Muhammadiyah tak Bermazhab? Ini Alasan dan Penjelasan yang Tepat
Masyarakat Islam di Indonesia dikenal sebagian besar menganut Mazhab Syafi'i, dan sebagian lainnya madzhab empat lainnya dalam fikih. Bisa disebutkan organisasi Islam yang khusus menganut Mazhab Syafi'i adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Sedang Nahdlatul Ulama (NU) menganut empat mazhab (Imam Syafii, Imam Hanbali, Imam Maliki dan Imam Hanafi).
Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah? Benarkah tidak mengenal mazhab dalam fikih ?
Muhammadiyah tidak mengikatkan diri pada mazhab tertentu. Baik aliran teologis, mazhab fikih, maupun tariqat sufiyah. Meski demikian, pandangan mazhab dapat dijadikan pegangan sepanjang sesuai dengan spirit Al-Quran dan Al-Sunah.
"Bagi Muhammadiyah, kedua sumber pokok ajaran Islam tersebut merupakan inspirasi utama dalam menyusun hukum, melaksanakan ibadah, dan membangun peradaban.
Dua Pedoman Pokok
“Ukurannya tetap sesuai dengan paham agama menurut Muhammadiyah adalah Al Quran dan Al Sunah. Karena para imam mazhab juga mengamanatkan agar (umat Islam) mengikuti perintah Al Quran dan Al Sunah,” tutur Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Wawan Gunawan Abdul Wahid dalam Pengajian Tarjih, dikutip Kamis 25 Agustus 2022.
Wawan memaparkan, para imam mazhab yang menjadi mujtahid pernah mengamanatkan agar pendapat-pendapatnya tidak mutlak untuk diikuti. Mereka khawatir, boleh jadi terdapat kekeliruan dalam mengemukakan suatu pendapat. Abu Hanifah pernah menyatakan bahwa manakala di antara pendapatnya ada yang berselisih dengan al-Quran dan Hadis maka pendapatnya itu tidak perlu dirujuk.
Malik bin Anas menegaskan bahwa dirinya manusia biasa yang bisa benar bisa keliru, sehingga pendapatnya yang sesuai dengan al-Quran dan al-Sunah silahkan dirujuk. Sementara itu, Muhammad bin Idris al-Syafii menyatakan: “ketika telah dipastikan suatu hadis itu berkualitas sahih maka itu menjadi anutan saya”.
“Karenanya, jika ada pandangan Majelis Tarjih yang secara tekstual tampak berbeda dengan pandangan ulama fikih, itu tidak perlu kaget. Mengapa? Karena ada panduan seperti itu,” ucap dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Akibat dari pemahaman ini, tidak sedikit yang menuding Muhammadiyah sebagai golongan yang anti mazhab. Padahal, Wawan menyatakan bahwa dalam beberapa hal, Muhammadiyah justru memiliki kesamaan dalam argumentasi hukum dengan ulama Mazhab.
Misalnya, pandangan Syafii tentang badal haji. Menurutnya, badal haji tidak sah bila tidak dikerjakan oleh pihak keluarga. Dalam hal ini, al-Syafi’I tegaskan bahwa nash Al-Quran yang qath’i dapat ditakshshish oleh nash hadis ahad yang zhani. Karenanya, untuk persoalan badal haji, Muhammadiyah gunakan cara pikir dari murid Malik bin Anas ini lantaran dinilai lebih mendekati spirit Al-Quran dan Sunah.
“Kalau ada pandangan mazhab yang dalam pembacaan ulang ternyata harus diposisikan (berbeda) karena secara umum bertentangan dengan prinsip dan nilai universal Al-Quran seperti al-karamah al-insaniyah, persamaan dan keadilan,” terang alumni Pondok Pesantren Darul Arqom Muhammadiyah Garut ini.