belum sampai mengambil sikap berseberangan (oposisi). Dengan munculnya KAMI ini, gerakan ini dianggap sebagai datangnya ancaman dari luar. Karena sejumlah tokohnya yang sangat mudah untuk dilekatkan stempel sebagai figur pengibar bendera Khilafah. Hal ini dengan sendirinya membangunkan para pendukung yang belakangan lesu darah, menjadi kembali siaga melupakan kekecewaan mereka, bersatu menyusun barisan dan pulang kandang.
Konsolidasi kekuatan yang terjadi karena eksiden ini, mungkin kurang diperhitungkan oleh siapa pun yang mendesain pemunculan KAMI. Saat di mana rakyat tengah disibukkan urusan sosial ekonomi akibat Covid-19 yang cukup mencekam, kemunculan KAMI dianggap sebagai gerakan yang bukan membawa solusi, tapi malah hadir sebagai persoalan baru. Hitungan bahwa dalam keresahan rakyat ini adalah masa yang tepat untuk digunakan sebagai momentum mengibarkan bendera perlawanan dan emosi rakyat mudah tergerakan, bisa jadi merupakan hitungan yang salah kalkulasi.
Pendapat saya ini belum tentu benar, bahkan bisa jadi salah total. Karena dalam politik di Indonesia, faktor tak terduga biasanya merupakan hal yang sering dikaitkan dengan datangnya bantuan tangan-tangan yang datang dari langit. Kun Fayakun..maka terjadilah! Walau sejauh ini saya tetap berpendapat bahwa gejala dapat dibaca sebagai tanda-tanda.
Sampai di sini, saya tetap berpendapat bahwa ancaman dan musuh terbesar bagi Jokowi bukanlah KAMI, sekalipun kelompok ini sudah menyatakan secara terbuka sebagai barisan oposisi. Ancaman terbesar justru datang dari langkah politik Jokowi yang lahir dari sikap percaya diri beliau yang terlalu berlebih dan terlalu tinggi (overconfident). Sehingga beliau banyak melakukan berbagai langkah politik orientasi jangka pendek yang melahirkan sejumlah persoalan dan keresahan panjang.
Dalam catatan, sejumlah langkah politik Presiden berpotensi mengepung dirinya dalam persoalan yang menambah ekstra pusing kepala. Seperti; penunjukan para personil pembantunya… para menteri dan wakil menteri dengan kriteria tak menentu, mengangkat para stafsus milenial yang absurd dan terkesan menyepelekan masalah, langkah politik yang ingin menyenangkan semua pihak dengan bagi-bagi jatah kekuasaan, membangun legacy lewat pemindahan Ibukota tanpa hitungan yang lebih matang, bagi-bagi bintang jasa tanpa pijakan nilai yang ideal, menyodorkan kesan membangun dinasti politik sekalipun disanggah keras, ajuan sekian Rancangan Undang-Undang yang mengundang sejumlah kontroversi; dan lain-lain.
Sehingga saya lebih cenderung berpendapat bahwa hal-hal yang seperti catatan di atas inilah yang lebih berpotensi muncul sebagai ‘musuh’ terbesar Pak Presiden kita. Ironisnya, kehadiran musuh potensial ini justru atas panggilan dari dirinya sendiri. Karena hal-hal itulah menurut saya yang mampu dan berpotensi besar membangkitkan perlawanan rakyat secara masif dan tak terduga.
Sementara dalam telaah saya, gerak politik KAMI yang mudah terbaca, masih merupakan riak politik biasa-biasa saja. Yang tentunya akan membesar dan menjadi gelombang berkekuatan besar hanya bila musuh besar Jokowi yang tak lain adalah ulah diri dan kebijakannya sendiri (yang meresahkan massa rakyat), dibiarkan terus berkembang.
Sehingga sangat salah alamat bila para pendukung fanatik Jokowi menganggap kehadiran KAMI merupakan ancaman yang berpotensi tinggi menghadirkan langkah besar politik yang berujung pada diturunkannya Jokowi dari kekuasaannya.
Yah, memang bukan tidak mungkin bisa erjadi. Hanya saja untuk sampai ke titik dan tahapan itu (secara konstitusional) amat sangat tidak mudah terjadi. Kecuali Jokowi membukanya sendiri dengan membiarkan keresahan sebagaimana sejumah catatan di atas, dibiarkan terus berjalan dan berlanjut.
Karena biasanya dalam bangunan kekuatan politik seorang pemimpin yang dibangun terlalu dan teramat kuat oleh dirinya dan para pendukungnya, akan terselip kemungkinan munculnya lobang kelemahan yang sedikit terbuka dan perlahan menjadi menganga lebar tanpa disadarinya.
Dalam hal ini, Pak Harto telah memberi pengetahuan itu kepada saya di akhir-akhir kekuasaannya, sebelum pada 21 Mei 1998, beliau undur diri! Sebuah pengalaman dan pelajaran politiik yang sangat berharga untuk diketahui oleh setiap pemimpin di negeri ini. Siapa pun dia!
Sehingga bagi saya yang malah menarik untuk diikuti perkembangannya adalah peristwa politik di gelanggang yang menggelar ‘pertempuran’ antara Jokowi versus Jokowi plus-plus. Karena membesar dan mengecilnya gerakan politik oposisi KAMI, akan sangat ditentukan oleh hasil pertempuran di gelanggangnya Jokowi vs Jokowi ++ ini! Setidaknya menurut saya!
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.com.
Advertisement