Murka Solo
Saya tak setuju dengan Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto. Yang mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo tidak marah. Saat mengumpulkan ratusan perwira menengah dan tinggi polisi di Istana Negara.
Tapi bisa saja Pak Benny beranggapan begitu. Karena beliau bukan orang Jawa. Yang bisa meresapi bagaimana kalau orang Jawa marah. Apalagi meresapi kegundahan hati presiden kita yang orang Solo.
Bagi saya, cara presiden mengumpulkan para perwira polisi itu sudah mencerminkan kemarahan dari seorang presiden yang orang Jawa. Yang mengekspresikan suasana hatinya tidak secara vulgar. Hanya muncul melalui simbol-simbol.
Bahwa semua tamu istana tidak boleh membawa telepon seluler itu memang protokolnya. Tapi para perwira pemegang komando itu tak boleh membawa tongkat komando dan topi dinas, ini sesuatu yang baru. Plus tidak boleh didampingi para ajudan.
Ini semacam mereka dilucuti sumber kekuasaannya. Dipreteli kewenangannya. Di depan presiden. Apalagi mereka juga tidak diperbolehkan ke Istana dengan kendaraan dinas maupun pribadi. Semuanya diangkut dengan bus.
Ada yang bilang bahwa para perwira itu sedang diplonco presiden. Oleh seorang panglima tertinggi di negeri ini. Setelah secara beruntun terjadi kasus yang menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi ini. Mulai kasus Ferdy Sambo, tragedi Kanjuruhan, dan terbongkarnya jenderal jual barang bukti narkoba.
Saya berkali-kali memutar video yang menayangkan pidatonya di depan ratusan petinggi Polri itu. Video itu ditayangkan oleh akun resmi Sekretaris Kabinet sehari setelah pertemuan Presiden dengan 500 perwira tinggi Polri di Istana Presiden yang berlangsung secara tertutup.
Hampir 24 jam pidato presiden itu dirilis ke publik. Tentu banyak orang penasaran dengan isi pidato presiden. Apalagi Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo hanya memberi penjelasan singkat kepada media usia pengarahan Presiden.
Saya bisa memahami kegundahan hati Pak Kapolri. Ibarat seorang ayah yang dipermalukan oleh kenakalan anaknya. Apalagi jelang pengarahan di Istana, publik juga dikejutkan penangkapan Kapolda Jatim Teddy Minahasa Putra karena diduga terlibat penjualan barang bukti narkoba. Hanya 4 hari setelah pengangkatannya sebagai Kapolda Jatim.
Mula-mula, pidato Presiden ditayangkan secara sepotong-potong berdasarkan 4 pesan utama yang disampaikan Presiden. Baru kemudian muncul pidato yang utuh di Youtube. Empat pesan itu terkait gaya hidup polisi, pungli dan layanan, soliditas Polri, dan komunikasi publik yang cepat.
Presiden menyampaikan itu dengan penekanan kata-kata dan mimik yang serius. Soal gaya hidup, misalnya. Ia berkali-kali menggunakan diksi hati-hati. Ia bahkan secara detail menyoroti gaya hidup tentang mobil mewah, motor gede, sampai hal remeh seperti pakaian yang dipakai polisi.
“Saya banyak mendapatkan laporan. Bahkan terlalu banyak tentang gaya hidup yang tidak mencerminkan sense of crisis. Hati-hati. Dalam era media sosial ini, siapa saja bisa menyampaikan ke publik. Meski sembunyi-sembunyi,” kata Presiden.
Rupanya, persoalan gaya hidup yang ditunjukkan sejumlah oknum petinggi Polri ini telah menjadi perhatian khusus Presiden. Soal ini, semula mencuat ke permukaan setelah diangkat Anggota Komisi II DPR RI Johan Budi. Ia adalah mantan juru bicara KPK dan juru bicara Istana.
Lalu diangkat oleh Najwa Shihab melauli Narasi TV. Kritik tentang gaya hidup di lingkungan petinggi Polri ini sempat membuat gaduh setelah artis Nikita Mirzani mengcounter Nana –panggilan presenter cantik dan berani ini. Juga diikuti mereka yang menamakan diri sebagai Sahabat Polisi.
Saya menangkap Presiden sudah gregetan soal ini. Itu terlihat dari diksi yang digunakan serta mimik saat menyampaikannya. Juga beberapa kali memberi jeda dalam setiap mengungkapkan kata. Tampak juga sering disertai dengan menghela napas.
Presiden seperti terpaksa harus memberikan pengarahan sendiri karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri betul-betul anjlok. Terjun bebas setelah terjadi peristiwa Sambo dan tragedi Kanjuruhan. Dari angka di atas 80 menjadi 50. “Ini sangat serius,” tegas Presiden.
Mengapa Presiden seperti begitu murka dengan persoalan ini? Tentu karena polisi adalah aparat pelayanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Inilah institusi negara yang juga menjadi cermin dari kinerja pemerintahan. Yang kiprah dan kinerjanya langsung dirasakan masyarakat.
Karena itu, di awal pidatonya, ia sempat mengapresiasi peran Polri dalam penanganan Covid-19. Sehingga Indonesia bisa segera lepas dari situasi pandemi selama 2 tahun. Vaksinasi Covid-19 menjadi berhasil, salah satunya karena peran besar polisi.
Selain karena bersentuhan langsung dengan masyarakat, kewenangan Polri memungkinkan ia masuk ke dalam seluruh lini kehidupan. John Emerich Edward Dahlberg Acton pernah berujar, Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan cenderung korup. Semakin absolut kekuasaannya, makin korup pula.
Ini yang berusaha diingatkan oleh Presiden. Tetapi sebagai orang Jawa, apalagi Solo, ia tak mungkin memberi peringatan secara vulgar. Ia menyampaikannya dengan simbol. “Kalau tongkat komando saya lucuti, kalian tak akan punya power. Karena itu hati-hati,’’ demikian kira-kira yang ada dalam benak Jokowi.
“Rem total,” kata Presiden Jokowi dengan intonasi tegas, keras dan jelas. Rupanya ia sudah melihat alarm merah jika soal gaya hidup sebagian oknum polisi dan keluarganya ini tidak segera diingatkan.
Dalam falsafah Jawa, orang mengenal ngono yo ngono, ning ojo ngono. Artinya kurang lebih, boleh saja seseorang punya kekuasaan, punya kekayaan, tapi tidak perlu pamer kekuasaan maupun kekayaan. Orang Jawa mengenal kepatutan. Ada batas moral. Ada empati dengan mereka yang tidak mampu. Tak boleh berlebihan.
Tentu upaya mengangkat kembali citra Polri bukan hanya tanggung jawab Presiden. Kita semua berkepentingan Polri tegak sebagai institusi penjaga keamanan warga. Kita berkepentingan Polri bisa kembali dikenal sebagai pengayom masyarakat.
Tentu ini bukan pekerjaan gampang. Tapi, kepercayaan publik akan kembali jika Polri bisa menunjukkan kinerja yang luar biasa setelah ini. Terutama dalam hal penanganan judi dan narkoba yang melibatkan sejumlah oknum perwiranya.
Kita akan lihat bagaimana wajah Polri setelah murka Solo ditunjukkan Presiden. Tepat di hari ulang tahun ke 101 sosok teladan polisi dalam sejarah kepolisian di Indonesia. Hoegeng Iman Satosa, mantan Kapolri yang tidak punya apa-apa sampai ia meninggal dunia.
Pasti itu simbol lain yang ingin dipesankan Presiden Jokowi kepada Polri. Saatnya spirit Hoegeng bersarang di hati seluruh petinggi Polri kita.
Advertisement