Mujadalah Perlu Ilmu, Haedar: Tak Bisa Dilakukan Sembarang Orang
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengingatkan, bermujadalah memerlukan ilmu untuk mengembangkan dakwah Islam. Apalagi, untuk mengajak umat agar beramar makruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran.
Perlu dipahami terlebih dulu, mujadalah berakar dari kata jaadala yang artinya berbantah-bantah, berdebat, bermusuh-musuhan, dan bertengkar. Secara istilah, kata "mujadalah" berarti berdiskusi dengan mempergunakan logika yang rasional dengan argumentasi yang berbeda.
Tafsir Surat Ali Imran ayat 104
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran ayat 104).
Menurut Haedar, membangun peradaban Islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengambil jalan pintas. Misalnya seperti melakukan amar makruf nahi munkar tanpa melihat kapasitas dan kualitas diri sebagaimana terkandung dalam ayat ke-104 Surat Ali Imran.
“Ayat ini pun tidak melompat. Tidak pada amar makruf langsung tapi diawali wal takun minkum, hendaknya segolongan umat, di tafsir disebut bukan sembarang orang. Bukan orang awam tapi umat terpilih. Berarti untuk bisa amar makruf kita harus jadi umat yang terpilih dulu,” kata Haedar.
Penjelasan mengenai umat terpilih menurut Haedar dijelaskan dalam ayat ke-110 Surat Ali Imran, yakni dalam definisi Khairu Ummah atau umat terbaik di antara manusia yang ada.
Sedangkan cara dalam beramar makruf nahi munkar ditentukan lewat ayat ke-125 Surat An-Nahl.
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetabui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl: 125)
"Ayat ini adalah ayat masterplan atau peta jalan dari dakwah untuk membangun peradaban. Supaya paham kita cara dan rujukan kita berdakwah. Tapi sayangnya jarang sekali dielaborasi dalam cara kita berdakwah. Sering kali kita melompat pada hadis ma ro’a minkum munkaran,” kritik Haedar.
Menurutnya, tuntunan berlaku penuh ilmu, penuh hikmah dan gagasan terbaik inilah yang membuat kerja dakwah para ulama di Nusantara berhasil mengubah Islam menjadi agama mayoritas.
“Pertama, karena cara menyebarkan Islam berkeadaban sebagaimana Rasulullah, kemudian kedua, ‘ala uqulihim sesuai keadaan mereka (kondisi sosiologis, adat dan budaya Nusantara),” imbuhnya.
Di era modern yang semakin penuh kompleksitas ini, Haedar berpesan agar seluruh elemen Persyarikatan memahami pedoman di atas untuk mewujudkan peradaban Islam yang maju. Termasuk dalam berhadapan dengan berbagai kelompok yang berlawanan pandangan dengan Islam.
“Bermujadalah itu perlu ilmu, karena itu di ujung ayat adalah bilati hiya ahsan, dengan argumen yang terbaik. Jadi kalau kita tidak setuju dengan paham sekuler, liberal, ya kita harus punya argumen terbaik dari paham itu bukan asal menolak, bukan asal tidak setuju,” pesannya.
“Tapi juga jangan kalau tidak setuju malah lari ke yang jumud, yang ortodoks, karena sering orang tidak setuju dengan sekular-liberal larinya menjadi ortodoks atau jumud. Itu yang dilawan oleh Muhammadiyah dan oleh Muhammad Abduh. Pikiran kolot, pikiran konservatif asal menolak tanpa argumen yang pasti,” tegas Haedar.
Advertisement