(Mungkin) Pak Trump Kurang Kopi
Sebentar lalu, orang demam dengan Mukidi. Seseorang yang fenomenal dengan produksi dialog-dialog pendeknya yang menggodai banyak orang.
Bikin jengkel, bikin senyum kecut, bikin nangis, bikin orang terpingkal-pingkal, bahkan konon sampai bikin orang terkencing-kencing. (Semoga dia tidak kencing berdiri, sebab andainya yang terpingkal itu pak guru maka muridnya akan kencing berlari).
Dialog Mukidi pun menyebar bagai virus di bermacam media sosial;
"Hallo ini KFC?"
"Iya hallo , ada yang bisa saya bantu?"
"Iya, terimaksih. Masih buka?"
"24 jam bapak"
"Bisa pesan antar nggak?"
"Sangat bisa bapak"
"Ada paha atas?"
"Ada bapak"
"Ada paha bawah?"
"Ada juga bapak, semua siap. Memesan yang mana bapak?"
"Oke, terimakasih, hanya minta info saja kok. Aku sudah makan bebek goreng tadi."
Cekrek. Telpon ditutup. Dialog terjadi jam 3 pagi. Jam ngantuk-ngantuknya orang. Apalagi yang melek lembur sekalipun. Pasti karyawan KFC itu jengkel. Bisa jadi misuh-misuh. Mengumpat dan seterusnya. Tapi company besar yang mengutamakan pelayanan jelas mendidik karyawannya tidak membolehkan bereaksi agresif. SOP-nya pasti harus tetap tersenyum meski digoda lewat telpon jam dini hari yang membuat hati jengkel.
Itu fenomena Mukidi. Begitu dahsyat di medsos. Demam pun lantas dimulai. Bermunculanlah nama Mukidi. Lalu makin buanyak Mukidi, lalu memproduksi lelucon serupa ala Mukidi. Padahal, saat itu, Mukidi yang asli tinggal duduk ongkang-ongkang suantai sembari ngopi dan mengecek aktivitas medsos melalui gawainya atau membuka laptopnya sampai sejauh mana orang mencontoh dirinya membuat lelucon by Mukidi yang menjadi virus dan viral.
Saking fenomenalnya sosok Mukidi, salah satu koran top di Indonesia bahkan menurunkan laporan khusus soal ini. Komplit dengan tulisan profilnya. Tampak disitu, Mukidi yang asli difoto. Di ruang kerjanya yang sederhana, ada seperangkat komputer yang sepertinya juga sudah kelewat usia nangkring di atas meja.
Kendati sudah lewat usia tapi masih cukup untuk bergiat di media sosial. Di atas meja, di dekat komputer, ada secangkir suguhan yang bisa dipastikan bahwa itu adalah seduhan kopi.
Jadi, saat berkreativitas menciptakan gonjang-ganjing lelucon di medsos, Mukidi tak lupa ngopi. Barangkali ini klop dan cocok dengan slogan Warung Kopi Bugil di Tropodo, Sidoarjo, sana yang menuliskan, "Senadyan Mung Sak Cangkir Nanging Iso Madangke Pikir." Indonesianya; Meski hanya satu cangkir (kopi) namun bisa membuat terang jalan pikiran."
Itu bagi Mukidi yang dengan ngopi bisa menjadi dopping untuk kreativitas. (Meskipun itu juga kreativitas yang menjengkelkan namun mampu membuat orang tertawa senang.)
Kalau sebentar lalu orang demam Mukidi, sebentar sekarang orang sangat demam dengan Pak Trump. Rambutnya seperti berjambul. Rambutnya menguning seperti buah pepaya matang yang tumbuh tak diharapkan di tanah tegalan.
Ngetopnya jangan tanya, jelas sangat jauh di atas Mukidi. Kalau Mukidi bikin orang demam-demam nggregesi tapi bisa bikin asik, sementara Pak Trump ini bikin orang demam-demam garang yang bisa bikin dunia gosong kepanasan.
Kasat mata, sebelum Jerusalem meruap, Pak Trump yang berjambul kuning ini hampir saban hari masuk koran dan tipi. Semua aksennya tumpah ruah disana. Semua disorot. Tak hanya dasinya yang mewah. Tak hanya tuxedo-nya yang supermahal. Tak hanya pin di dadanya hanya dia seorang yang punya. Berikut tak hanya-tak hanya yang lain.
Namun sayang seribu sayang meski semuanya dia punya, meja kerjanya atau dimana dia berkesempatan duduk seperti di singgasana, tak pernah kelihatan sama sekali gelas kopi. Sepertinya dia memang miskin soal yang satu ini. Padahal opo wae dia punya.
Lalu, apakah Pak Trump tidak ngopi? Apakah Pak Trump tidak suka kopi? Jawabnya, boleh jadi iya! Boleh jadi benar! Memang sih harus dikonfirm dulu untuk mengetahui seperti apa kebenarannya soal kemiskinannya yang ini. Namun, dalam situasi internasional yang runyam begini rasanya mustahil untuk mengonfirmasi perihal kopi yang mungkin hanya dianggap sepele oleh Pak Trump.
Tapi rasanya hal ini juga tak perlu dikonfirmasi. Buat apa juga. Karena akan kelihatan ngoyoworo. Ngoyoworo itu istilah keren dari memaksakan diri. Kalau lihat statemennya yang bikin panas hati orang sak dunia kelihatan banget kalau dia kurang kopi dan ngopi. Andainya dia cukup kafein kopi pasti dia padang pikirnya. Padang imajinasinya. Padang pula lubuk hatinya yang paling dalam. Bahwa, soal Jerusalem jelas melukai hati banyak orang.
Dalam hal ini dia benar-benar tak sepadan dengan Mukidi. Tak sepadan meski sudah berjambul kuning dan bisa ngidu geni. Ngidu geni itu meludah dan keluar api. Tapi nasi sudah kadung mbubur. Kalau istilah di kopi, kopi sudah terlanjur over ekstraksi. Kalau sudah begini, nasi yang kadung mbubur dan kopi yang kadung over ekstraksi pasti tak mudah menikmatinya tanpa hati yang terluka oleh gundah.
Jadi, betapa pentingnya sebuah acara ngopi itu sehingga sampai memunculkan salah satu ungkapan; ngopi sik ben gak salah paham. Mungkin karena Mukidi bikin lelucon sembari ngopi maka rasanya ngeres-ngeres sedap. Sementara, Pak Trump, yang boleh jadi mencoba mau mengikuti jejak Mukidi, karena lidahnya tak berbau kopi, rasakno dewe kalau hari-hari begini dimaki orang sak ndayak.