Muslim Rohingya Raih Dukungan Anti-Junta Myanmar, Nasib Suu Kyi?
Kelompok anti-junta Militer Myanmar ramai-ramai menunjukkan solidaritas untuk etnis Muslim Rohingya. Mereka membanjiri media sosial Myanmar dengan foto-foto diri mengenakan pakaian hitam, sebagai bentuk dukungan kepada Rohingya, salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di negara itu, Minggu 13 Juni 2021.
Sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dari kekuasaan dalam kudeta 1 Februari, gerakan anti-junta yang menuntut kembalinya demokrasi telah berkembang termasuk memperjuangkan hak-hak etnis minoritas. Demikian dikutip CNN, Kamis 17 Juni 2021.
Etnis Teraniaya
Rohingya, yang sebagian besar Muslim, tidak diakui sebagai warga negara di Myanmar. Mereka sudah sejak lama mengalami penganiayaan di tanah airnya sendiri.
Ratusan ribu orang melarikan diri dari tindakan keras militer tahun 2017 ke negara tetangga Bangladesh.
Aktivis dan warga sipil memposting foto diri mereka di media sosial mengenakan pakaian hitam sambil berpose simbol perlawanan salam tiga jari dengan tagar "#Black4Rohingya".
"Keadilan harus ditegakkan untuk Anda dan kami di Myanmar," kata aktivis HAM Thinzar Shunlei Yi di Twitter.
Aksi Kecil tapi Massif
Seperti dikutip dari AFP, media lokal juga melaporkan ada aksi kecil di Yangon. Di sana para demonstran kompak berpakaian hitam sambil memegang spanduk protes Rohingya yang tertindas.
Pada Minggu sore, tagar #Black4Rohingya menjadi trending di Twitter Myanmar dengan lebih dari 332.000 mentions.
PBB mencatat sekitar 740 ribu etnis Rohingya meninggalkan negara bagian Rakhine pada Agustus 2017 untuk mengungsi ke Bangladesh karena ada upaya genosida.Penentang Junta Myanmar.
Sidang Perdana Suu Kyi Tanpa Pemeriksaan Silang
Sementara itu, Pengadilan di Naypyitaw telah menggelar sidang perdana terhadap pemimpin terguling Myanmar Aung San Suu Kyi.
Dalam sidang perdana tersebut, penuntut menghadirkan saksi untuk didengarkan keterangannya di pengadilan yang berada di ibu kota Myanmar tersebut.
Namun pengadilan hanya mendengar kesaksian tanpa melakukan pemeriksaan silang dari saksi yang dihadirkan penuntut dalam kasus Suu Kyi dan Presiden U Win Myint.
Ada tiga perkara yang menjerat Suu Kyi untuk disidangkan di pengadilan tersebut sejak diamankan tentara di komplek parlemen Myanmar pada Februari lalu.
Suu Kyi dijerat ancaman hukuman terkait dugaan pelanggaran pembatasan terkait pandemi Covid-19 saat berkampanye untuk pemilihan umum yang dimenangkan partainya, Liga Nasional Demokrat (NLD).
Selain itu, Suu Kyi pun didakwa mengimpor radio panggil alias walkie talkie secara ilegal, serta pelanggaran UU Rahasia dan antikorupsi.
Seperti dilansir Reuters, proses mendengarkan keterangan saksi pada Senin lalu itu berlangsung kurang dari lima jam.
Mendengar Keterangan Saksi
Pada persidangan tersebut yang didengarkan adalah keterangan saksi terkait kasus kepemilikan radio komunikasi dan pelanggaran terkait pandemi Covid-19.
Adapun keterangan yang didengarkan dalam sidang itu adalah dari dua perwira polisi yang mengusutnya.
"Kami tidak cukup waktu untuk mendengarkan kesaksian dari [dihadirkan] jaksa," ujar salah satu pengacara Suu Kyi, Min Min Soe seperti dikutip dari The Irrawaddy, Selasa (15/6/2021).
Selasa lalu, dijadwalkan kembali kelanjutan sidang Suu Kyi di Pengadilan Distrik Timur Yangon mendengarkan kesaksian terkait pelanggaran hukum rahasia dan antikorupsi.
Atas tuduhan-tuduhan yang dilayangkan kepada Suu Kyi, tim kuasa hukumnya menegaskan semua dakwaan tersebut adalah absurd.
Tim Suu Kyi berharap persidangan akan selesai pada 26 Juli mendatang. Tak hanya Suu Kyi, petinggi Myanmar yang juga diseret ke meja hijau adalah Presiden U Win Myint, yang didakwa dengan Undang-Undang Bencana Alam, dan Ketua Dewan Naypyitaw, Myo Aung. Keduanya akan disidang pada Selasa 15 Juni 2021.
Krisis Myanmar sejak Kudeta Militer
Setelah pengambilalihan kekuasaan yang bermula penangkapan Suu Kyi pada awal Februari lalu, Junta militer Myanmar mengklaim melakukan penyelidikan tindak korupsi.
Mereka lantas menuduh Suu Kyi menerima uang tunai dan emas, menyumbangkan dana ke yayasan amalnya serta menyalahgunakan wewenang.
Myanmar tengah dilanda krisis sejak kudeta 1 Februari berlangsung. Perlawanan terhadap pengambilalihan kekuasaan secara paksa itu tak pernah surut. Bahkan sejumlah milisi etnis turut bergabung dengan warga sipil melawan junta.
Merespons masifnya perlawanan junta terus menggunakan tindak kekerasan. Mereka menggunakan kekuatannya untuk membunuh warga sipil.
Hingga kini, menurut catatan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) korban yang tewas di tangan junta militer mencapai 863. Sementara orang yang ditahan sebanyak 4.880.
Advertisement