Mundur ke Sistem Proporsional Tertutup?
Oleh: DR. Andi Mallarangeng
Saya masih ingat ketika kami dari Tim 7 yang dipimpin oleh Prof Ryaas Rasyid diminta untuk menyusun draft UU Pemilu baru yang demokratis oleh Pemerintahan Presiden Habibie. Ketika itu, dalam semangat reformasi kami mengusulkan, dan disetujui oleh Presiden, sistem distrik campuran untuk pemilu legislatif. Alasannya, untuk memperkuat akuntabilitas anggota parlemen kepada rakyat yang diwakilinya.
Selama Orde Baru, dengan sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya. Maklum, rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih dasarnya adalah nomor urut yang ditentukan oleh parpol.
Yang muncul adalah kader-kader jenggot yang berakar ke atas, tidak mengakar ke rakyat. Oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri.
Dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka, resepnya adalah: dekat-dekatlah kepada pimpinan partai. Dekat kepada rakyat tidak penting. Yang penting branding partai tetap kuat di dapil.
Biarlah tokoh utama partai yang berkampanye keliling, kita tinggal memasang gambar partai dan tokohnya. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Oh, yang kerja keras mungkin caleg no 2, karena hanya kalau partai dapat 2 kursi baru dia bisa terpilih. Nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih.
Ada yang mengritik bahwa sistem proporsional terbuka mengakibatkan biaya politik tinggi karena persaingan antar calon di dalam partai. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan politik uang. Padahal politik uang tidak berasal dari sistem pemilu tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elite itu sendiri. Bagi-bagi sembako menjelang pemilu sudah terjadi sejak masa Orde Baru dengan proporsional tertutup.
Kalau soal politik biaya tinggi, itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Apalagi, sekarang ada medsos yang gratis.
Yang jelas, sistem proporsional terbuka menghasilkan anggota parlemen yang akuntabilitasnya kuat kepada rakyat. Kalaupun sudah terpilih, tidak ada jaminan dia bisa terpilih kembali, biarpun dapat nomor urut 1. Tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat.
Ini yang berbeda dengan sistem proporsional tertutup. Seseorang bisa terpilih dan terpilih kembali walau kinerjanya sebagai wakil rakyat tidak jelas. Selama dia dekat dengan pimpinan partai, dia bisa terus dapat nomor urut 1, dan kemungkinan besar terpilih kembali.
Kalau itu terjadi, yang akan tampil di DPR dan DPRD adalah para elit partai dan orang-orang yang jago cari muka kepada pimpinan partai. Mereka bukanlah wakil rakyat yang sejati.
Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesia.
Sebenarnya, kalau kita mau maju mestinya kita maju ke arah sistem distrik, first past the post. Wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat, di mana satu dapil hanya ada satu kursi. Dapilnya kecil, hubungan antara rakyat dan wakilnya jelas, akuntabilitas kuat. Tapi kita tahu sejak dulu mayoritas parpol tidak percaya diri dengan sistem distrik.
Kalau toh merasa kita belum mampu mengadopsi sistem distrik, mestinya kita maju ke arah sistem campuran distrik dan proporsional, seperti di Jerman, yang diusulkan Tim 7 dulu. Dengan sistem ini, mayoritas anggota parlemen dipilih dengan sistem distrik, namun ada sebagian kursi diperebutkan dengan sistem proporsional tertutup. Yang terakhir ini mengombinasikan akuntabilitas yang kuat kepada rakyat dengan kebutuhan partai untuk menempatkan elitenya di parlemen.
Kalau toh sistem campuran ala Jerman ini tetap dianggap masih terlalu "menakutkan" bagi elite partai, ya sudah, marilah kita tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, yang tetap memberikan peluang bagi rakyat untuk memilih langsung wakilnya.
Janganlah hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri dengan mundur ke sistem proporsional tertutup.
*Penulis adalah Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat
Advertisement