Ada Unsur Babi di AstraZeneca, MUI: Boleh Jika Tak Ada Sinovac
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa boleh menggunakan vaksin virus corona atau Covid-19 berjenis AstraZeneca yang diproduksi oleh Universitas Oxford Inggris, meski di dalamnya mengandung unsur babi. MUI berpendapat, vaksin AstraZeneca boleh digunakan jika tak ada yang lain.
Ketua MUI, KH Miftachul Akhyar menyampaikan, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetik (LPPOM) MUI telah menerapkan prosedur yang sudah dilakukan selama ini. Termasuk melihat dengan ayat-ayat maupun hadis.
“MUI sudah 30 tahun melakukan metode seperti itu. Memang kami sudah beri masukan tapi pelan-pelan. Di NU lain lagi. Ada keputusan atau fatwa dianggap unsur babinya sudah hilang. Tapi, di MUI dengan LPPOM melihat unsurnya masih ada, tinggal nanti gimana dibuktikan selanjutnya,” kata Miftachul Akhyar ketika ditemui langsung di Surabaya, Sabtu 20 Maret 2021.
Walau begitu, ia menegaskan, vaksin AstraZeneca ini boleh digunakan karena pertimbangan keadaan darurat pandemi Covid-19. “Boleh, menurut MUI hajat yang ditempatkan di dalam keadaan darurat itu boleh tapi terbatas. Artinya terbatas, kalau ada Vaksin Sinovac, maka ini (AstraZeneca) gak boleh digunakan,” kata pria yang juga Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzukki Mustamar tidak berani mengeluarkan fatwa. Hanya saja, sebagai informasi memang vaksin ini boleh digunakan karena berdasar informasi otoritas lembaga fatwa di Mesir, kemudian di Uni Emirate Arab, menyebut halal.
Kepercayaan itu, kata dia, karena banyak kiai di Indonesia yang merupakan alumni dari Al Azhar Mesir. Sehingga ketika Mesir maupun beberapa negara Arab lain mengeluarkan fatwa halal, otomatis akan percaya.
“Katanya ada unsur babi pancreas atau apa, katanya otoritas Mesir dan UEA itu sudah mengalami istihalah itu beralih wujud,” kata Marzukki.
Ia mencontohkan, kotoran hewan digunakan untuk pupuk ketela, namun ketela tersebut tetap boleh dikonsumsi. “Pun kalau diurai secara kimia mungkin ada unsur dari kotoran, tapi tidak dihukum najis karena sudah beralih wujud. Itu alasan dari Mesir, UEA, dan beberapa negara arab,” pungkasnya.