Muktamar Hati Nurani
Oleh Dr. H. Ahmad Fahrur Rozi
Ada tiga berita aspirasi Nahdliyyin yang beredar luas di media massa hari kemarin. Pertama, pernyataan pertemuan 27 pengurus PWNU Se Indonesia di kantor PBNU, untuk patuh kepada keputusan Rois Am PBNU dalam memajukan tanggal muktamar.
Kedua surat himbauan tiga kyai sepuh pimpinan pesantren tertua dan paling berpengaruh di Jatim yaitu PP. Lirboyo Kediri, PP Al-falah Ploso dan PP Sidogiri Pasuruan untuk mematuhi Rais Am serta ketiga pernyataan 31 cabang istimewa NU luar negeri untuk menjaga persatuan dan menetapkan jadwal muktamar meskipun secara online.
Kita ketahui Muktamar NU terakhir sebelumnya adalah bulan Agustus 2015 , sesuai ketentuan AD ART NU masa jabatan kepengurusan PBNU adalah lima tahun dan seharusnya dilaksanakan muktamar pada bulan Oktober 2020, namun karena alasan pandemi diputuskan oleh Munas secara daring untuk ditunda setahun menjadi bulan Oktober 2021.
Jika pengurus PBNU telah bersungguh sungguh bekerja dengan baik sesuai keputusan Munas 2020, tentu muktamar NU sudah dapat terlaksana pada bulan Oktober 2021 lalu dengan mematuhi peraturan pemerintah tentang protokol kesehatan, sebagaimana Munas KADIN di Kendari bulan Juni 2021 atau perhelatan PON di Papua.
Namun sayangnya, keputusan Munas 2020 tidak dapat dijalankan dengan baik oleh PBNU dengan melaksanakan muktamar pada bulan Oktober 2021, sehingga dilakukan Munas kembali pada tanggal 25-26 September 2021 untuk menghindari kekosongan jabatan kepengurusan karena mandat perpanjangan setahun sudah hampir habis, dan kemudian diputuskan untuk tetap melakukan muktamar di penghujung Desember tahun 2021.
Namun entah kenapa masih saja ada upaya Sekjen PBNU untuk menunda dan mengulur muktamar, dengan secara sepihak dia mengumumkan menunda muktamar ke tahun 2022 dengan alasan PPKM, dari sinilah polemik maju mundur muktamar menjadi ramai di perdebatkan.
Mayoritas PWNU bersepakat untuk mematuhi keputusan Rois Am memajukan muktamar setelah terjadi deadlock rapat koordinasi dengan Ketum PBNU, karena sejak NU didirikan pada tahun 1926 sebetulnya organisasi tersebut telah mengukuhkan diri untuk berada di bawah komando para ulama. Hal itu terlihat dari nama organisasi yakni Nahdlatul Ulama yang berarti 'kebangkitan ulama'. Sedangkan Rais Am adalah pemimpin tertinggi dan ketua umum yang sebenarnya dalam tradisi NU dan sangat di hormati.
Secara hukum organisasi tertinggi adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU, didalam Anggaran Dasar NU Bab VII pasal 14 ayat 3 disebutkan jelas bahwa; Syuriyah adalah pemimpin tertinggi Nahdlatul ulama. Selanjutnya dalam Pasal 58 ART ayat 1 A. Disebutkan bahwa kewenangan Rais Am adalah: Mengendalikan kebijakan umum organisasi.
Melihat perkembangan situasi terkini, penulis berpendapat bahwa memilih untuk mengalah dan mematuhi Rais Aam bagi Ketum dan Sekjen PBNU adalah pilihan bijaksana, sebagai bentuk kedewasaan sikap dalam menghadapi persoalan agar tak memperkeruh keadaan.
Masa jabatan 11 tahun bagi Ketum PBNU petahana sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk dapat meredam egoisme dan kepentingan pribadi dalam mengendalikan suasana agar tetap kondusif demi kebaikan bersama.
Sikap Legowo dan kesediaan mengalah dari Ketum dan sekjen PBNU sangat penting untuk memecahkan kebuntuan penetapan jadwal muktamar, Mengalah menjadi solusi terbaik ketika Nahdliyyin sudah lelah menunggu pelaksanaan muktamar yang telah diundur setahun lebih dan tak ingin menghabiskan energi serta waktu untuk berdebat lagi.
Jika petahana telah benar benar bekerja dengan baik selama masa jabatan 11 tahun yang lalu, tentu tidak perlu khawatir untuk tidak dipilih kembali oleh Muktamirin, bahkan mungkin menjadi pintu (masuk) untuk menang di muktamar berikutnya. Inilah yang penulis maksudkan dengan Muktamar hati nurani yang sebenarnya.
Lombok, 30 /11/2021.