Musim Hujan, Pedagang di Kampung Jamu Terkendala Bahan Baku
Selama kurang lebih seminggu ini pelaku usaha jamu tradisional di kampung jamu Desa Ringin Sari, Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri, mengeluhkan minimnya pasokan bahan baku.
Minimnya pasokan bahan baku untuk pembuatan jamu tersebut tidak lepas dari kondisi musim hujan yang terjadi seperti sekarang ini. Salah satu pembuat jamu, Nurmiyasih, mengatakan kendala yang dihadapi para pedagang selalu sama. Nurmiyasih sudah berjualan jamu belasan tahun.
"Ya bahanya kadang-kadang itu sulit, kan pengepul belinya di pegunungan, jadi jalannya mungkin agak susah karena berlumpur," kata Nurmiyasih, satu dari sekian ratus pedagang jamu tradisional di desa setempat.
Perempuan berusia 50 tahun ini menyebutkan, selama ini semua pedagang jamu yang ada di Desa Ringin Sari kebanyakan mendapat pasokan bahan baku dari pengepul empon-empon dari Tulunganggung dan sekitar Kediri.
Karena minimnya ketersediaan bahan baku, jatah untuk para pedagang terpaksa harus dikurangi lantaran dibagi rata dengan pedagang lain. Jika biasanya pedagang diperbolehkan untuk membeli 5 kilogram bahan baku, kini dikurangi jatahnya hanya boleh membeli 3-4 kilogram saja.
Untuk setiap transaksi pembelian 5 kilogram bahan baku jamu, Nurmiyasih biasanya merogoh kocek kisaran Rp200 ribu.
Bahan baku yang dipergunakan untuk membuat jamu antara lain kencur, jahe, kuning, temulawak dan kunci. "Kalau belinya bahan baku sebanyak 5 kilogram, biasanya untuk keperluan jualan sampai 2 kali seminggu," kata Nurmiyasih.
Jamu tradisional yang biasa dijual di kampung jamu antara lain beras kencur, cabe puyang, gopyokan, sirih, pahitan serta varian lainya. Selain beragam jamu yang dijual di atas, mereka juga melayani pesanan jamu lain sesuai permintaan konsumen, misalnya kunci pepet (jamu khusus ibu rumah tangga).
Jumlah pedagang jamu tradisional di Desa Ringin Sari saat ini sekitar 200-250 orang. Mereka berjualan seminggu sampai 3 kali, menyasar wilayah Kediri, Blitar, hingga Tulunganggung menggunakan sepeda motor.
Sementara itu, jamu-jamu tersebut dijual di kisaran Rp8.000-Rp10.000, tergantung jenisnya.
Untuk menjaga kesegaran dengan rasa orisinal, jamu tersebut dibuat beberapa jam sebelum dijual ke konsumen. Bahan baku yang dipergunakan semuanya alami tanpa bahan pengawet.
"Kalau saya membuat jamu mulai pukul 02:00 dini hari WIB selesai subuh. Jam 07.00 pagi berangkat dari rumah, keliling sampai jam 13:00 siang," kata Nurmiyasih.
Soal omzet yang didapat dari hasil penjualannya tersebut, Nurmiyasih enggan menyebutkan besarannya.
"Pokoknya cukuplah buat beli bensin serta bahan bakunya," ujarnya singkat.
Dua Generasi
Sementara itu, Zaenal selaku koordinator kelompok jamu Desa Ringin Sari menjelaskan, usaha penjualan jamu tradisional ini sudah berlangsung selama dua generasi.
Namun baru di tahun 2015 Desa Ringin Sari dikukuhkan sebagai kampung jamu. Dan tak lama setelah itu, para pedagang jamu di desa ini membentuk beberapa kelompok pelaku usaha. Setiap kelompk terdiri dari 10 orang.
"Kemudian dibentuk kelompok usaha bersama, namanya Megersari, Seger Waras. Saat ini masih terbentuk 6 kelompok," terangnya.
Zaenal menambahkan, jamu yang racikan desa ini mempunyai ciri khas rasa tersendiri jika dibandingkan dengan daerah lain. Bahkan racikan setiap pedagang jamu satu dengan pedagang lain terkadang menggunakan bahan baku tidak sama, sehingga rasanya berbeda.
"Cita rasanya beda, artinya setiap racikan ibu-ibu punya rasa masing-masing. Ada yang campurannya buah nanas, ada yang dari dedaunan," ungkapnya. Karena itu, setiap pedagang memiliki pelanggan masing-masing.
"Mereka dari rumah ke rumah tinggal memberikan kebutuhan dua botol, satu botol. Jangkauannya antar kabupaten, di antaranya sampai ke Blitar, Tulunganggung hingga wilayah Barat Kecamatan Mojo atau bahkan Kelud," paparnya.
Advertisement