Muslim Minoritas di Thailand, Begini Kesan pada Raja Baru
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn telah menerima mahkota dalam hari pertama ritual penobatan, yang berlangsung selama tiga hari. Raja Vajiralongkorn mewarisi takhta pada 2016 ketika ayahnya yang telah lama memerintah, Bhumibol Adulyadej wafat.
Beberapa hari yang lalu dalam pengumuman yang mengejutkan, istana mengatakan sang raja telah menikahi kekasih dan permaisuri kerajaannya, yang sekarang menjadi Ratu Suthida.
Thailand dipimpin dengan sistem pemerintahan monarki konstitusional, namun keluarga kerajaan sangat dihormati oleh warga Thailand dan memiliki pengaruh yang besar. Thailand juga memiliki undang-undang yang ketat, disebut lese majeste, yang melarang kritik terhadap kerajaan. Hukum telah melindungi keluarga kerajaan dari pandangan dan pengawasan publik.
Dalam upacara pada hari Sabtu 4 Mei 2019, raja berusia 66 tahun itu menerima Mahkota Kemenangan, yang merupakan salah satu tanda kerajaan Thailand. Mahkota seberat 7,3 kg itu ia kenakan di kepalanya.
Sang raja kemudian memberikan titah pertamanya, berjanji untuk memerintah dengan kebenaran, seperti yang dilakukan ayahnya pada penobatannya 69 tahun lalu.
"Selama ini telah memberikan perhatian khusus kepada masyarakat minoritas Muslim, khususnya di Thailand selatan, sejak ia masih menjadi putra mahkota," kata Amad Omar Chapakia.
Penobatan ini dilakukan di saat-saat ketidakpastian politik. Pemilihan umum diselenggarakan pada 24 Maret, yang pertama kalinya sejak tentara mengambil alih pemerintahan dalam kudeta pada 2014, tetapi pemerintahan baru belum diumumkan. Namun, banyak warga Thailand bersemangat untuk menjadi saksi sejarah, dan akan menyaksikan upacara penobatan pertama dalam hampir 70 tahun.
Raja Vajiralongkorn, 66 tahun, adalah anak kedua, dan putra pertama, dari Ratu Sirikit dan Bhumibol Adulyadej.
Bagaimana sosok Sang Raja Thailand, di mata umat Islam di negeri Gajah Putih tersebut?
"Selama ini telah memberikan perhatian khusus kepada masyarakat minoritas Muslim, khususnya di Thailand selatan, sejak ia masih menjadi putra mahkota," kata Wakil Rektor Universitas Fatoni, Patani, Thailand selatan, Amad Omar Chapakia, dikutip ngopibareng.id, Senin 6 Mei 2019, dari BBC.
Raja sering menghadiri acara-acara keagamaan umat Islam, seperti musabaqah tilawatil Alquran atau lomba membaca Alquran, serta peresmian sekolah-sekolah Islam. Bahkan sekitar tiga minggu lalu, kata Amad Omar Chapakia, raja juga memberikan dukungan kepada peserta lomba membaca Alquran di masjid Patani.
"Beliau sendiri yang datang untuk meresmikan acara. Dan ini tampak beliau memberikan keutamaan," katanya.
Profesor Madya Dr. Amad Omar Chapakia menambahkan, selain datang langsung ke acara-acara umat Islam di Thailand selatan, raja juga menunjukkan penghormatan dengan cara lain.
Kawasan Thailand selatan dengan penduduk Muslim mencakup Provinsi Narathiwat, Pattani, Yala dan Songkla.
"Kalau ada acara berdoa, beliau sendiri turut mengangkat tangan. Biasanya orang-orang Buddha mengambil sikap biasa saja, tidak mengangkat tangan untuk acara orang Islam. Kalau raja ini turut mengangkat tangan."
Penilaian serupa juga disampaikan oleh Onanong Thippimol, dosen dari Universitas Thammasat di Bangkok. Menurutnya, komunitas Muslim di Thailand selatan memiliki kedekatan dengan raja sekarang sebab sejak ia masih menjadi putra mahkota, ia sudah sering melakukan kunjungan ke sana.
"Beliau menunjukkan selalu peduli terhadap masyarakat di sana," jelasnya.
Thailand selatan telah lama mengalami ketegangan sektarian sehubungan dengan upaya pemberontakan di wilayah mayoritas Muslim di negeri mayoritas Buddha.
Kedekatan raja dianggap sebagai salah satu upaya meredakan ketegangan.
"Mungkin raja menganggap bahwa di Patani itu ada kekerasan sudah lama dan juga ada banyak masyarakat Buddha yang tinggal di sana. Mungkin raja ingin membuat situasi di Thailand selatan lebih damai." Demikian dijelaskan Onanong Thippimol.
Namun Onanong mengatakan bukan berarti lebih dekatnya raja sekarang dengan masyarakat minoritas di Thailand selatan, penyelesaian masalah akan lebih mudah.
"Menurut saya kalau Thailand belum mencapai demokrasi yang total, tidak mudah damai akan terjadi di Thailand Selatan," kata Onanong.
Konflik berdarah di Thailand selatan sejak awal tahun 2000 diperkirakan telah menewaskan sekitar 6.500 orang -baik di kalangan aparat keamanan Thailand maupun warga sipil. (adi/bbc)
Advertisement