Muqaddimah, Tabir Penyingkap Kebenaran ala Ibnu Khaldun
“Karena itu, janganlah percaya terhadap informasi yang disampaikan kepada Anda,” tulis Ibnu Khaldun, pada bab awal dari buku Muqaddimah. Dia meminta, kita selalu memeriksa dan mengecek semua informasi itu. Tentu saja dengan ketentuan yang benar.
Menurutnya, itulah cara terbaik melumpuhkan informasi palsu. Tak heran, banyak ilmuwan besar meyakini, Muqaddimah adalah magnum opus karya pemikir Tunisia ini. Deretan status Ibnu Khaldun, memang mentereng. Dari ulama, sejarahwan, sosiolog, ilmuwan, dan tentu saja filsuf.
Kini, kita bisa menjumpai terjemahan terlengkap dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan oleh Wali Pustaka. Penerbit yang berkhidmad pada literatur Islam klasik.
Sebelumnya, buku ini sempat jadi perbincangan khalayak. Pokok soal, karena Mark Zuckerberg. Bos besar Facebook itu, memposting buku ini di status FBnya pada Juni 2015.
"Ini adalah sejarah dunia, ditulis oleh seorang intelektual yang tinggal pada 1300-an. Buku ini berfokus pada bagaimana masyarakat dan budaya tercipta, termasuk penciptaan kota, politik, perdagangan dan ilmu pengetahuan,” tulisnya.
Dia bertutur, tahun itu dia akan membaca buku ini. Mendiskusikannya dengan klub bacanya. Memang, ada irisan pemikiran Ibnu Khaldun dengan kiprah Mark Zuckerberg itu.
Apalagi, kalau bukan urusan praktik sosial yang membentuk perilaku masyarakat. Satu hal yang diperangi Mark adalah meluasnya informasi palsu. Dan Facebook, sempat dianggap memfasilitasi itu.
Yang bara politiknya masih saja terus menghangat, tentu tuduhan intelijen Rusia mengintervensi Pilpres di Amerika Serikat (AS). Para agennya, konon, menebar disinformasi dan propaganda melalui FB kepada warga AS. Agar mereka memilih Donald Trump.
Kembali ke hubungan pemikiran Ibnu Khaldun dan penyesatan informasi itu. Dengan Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengajarkan kita untuk selalu berpikir kritis. Dia percaya fakta terkecil sekalipun harus diteliti dalam menganalisis apa pun.
Metodenya dengan mengandalkan kritik. Lantas, melakukan pengamatan, perbandingan, dan pemeriksaan. Dan terakhir tentu mengambil keputusan.
Ternyata, sikap kritik ilmiah ini muncul karena banyak sekali kepalsuan beredar. Kisah peristiwa sejarah dia periksa. Dibandingkan dengan kisah yang berbeda. Tujuannya satu, untuk menghilangkan pemalsuan.
Sejak dulu, sudah banyak kisah yang mengandung kebohongan. Biasanya ditulis untuk menyanjung penguasa atau sekte. Para pembuat berita dan pendongeng sengaja menipu serta memalsu demi tujuan tertentu.
Apalagi terkait sejarah, bahkan informasi palsunya lebih kompleks. Ini mengapa, Ibnu Khaldun dianggap pelopor pertama ilmu sejarah. Seperti ilmu pengetahuan lainnya, sejarah memerlukan penelitian.
Dalam Muqaddimah ini, dia meyakini sejarah adalah seni doktrin yang berharga. Dia membagi sejarah menjadi dua bagian utama: manifes sejarah dan inti sejarah. Di benaknya, sejarah seharusnya tidak membatasi dirinya pada rekaman peristiwa.
Tapi kita juga harus memeriksa lingkungan, adat istiadat sosial, bahkan basis politik. “Sejarah sejati memberi tahu kita tentang kehidupan sosial manusia juga lingkungan dunia,“ tulisnya.
