Musik itu Indah, Ulama Bagai Pohon Rindang, Berbuah Manis
(Peristiwa monumental Resepsi Puncak Harlah Satu Abad NU di Sidoarjo dan acara-acara sejenis yang mendahuluinya, telah menitipkan gairah pada hatiku untuk secara tak terbendung menulis dan menulis. Mohon dimaklumi. Ya gaes?.)
Lagu "Ashghal" yang dinyanyikan empat putra putri ulama dengan suaranya yang amat merdu dan indah, diiringi gesekan biola yang mendayu-dayu oleh perempuan-perempuan cantik dan laki-laki gagah dan dikomandani oleh komponis/ maestro orkestra yang ganteng, Addie MS, membuat orang-orang yang mendengar terpukau, hanyut dalam suasana hati yang bergetar tetapi damai dan indah.
Bahkan banyak di antara mereka meneteskan air mata hangat bening yang mengalir di pipi diiringi suara sedu sedan yang memilukan. Mereka menyanyi di depan sejuta lebih mata dengan beragam identitas : para ulama besar dunia, para kiai yang alim dan sufi, para santri, laki-laki-perempuan, dewasa-anak-anak dan lain-lain.
Menyaksikan fenomena ini, aku ingat Imam Abu Hamid al-Ghazali, seorang sufi besar, dan perumus final Islam Ahlussunnah wal Jamaah dalam dimensi spiritual. Ia mengatakan :
مَنْ لَمْ يُحَرِّكْهُ الرَّبِيْعُ وَأَزْهَارُهُ، وَالْعُودُ وَأَوْتَارُهَ، فَهُوَ فَاسِدُ الْمِزَاجِ، لَيْسَ لَهُ عَلاَجٌ
“Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati”. (Ihya Ulum al-Din, II/275).
Bagi al-Ghazali musik dapat meningkatkan gairah jiwa. Ia mengajak orang untuk merenungkan suara-suara kicauan burung nuri atau cucak rowo atau burung-burung yang lain. Suara-suara itu begitu indah, merdu dan menciptakan kedamaian di hati pendengarnya. Seruling (Ney) yang ditiup, tuts-tuts piano yang ditekan satu-satu, biola yang digesek-gesek atau rebana yang ditabuh adalah suara-suara. Suara-suara ini hadir mengekspresikan lubuk hati yang dalam. Musik adalah simbol isi hati dan pikiran.
Di tempat lain al-Ghazali mengatakan dengan penuh kearifan :
“Mendengarkan music penting bagi seorang yang hatinya dikuasai oleh cinta kepada Tuhan, agar api cintanya tetap berkobar-kobar. Tetapi bagi orang yang hatinya dipenuhi cinta hasrat duniawi yang fana atau diliputi birahi yang menyala-nyala, mendengarkan musik merupakan racun yang mematikan hati, memalingkan dari Tuhan dan melalaikan-Nya. Jika begitu maka itu haram”.
Dan yang paling terkenal adalah Maulana Jalaluddin Rumi. Sufi penyair besar dan legendaris, menggubah tarian berputar Whirling Dervishes (Darwis yang berputar) atau Sema, diiringi Ney (seruling bambu) yang mendayu-dayu, mengungkapkan kerinduan yang menggamit relung kepada Sang Kekasih.
Aku menyaksikan tarian indah ini di Istanbul dan di pelataran Mausoleum Rumi di Konya yang antik, melankoli dan selalu merindukan.
Ulama Bagai Pohon Rindang, Sangat Indah dan Berbuah Manis
Akibat adanya Peristiwa bersejarah Puncak peringatan 1 abad NU di Sidoarjo kemarin, kosa kata "Ulama" menjadi viral dan membahana. Banyak orang penasaran untuk bertanya lagi : siapakah sesungguhnya Ulama itu?.
Terhadap pertanyaan ini, aku kembali menyampaikan pandangan Maulana Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar tentang hal ini, dari karyanya : Fihi Ma Fihi.
Ia tak mendefinisikannya sebagaimana para kaum rasionalis. Tetapi, sebagaimana tradisi kaum sufi penyair, ia memberikan contoh (perumpamaan) yang amat menarik tentang siapa orang alim/ulama (orang berilmu) itu.
Ulama itu bagaikan matahari yang memberikan cahaya untuk yang alam semesta. Atau bagai taman yang subur dan indah, tempat siapa saja senang datang untuk memeroleh kebahagiaan dan keindahan nurani, dan bagi para pejabat negara memeroleh pengetahuan membuat suasana rakyat sejahtera.
Atau ulama itu bagai pohon dengan akar yang menghunjam di tanah yang subur. Tanah itu lalu menjadikan pohon tersebut berdiri kokoh dan kuat dengan menumbuhkan daun-daun yang menghijau dan merimbun. Ia menaungi yang di bawahnya. Lalu ia mengeluarkan bunga-bunga warna warni nan mewangi dan menghasilkan buah-buahan yang lebat dan enak rasanya. Meski dialah yang menghasilkan bunga dan buah itu, tetapi ia sendiri tak mengambil buah itu. Buah itu untuk orang lain atau diambil mereka. Jika manusia bisa memahami bahasa pohon itu, maka pohon itu akan berkata :
نحن تعلمنا ان نعطى ولا ان ناخذ
“Kami belajar Allah untuk memberi dan tidak untuk mengambil/meminta”.
Demikian catatan KH Husein Muhammad. (09.02.23/HM)
Advertisement