Muslim Amerika Makin Terbuka Paska 9/11
BAGAIMANA muslim di Amerika sebelum 9/11? Semua terlihat normal, tidak ada yang memberikan perhatian serius terhadap Islam. Namun bukan hanya Islam yang mengalami ketidakacuhan itu melainkan terjadi di hampir semua komunitas. Mereka saling bertemu dalam ruang-ruang publik namun jarang terlibat dalam dialog yang lebih mendalam antara satu sama lainnya.
Peristiwa 9/11 membuka mata Amerika terhadap persoalan yang mereka hadapi selama ini yakni stigmatisasi sempit atas isu agama dan membesar menjadi Islamophobia. Dalam survei American Muslim Poll 2017 yang dirilis oleh ISPUmenyajikan temuan bahwa muslim Amerika menganggap persoalan diskriminasi dan fanatisme sebagai masalah prioritas.
Disusul masalah diskriminasi dalam soal ekonomi. Ini memperkuat data yang disampaikan oleh Statistik Kebencian Badan Investigasi Federal (FBI) tahun 2015, dimana dari 1.244 kasus ujaran kebencian sampai tindakan fisik yang ada, sebanyak 664 dialami oleh Yahudi dan 257 kasus dialami oleh muslim.
Dari sisi demografis, kondisi terbaru memperlihatkan beberapa hal menarik. Dari sisi jumlah, muslim Amerika mengalami perkembangan signifikan. Menurut survei dari Pew, sampai tahun 2016, populasinya sekitar 3.35 juta orang dari segala usia. Sebanyak tiga dari 10 atau sekitar 31% adalah lulusan perguruan tinggi termasuk 11% diantaranya mendapatkan pendidikan pascasarjana.
Kelompok muslim imigran mempunyai pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan muslim yang lahir di AS. Kendatipun dari sisi penghasilan, mereka masih mempunyai rata-rata tahunan yang lebih rendah daripada warga Amerika umumnya.
Sebagian besar muslim Amerikamengidentifikasi dirinya sebagai ras kulit putih (41%). Mereka datang sebagai imigran dari Timur Tengah, Eropa Timur, Turki, Iran. Disusul Asia, Selatan dan Tengah sebanyak 28 % dan kulit hitam (20%).
Muslim kulit hitam, sebanyak duapertiga adalah mualaf yang jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan muslim non kulit hitam yakni satu dari 7 yang memeluk Islam dari pindah agama. Muslim kulit hitam merasa berat menjadi muslim di AS. Selain diskriminasi ras dan warna kulit, 96 persen dari mereka juga mengalami diskriminasi soal agama.
Sebelum 9/11, kelompok muslim imigran ini secara fisik menjadi warga Amerika namun secara spritual dan psikologis masih hidup sesuai kampung halamannya, kata Zahid Bukhari dari Islamic Circle of North America. Kadang pertikaian antar kampung halaman dinegara asal sampai pertentangan madzab juga terbawa ditempat barunya di Amerika.
Pada awalnya, antara muslim kulit putih dan hitam, masing-masing membawa jenis advokasi dan isu-isu publik yang berbeda. Yang pertama lebih fokus pada persoalan imigrasi dan yang kedua pada kesetaraan perlakuan sebagai warga.
Dampak dari stigmatisasi muslim setali tiga uang dengan kelompok teroris dialami secara langsung oleh keluarga-keluarga muslim. Eskalasinya mengalami kenaikan menjelang pemilihan presiden 2016 lalu. Sekalipun mereka telah tinggal selama 2-3 generasi di AS.
Di beberapa negara bagian yang mempunyai komunitas muslim dalam jumlah besar seperti di metropolitan Detroit, Michigan atau California, dampak berupa cibiran, kecurigaan dan bullying tidak begitu menekan. Mereka bisa membangun solidaritas antar kelompok muslim, atau memanfaatkan jaringan komunikasi dengan pemuka-pemuka agama lain seperti dari Kristen dan Yahudi. Namun dinegara bagian dimana jumlah mereka sedikit, perlakuan semakin terasa.
Jumlah komunitas muslim di Dearborn, Michigan tergolong banyak. Organisasi terbesar adalah Islamic Center of America (ICA) yang dikelola oleh muslim Syiah yang berasal dari imigran Lebanon. Mereka menginisiasi dialog Sunni-Syiah yang sebenarnya bukan isu penting namun kerap menjadi sekat pergaulan antar muslim di AS. Justru sifat kedaerahan yang tetap dipertahankan, kadang memunculkan komunikasi yang buruk. Selain ICA, juga ada Islamic Institute of Knowledge, National Network for Arab American Communities dan Islamic Organization of North America.
Di Minneapolis, terdapat muslim keturunan Somalia dalam jumlah besar. Sedangkan di Chicago dipenuhi oleh komunitas muslim dari Sudan. Beberapa kejadian yang menunjukkan diskriminasi di Minnesota misalnya dialami oleh Hazma Jeylani tahun 2015 yang kakinya dipatahkan oleh polisi karena tuduhan pencurian mobil. Atau penembakan Abu Kassim yang sakit jiwa pada tahun 2002 oleh polisi.
Organisasi seperti CAIR secara aktif melakukan advokasi dan penyebaran informasi tentang persoalan imigrasi dan hak-hak warganegara, dalam menjembatani pemahaman antara warga amerika secara umum dan komunitas muslim secara khusus. Di Minnesota, mereka menjalin hubungan kuat dengan legislator dari kelompok keturunana Somalia, Ilhan Omar yang duduk sebagai anggota DPR AS
Beberapa organisasi keagamaan menggelar dialog lintas iman agar bisa efektif menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan perbedaan ketengah-tengah publik sebagaimana dilakukan oleh Interfaith Alliance (IA) di Washington. Jay Keller dari IA menerangkan bahwa “pemahaman lintas iman dan membangun saling pengertian antar agama bisa dilakukan sejak dini dengan pembelajaran pada generasi muda”.
