MUI Minta PN Surabaya Batalkan Nikah Beda Agama, Ini Polemiknya
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengabulkan permohonan perkawinan beda agama dari sepasang warga Surabaya. Berbekal putusan itu, Dispendukcapil Surabaya juga mengeluarkan akta nikah beda agama kepada pengaju. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kini meminta agar PN Surabaya mencabut putusan mereka.
Putusan PN Surabaya
PN Surabaya mengabulkan permohonan nikah beda agama, pada 26 April 2022. Perkara itu diputuskan oleh hakim tunggal Imam Supriyadi dengan nomor perkara 916/Pdt.P/2022/PN Sby, dilansir dari laman resmi PN Surabaya.
Hakim tunggal Imam Supriyadi yakni pernikahan atau perkawinan berbeda agama bukan merupakan larangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Sejumlah pertimbangan hakim antara lain bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan dan merujuk pada ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Juga berdasarkan keterangan para saksi dan surat bukti telah diperoleh fakta-fakta yuridis bahwa pemohon sudah saling mencintai dan bersepakat untuk melanjutkan hubungan mereka dalam perkawinan. Juga telah mendapat restu dari kedua orang tua masing-masing.
Selanjutnya, keinginan menikah serta mempertahankan agama masing-masing menjadi hak asasi pemohon sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan menurut tata cara agama atau kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang in casu hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Para Pemohon yang memiliki perbedaan Agama.
Sehingga, ketentuan dalam Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 memberikan kemungkinan dapat dilaksanakannya perkawinan tersebut, di mana dalam ketentuan Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditegaskan "dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi".
Permintaan MUI
Putusan PN Surabaya kemudian direpon oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan meminta agar pengadilan membatalkan putusannya usai melegalkan pernikahan beda agama.
"Terkait dengan masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutusnya. Artinya ketika memeriksa dan memutuskan sepatutnya Pengadilan Negeri membatalkan pernikahan tersebut," kata Amirsyah dalam keterangan resminya di laman resmi MUI dikutip Jumat, 24 Juni 2022.
MUI menilai, pernikahan beda agama bertentangan dengan aturan yang dibentuk negara. Baginya, hal itu bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pada pasal Pasal 2 (1) UU tentang Perkawinan mengatur bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Tak hanya itu, Amirsyah menilai pernikahan beda agama di Indonesia juga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 tentang kebebasan dan kemerdekaan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
"Dengan perkawinan beda agama maka terjadi pertentangan logika hukum, karena selain beda agama juga berbeda kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang dalam kasus ini harus ditolak atau dibatalkan," katanya.
Pendapat Lain
Polemik pernikahan beda agama sering muncul. Sebelum PN Surabaya, publik juga berdebat tentang pernikahan beda agama antara Staf Khusus Milenial Joko Widodo, Ayu Kartika Dewi dan Gerald Bastian.
Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, berpendapat bahwa pernikahan beda agama tidak sah menurut hukum negara.
Serupa dengan hakim PN Surabaya, ia juga menggunakan rujukan pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
"Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....". Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah," kata Chandra, kepada Republika 20 Maret 2022, dikutip, Jumat 24 Juni 2022.
Chandra melanjutkan, tafsir dari pasal di atas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
Ia juga menyebut jika Mahkamah Konstitusi beberapa kali menerima judicial review terkait pernikahan beda agama, namun hingga kini belum mengabulkan. Nikah beda agama tetap tidak diperbolehkan sesuai UU Perkawinan," katanya.