Munir
Bayangan kerap kali berselisih jalan dengan kenyataan. Begitu masuk gerbang kuliah pada minggu pertama di kampus, terpikir waktu akan habis untuk belajar di kelas. Ternyata, godaan berinteraksi dengan para aktivis kampus tak dapat saya tampik.
Entah kenapa pula saya kemudian lebih banyak bergaul dengan aktivis senior dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, sehingga dengan cepat bercakap dalam isu yang tak ada urusannya dengan bidang studi saya (ilmu ekonomi).
Pada ujung semester 1 saya dipaksa menjadi pemantik diskusi memperingati Hari HAM. Jadilah dua pekan saya mengurung di perpustakaan untuk membuat makalah. Di antara nama agung aktivis FH UB saat itu ialah: Munir.
Saya merasa "karir" tertinggi selama masa mahasiswa adalah menjadi moderatornya Munir ketika ia mengisi pelatihan kader. Figur yang saat itu telah menjulang (sekitar 1994) karena -salah satunya- pembelaannya terhadap Marsinah (tokoh buruh). Munir telah menjadi legenda di kalangan aktivis Universitas Brawijaya.
Dia menjadi model sempurna tokoh pergerakan mahasiswa. Kisah hidupnya semasa mahasiswa layaknya drama. Nyali dan kecerdasan adalah identitas yang melekat dalam dirinya. LBH Surabaya, saat itu, seperti dua sisi gunung yang menyatu dengan dirinya.
Tentu saja rasa takjub yang saya rasakan kala itu. Saya telah berupaya menyimpan gelora tersebut agar tak tertangkap oleh mata peserta, tapi pasti tak seluruhnya usaha itu berhasil karena gugup dan girang saling bertumbukan di hati. Singkat kisah, saya menjalankan tugas moderator dengan mulus.
Pantulan nyali dan kecerdasan Munir tersampaikan dengan jelas kepada peserta: para mahasiswa baru. Hari itu ia meledakkan ruangan dengan pikiran dan keyakinan yang utuh, seperti yang memang selalu ia pertontonkan dengan militan.
Waktu bergerak. 10 tahun kemudian (7 September 2004) saya mendengar ia akan berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi dan pada 12 September 2004 Munir diundang oleh para aktivis HAM di Frankfurt. Ketika itu saya sedang di ujung penyelesaian penulisan disertasi di Goettingen (2 jam naik kereta cepat dari Frankfurt).
Tak berpikir lama saya langsung menelponnya (Goettingen masih siang hari) agar mau singgah ke kota saya saat dia ke Frankfurt. Saat telpon diterima, ternyata ia tengah dalam perjalanan ke bandara (Cengkareng) menuju ke Amsterdam. Ia setuju ke Goettingen. "Ok, diatur saja", jawabnya. Gembira sekali (untuk kedua kalinya) saya mendengarnya.
Malam hari (waktu Goettingen) saya menyalakan komputer di meja dan mengoneksikan internet: Munir wafat di pesawat. Lunglai membaca warta itu. Saat itu cuma diberitakan ia sakit perut selama perjalanan. Pikiran saya terus melayang: pasti bukan itu sebabnya. Sejarah mengekalkan keyakinan tersebut. Ia dibunuh.
Saya tak terlalu sedih karena gagal bercengkerama dengannya di Frankfurt dan Goettingen (meski tentu saja bila itu terjadi akan menjadi momen indah). Namun, saya pedih karena bangsa ini kehilangan peluang belajar amal paling berharga darinya: tiap penindasan wajib ditenggelamkan!
*) Ahmad Erani Yustika adalah staf Khusus Presiden dan Guru Besar Universitas Brawijaya