Organisasi Islam yang berpengaruh seperti Muslim Public Affairs Council (MPAC) juga mempunyai dukungan yang melimpah dan terlibat penuh dalam kampanye menangkal stigmatisasi negatif terhadap komunitas muslim.
Sejalan dengan IA, usaha lain juga dilakukan oleh organisasi muslim untuk melakukan integrasi muslim yang eksklusif berdasarkan komunitas asalnya menjadi lebih menyatu sebagai bagian dari warga amerika. Sebagaimana dituturkan oleh Ilhan Cagri, policy fellow di MPAC Washington “kami juga melakukan pengajaran dari hal yang fundamental.
Misalnya dengan memahamkan makna dari kitab suci sehingga menjadi bekal mereka dalam kehidupan sosial selepas hidu dengan keluarga. Bukan hanya meminta mereka menghafalkan saja”. Pola ini bisa efektif untuk mentransformasikan nilai-nilai kabaikan publik yang bisa direpresentasikan dari ajaran Islam sehingga menegaskan identitas keagamaan atau budaya tanpa harus ter-ekslusi dari kehidupan publik yang berlandas nilai-nilai Amerika.
Selain itu, ditingkat nasional, organisasi yang juga berpengaruh adalah Council on American-Islamic Relations (CAIR). Maraknya Islamophobia mendapatkan respon aktif dari berbagai organisasi yang ada. CAIR misalnya, mendukung secara terbuka gerakan anti diskriminasi kulit hitam Black Lives Matter (BLM) seiring meningkatnya kejahatan atas dasar kebencian dan kebijakan anti-imigran dari pemerintahan Trump dan kelompok “White Supremacist”.
Sebagaimana diketahui, Jacob Bender, direktur eksekutif CAIR Philadelphia yang seorang Yahudi sempat mengeluhkan, “Oleh komunitas Yahudi, saya dicibir membela Islam. Sedangkan oleh beberapa pemuka muslim, saya dicurigai sebagai agen Yahudi didalam lingkungan advokasi muslim”.
Reaksi dari muslim Amerika terhadap Islamophobia sebenarnya mempunyai sisi positif yakni membuat segenap komunitas yang semula bekerja dengan agenda masing-masing, menjadi lebih bersinergi. Gerakan mereka lebih terkonsolidir berdasarkan afiliasi agama. Dukungan terhadap muslim Amerika dari komunitas keagamaan yang lain semisal Yahudi dan Kristen menarik untuk dilihat.
Dari rilis Brooking Insitution, menyebutkan dua kelompok konstituen penting dalam isu Timur Tengah adalah Yahudi Amerika dan Kristen Evangelis. Hanya 20 % kelompok Yahudi menyatakan bahwa Islam tidak kompatibel dengan tradisi budaya Barat. Sedangkan 55 % kelompok Kristen Evangelis mempunyai pendapat yang sama. Sebanyak 55% kelompok Yahudi merasa nyaman dengan muslim namun hanya 38 % kelompok Kristen Evangelis yang berpendapat sama.
Penguatan komunikasi antar komunitas keagamaan dalam rangka membentuk rasa kesepahaman dan saling menghargai juga dilakukan. Dialog antara Islam dengan Kristen yang secara rutin digelar di Dearborn, Michigan. Pendeta Fran Hayes dari gereja Presbyterian Littlefield menuturkan bahwa “otoritas Gereja Presbyterian Amerika mempunyai panduan khusus dalam dialog antar iman dengan menekan prinsip kejujuran, cinta kasih pada tetangga dan saling menghargai perbedaan”. Senada dengan itu, ICA yang dikelola oleh muslim syiah Lebanon juga menjadi sponsor utama dialog. Eide Alawan menyebutkan “kita sering meminta para rohaniwan Yahudi dan Kristen untuk memberikan ceramah ditempat kami dan sebaliknya”. Dampaknya bisa dilihat dari protes tandingan atas kampanye Pendeta Terry Jones untuk membakar Al-Qur’an.
Kolaborasi dan sinergi untuk membendung kebencian terhadap Muslim Amerika yang melibatkan pihak luar komunitas muslim diantaranya dengan pembentukan tim kerja. Sebagaimana inisiasi dari National Network for Arab American Communities, Michigan. Ahmad Abuznaid, direktur lembaga tersebut memberikan keterangan “kami memberikan advokasi, pendampingan dan penguatan posisi tawar komunitas Arab, bukan hanya yang beragama Islam saja, melainkan orang Arab yang berasal dari kelompok minoritas agama lain”. Sebagaimana diketahui, Islamophobia kerap juga menyasar orang Arab non Muslim.
Kini, muslim Amerika, terutama di negara bagian yang mempunyai populasi muslim besar mulai menyadari pentingnya membuka diri dan terlibat aktif dalam menyokong organisasi. ISPU mencatat bahwa sampai tahun 2017, sebanyak 23% muslim terlibat aktif sebagai anggota.
Diantaranya, 18% memperbanyak donasinya untuk mendukung berbagai program kegiatan. Berbagai organisasi ini, bekerjasama penuh dengan lembaga penegak hukum, terutama FBI dan Department of Homeland Security yang mengurusi soal imigran. Hubungan baik ini terlihat dengan berbagai kemajuan untuk membendung stigmatisasi dan Islamophobia, baik yang berasal dari kelompok masyarakat atau “sindrom bias” yang kerap dialami oleh aparat penegak hukum.
*) M. Faishal Aminudin adalah dosen Fisip Universitas Brawijaya Malang.
Advertisement