MUI Respons Fenomena Pernikahan Beda Agama
Staf Khusus (Stafsus) Presiden Jokowi, Ayu Kartika Dewi resmi menikah dengan Gerald Bastian, pada hari ini, Jumat 18 Maret 2022. Pernikahan beda agama itu dilaksanakan setelah keduanya menjalani prosesi akad di hotel dan pemberkatan di Gereja Katedral Jakarta. Sebelumnya, pernikahan beda agama dilakukan pasangan di gereja Kota Semarang, pada awal Maret lalu.
Pasangan beda agama lainnya juga disahkan dan diizinkan oleh Pengadilan Negeri Pontianak untuk mencatatkan perkawinan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Pontianak. Hakim tunggal PN Pontianak, Yamti Agustina, mengabulkan seluruh permohonan para pemohon yang merupakan pasangan beda agama.
Menanggapi fenomena pernikahan beda agama, Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia Majelis Ulama Indonesia (MUI) Neng Djubaedah, memaparkan alasan orang Islam dilarang menikah dengan orang yang berbeda agama walaupun tetap dimungkinkan tercatat negara.
Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1, kata Neng Djubaedah, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Lalu, lanjut Neng Djubaedah, untuk orang Islam di Indonesia itu mengacu yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ini berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 dihubungkan dengan Surat Keputusan Menteri Agama nomor 154 tahun 1991.
"Ada di pasal 40C dan 44," sambung dia.
Pasal 40C KHI berbunyi "Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: c. seorang wanita yang tidak beragama islam."
Sedangkan Pasal 44 KHI berbunyi "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam."
Pernikahan umat Islam, kata Neng Djubaedah, juga diatur dalam Alquran, tepatnya Surat Al-Baqarah ayat 221 dan Surat Al-Maidah ayat 5.
Terdapat pula Fatwa MUI nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang menetapkan (1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. (2) Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah.
Neng juga menjelaskan perihal perkawinan beda agama itu tidak sesuai dengan maqashid syariah atau Tujuan Hukum Islam. Tujuan Hukum Islam itu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
"Nah, dalam rangka memelihara keturunan itulah maka dilarang perkawinan beda agama," imbuhnya.
Ia menambahkan, orang Islam yang menikah dengan nonmuslim masih dimungkinkan tapi tidak berdasarkan hukum dan aturan Islam.
"Sekalipun dia menikah dengan ada akad nikah tapi di KUA itu tidak mungkin dicatatkan," kata Neng Djubaedah.
Pernikahan beda agama memang tetap dapat tercatat karena mengacu pada Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 35, dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan.
Di mana yang dimaksud Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan dalam pasal itu adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
"Karena itu, untuk yang melakukan perkawinan beda agama itu ditetapkannya di Pengadilan Negeri bukan Pengadilan Agama," tambah Neng Djubaedah.