Pasalnya, hal itu berikatan dengan urusan peradaban. Ada kebiadaban dan kesukuan. Terutama juga bersinggungan dengan berbagai cara mendapatkan kekuasaan, hierarki negara, bahkan gaya hidup.
Oleh karena itu, dia mendesak kaum cerdik pandai agar akurat dalam pengamatan. Hasilnya, mereka akan terampil dalam membandingkan teks dengan subteks. Sehingga bisa memberikan kritik dan klarifikasi yang efektif.
Ada sejumlah temuan, kenapa ada yang suka memproduksi kebohongan. Atau berulang mereproduksinya. Antara lain urusan sektarianisme, kepercayaan yang salah pada sumber, ketidaktahuan atas tujuan tersembunyi, dan keinginan menyanjung para penguasa.
Selain itu banyak masyarakat yang melakukan kesalahan utama. Menerima informasi yang tidak dicek ulang. Semua hanya berbasis, katanya. Tidak mau meneliti sumbernya dengan cermat.
Catatan lain, kita harus dapat mengenali peristiwa dari dua sisi. Sebagai hal yang masuk akal dan mungkin benar, atau tidak dapat diterima dan hampir pasti salah. Peristiwanya sendiri perlu dipelajari secara terpisah, agar tahu mana yang benar atau salah.
Untuk urusan peradaban itu, Ibnu Khaldun mengusung konsep "abiasabiyyah". Dalam bahasa Arab, itu berarti "kesukuan, klan, komunitarisme". Dalam konteks modern, kita biasa menyebutnya “nasionalisme".
Inilah salah satu aspek di Muqaddimah yang paling terkenal. Asabiyyah digunakannya untuk menggambarkan ikatan kohesi di antara manusia dalam kelompok. Ikatan, asabiyyah, ada di setiap tingkat peradaban.
Baik dari masyarakat nomaden hingga negara dan kekaisaran. Asabiyyah paling kuat di fase nomaden, dan berkurang seiring kemajuan peradaban. Ketika asabiyyah ini menurun, asabiyyah lain yang lebih meyakinkan dapat menggantikannya. Ini yang menjelaskan bagaimana peradaban bangkit dan jatuh.
Konsep ini sering dibandingkan dengan ekonomi Keynesian modern. Teori Ibnu Khaldun jelas mengandung konsep pengganda. Namun, perbedaan yang krusial bahwa bagi Keynes, kecenderungan kelas menengah yang lebih besar untuk diselamatkan.
Satu yang juga menarik adalah konsep pajak. Ibnu Khaldun meyakini pajak tinggi sering menjadi faktor yang menyebabkan kerajaan runtuh. Seturutnya, negara malah mendapat pendapatan yang lebih rendah bila tarif pajak tinggi.
Setidaknya, itu yang dipraktikkan Presiden Ronald Reagen. Bahkan, dia merasa perlu mengingatkan Presiden Clinton, terkait hal ini. Selama dua periode kepresidenan tahun 1980-an, dia justru mengurangi pajak.
Niatnya jelas. Membuat masyarakat terangsang bekerja keras. Imbasnya, ekonomi tumbuh deras. Reagen pun dianggap salah satu presiden tersukses.
Saat itu, dia juga mengutip kalimat Ibnu Khaldun, ‘’Pada masa awal kekaisaran, pajaknya rendah dan pendapatan rakyat tinggi. Pada akhir kekaisaran, pajak tinggi dan pendapatan rakyat rendah.’’
Jadi untuk siapa pun yang memimpin negeri, untuk menghapus maraknya informasi palsu, tentu bukan dengan membungkam kritik. Tapi memfasilitasi warganya menjadi pribadi yang kritis. Jeli memilah informasi.
Oh ya, untuk urusan menutup defisit pendapatan, sebenarnya tak melulu harus hutang. Penurunan pajak bisa jadi penopang.
Ajar Edi, kolumnis “Ujar Ajar” di Ngopibareng.id