Mulai dari Ruang Operasi di Garasi
Inilah sejarah panjang Rumah Sakit Mata Undaan atau disingkat RSMU. Sejak zaman Belanda. Di era pendudukan. Sebelum masa kemerdekaan.
Saat itu, Surabaya sudah menjadi kota penting bagi pemerintahan Hindia Belanda. Menjadi pusat perdagangan dan jasa. Tempat menghuni berbagai jenis suku bangsa.
Sejak dulu, kota ini sudah dikenal sebagai kota pelabuhan terbesar dan paling ramai. Howard W Dick dalam bukunya Surabaya City of Work: A Socio Economic History (1900-2000) menyebutnya sebagai City of Work.
Pelabuhan Kalimas Tanjung Perak menjadi pusat transaksi rempah-rempah, tembakau dan gula. Ini yang membuat warga asing berdatangan ke Surabaya untuk berdagang dan bekerja.
Lembaga modern pun berkembang. Perbankan, asuransi, dan perusahaan ekspor-impor. Perkembangan seperti ini menjadikan ciri pertumbuhan Surabaya hingga kini.
Berdasarkan sensus penduduk 1905, Surabaya dihuni 150 ribu jiwa. Dari jumlah tersebut, 20 persennya warga negara asing. Mereka terdiri dari Eropa 8 ribu jiwa, China 15 ribu jiwa dan Arab 3 ribu jiwa.
Untuk menopang pelayanan kesehatan, pemerintahan Hindia mengirim relawan para dokter. Salah satu yang bertugas di Surabaya Dr Steiner.
Ia pegawai lembaga kesehatan Belanda, Officer Van Gezonheid. Dokter perwira ini tinggal di rumah dinasnya di Jalan Genteng Kali.
Selama bertugas di Surabaya, ia menyaksikan banyak warga pribumi yang menderita sakit mata. Bahkan, banyak yang hingga parah sampai terancam buta.
Hatinya tergerak. Ia lantas menjadikan rumah dinasnya sebagai klinik mata untuk mengobati para pribumi itu. Pengobatan gratis.
Rumah dinas itu, pada tahun 1980-an, menjadi gudang rokok Bentoel. Perusahaan rokok yang berpusat di Malang. Tidak jelas menjadi apa sekarang.
Inisiatif pribadi Dr Steiner ini mendapat sambutan luar biasa. Banyak warga pribumi berduyun-duyun ke kliniknya. Laki-laki, perempuan dan anak-anak.
Digambarkan, pada masa sebelum Perang Dunia I (1914-1918), selalu ada pemandangan khusus setiap jam 10 pagi di Jalan Genteng Kali. Banyak berkerumun warga pribumi mendatangi klinik Steiner.
Ia tak hanya melayani pengobatan penyakit mata. Juga melakukan operasi. Ia memodifikasi ruangan garasi bendi di belakang rumah dinas menjadi kamar operasi. Juga ruang rawat inap.
Semua pelayanan pengobatan dan operasi mata di rumah dinasnya itu tak hanya gratis. Bahkan, bagi yang harus rawat inap, makanan pun disediakan cuma-cuma.
Ia melakukan semua itu sampai akhir masa dinasnya di Surabaya. Jadi Dr Steiner bisa disebut sebagai perintis klinik perawatan mata di Surabaya.
Sayang, dalam buku catatan sejarah Rumah Sakit Mata Undaan, tidak disebutkan berapa lama Steiner menjalankan amal pribadi itu. Hanya dikisahkan tentang penggantinya.
Siapa orang itu? Namanya Dr Deutman. Berbeda dengan Steiner yang masih bujang, dokter baru ini sudah berkeluarga dengan beberapa anak yang berusia di bawah lima tahun.
Ia pun menempati rumah dinas yang sekaligus menjadi klinik mata untuk pribumi ini. Deutman melihat apa yang dilakukan pendahulunya dengan penuh keikhlasan itu patut diteruskan.
Deutman tetap menjadikan rumah dinasnya sebagai klinik mata gratis bagi pribumi. Praktik itu berlangsung dengan bantuan penuh istrinya yang hatinya terketuk dengan problem layanan kesehatan kaum pribumi. (Bersambung)