Muslim Sejati Menerima Perbedaan dan Keragaman, Ini Pesan Prof Nasaruddin Umar
“Agama Islam yang diserukan kepada umat manusia dan yang lainnya, hakikatnya sebagai jalan dan prilaku hidup yang indah serta damai,” kata KH Nasaruddin Umar.
Prof. Dr KH Nasaruddin Umar, MA, senantiasa memberikan pesan yang memotifasi jamaah agar menjadi Muslim sejati. Imam Besar masjid Istiqlal mengingatkan, belakangan ini kondisi umat Islam semakin terkotak-kotakkan. Oleh karena itu, ia mengimbau agar kita senantiasa menggalang persatuan dalam keragaman yang ada.
Menurut imam besar masjid terbesar se-Asia Tenggara ini, Muslim sejati adalah Muslim yang mau menerima perbedaan dan keragaman. Apalagi di Indonesia, dengan ratusan suku yang ada serta aliran yang bermacam-macam, jika tidak mau menghormati keragaman, maka perpecahan umat tak akan terelakkan.
Prof. Nasar, sapaan akrabnya, juga memberikan contoh, betapa banyak acara keagamaan yang isinya hanya berupa makian terhadap kelompok yang tidak sealiran. Dan, masalah ini kini tengah mewabah pula di Nusantara. Di mana, satu kelompok mencaci kelompok yang lainnya hanya karena perbedaan pemahaman. Padahal sama-sama satu agama.
Lantas bagaimana dengan yang beda agama? Padahal sejatinya Allah SWT menciptakan manusia secara bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, yang tentu pula dengan geragaman di dalamnya.
“Agama Islam yang diserukan kepada umat manusia dan yang lainnya, hakikatnya sebagai jalan dan prilaku hidup yang indah serta damai,” tegasnya.
Untuk Nusantara, gambaran keindahan Islam yang nyata dalam catatan sejarah, ulas Prof. Nasar, adalah apa yang telah dilakukan dan diwariskan oleh Wali Songo. Dengan pola sebaran Islam yang memahami substansi ajarannya serta menghormati tradisi setempat, membuat masyarakat tertarik untuk memeluk agama Islam yang sebelumnya asing bagi mereka.
Ditegaskannya, meskipun Islam identik dengan Arab, tapi bukan berarti Arab adalah Islam, dan Islam bukan Arab. Islam adalah ajaran kebenaran yang mengedepankan akhlaq yang diturunkan oleh Allah SWT untuk makhluk di seluruh alam. Maka itu, beragama Islam tidak selamanya harus seperti orang Arab.
Paparan ini, di antaranya untuk merespon fakta yang ada sekarang, bahwa jika dikatakan Muslim, biasanya harus berbau Arab. Atau dalam kata lain, semuanya harus serba Arab, baik pakaian, tampilan, makanan, tradisi dan sebagainya.
Tentang keindahan Islam dalam keragaman budaya bangsa, lagi-lagi gambaran konkretnya ada pada Wali Songo. Prof. Nasar mengingatkan, bahkan di antara anggota dari Dewan Wali Sembilan tersebut, yakni Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah digambarkan sebagai ulama yang selalu berpenampilan Nusantara dalam kekhasan budaya Jawa.
“Bahasa wejangan dalam dakwahnya pun juga bahasa Jawa. Termasuk huruf yang dipakai untuk menulis ajarannya juga dengan huruf Jawa. Tentu saja, contoh ini bukan maksud Jawanisasi atau Jawa Centris, melainkan suatu gambaran yang luar biasa; bahwa ada seorang ulama lokal dengan budaya lokal berhasil menancapkan ajaran Islam pada masyarakat secara gemilang,” kata Prof Nasaruddin Umar.
Selain bahasan di atas, Prof. Nasar juga membahas betapa pentingnya doa. Mengutip sebaris Hadits, yakni: Addu’au Mukhul Ibadati: bahwa doa adalah pokok dari ibadah, maka berbagai persoalan juga bisa diselesaikan dengan doa. Namun tentu saja, dalam berdoa ada beberapa persyaratan yang harus dilaluinya.
Mengenai hal ini, Prof. Nasar mengutip wejangan Imam Ghazali, yang intinya: dalam berdoa atau bermunajat, kita harus bisa menyungkurkan diri di hadapan-Nya. Dalam kata lain, kita harus benar-benar menjadikan diri sebagai hamba yang tiada daya di hadapan-Nya. (adi)