Muhammadiyah, Penyeimbang Nilai Kehidupan yang Sekularistik
Perubahan nilai kehidupan yang terjadi seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi. Dampaknya pertukaran gagasan baik yang berhubungan dengan sosial, politik, budaya bahkan agama menjadi sedemikian dinamis dan akseleratif.
Kenyataan ini bisa dilihat dari semakin gencarnya kontestasi gagasan dan nilai antara agama dan sekularisme-pragmatisme untuk memenangkan pengaruh dalam masyarakat.
“Hampir seluruh aspek ruang publik dikuasai beragam wacana informasi dan komunikasi yang sarat dengan problem nilai, terutama pertarungan antara nilai kejujuran dan kedustaan, nilai kebebasan dan kebablasan, nilai sakral dan profan, bahkan nilai kebenaran dan kebatilan saling berhimpitan berebut pengaruh dan pengikut,".
Demikian kata Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fahmi, ini dalam acara Sekolah Tarjih di Kompleks Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Selasa.
Fahmi menjelaskan bahwa gaya hidup sekularis-pragmatis mendominasi berbagai lini kehidupan manusia dewasa ini dengan tiga ciri utama, yaitu 1) workability, di mana keberhasilan hanya diukur dengan materi; 2) satisfaction, tingkat kepuasan yang berpusat pada individu dan selera pasar; 3) result, hasil atau akibat yang diletakkan pada hal-hal yang kasar mata dan terukur secara posivistik.
Dominasi Sekularis-Pragmatis
Dengan adanya dominasi kehidupan yang sekularis-pragmatis ini, Fahmi menyebutkan bahwa diperlukan kehadiran nilai penyeimbang untuk menjawab tantangan kontemporer. Sebab bila tidak nilai penyeimbang, dikhawatirkan kehidupan di dunia terpental jauh dari moral agama. Beberapa nilai penyeimbang tersebut meliputi:
1) nilai spiritual-keagamaan untuk mengisi kegelisahan spiritual yang ditimbulkan ideologi yang bercorak materialisme; 2) nilai kehati-hatian untuk menjawab tindakan yang serba cepat, tergesa-gesa dan terburu-buru; 3) nilai kebenaran epistemologis Islami yang bersumber dari Al Quran dan Al Sunah untuk mengantisipasi nilai sekularisme; 4) nilai abadi untuk mengimbangi nilai instan yang serba duniawi; dan 5) nilai ilahiyah untuk menjawab tantangan pendewaan teknologi yang meletakkan ilmuwan kontemporer sebagai micro-theos (tuhan-tuhan kecil).
“Kini sudah tiba waktunya fajar peradaban Islam terbit dengan sinar yang gemilang karena shibghatullah. Berbagai fenomena menarik muncul di tengah gempita modernitas yang ditiupkan dunia Barat, yaitu kehampaan hidup,” ucap Badan Pembina Harian Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (BPH PUTM) ini.
Dalam mengakhiri sambutannya, Fahmi mengatakan bahwa Muhammadiyah harus tampil sebagai penyeimbang nilai kehidupan agar tidak terjerumus dalam lubang sekularisme-pragmatisme. Pelaksanaan Sekolah Tarjih Muhammadiyah diharapkan akan melahirkan kader-kader Persyarikatan yang akan tampil membawa nilai agama dan moral ke kehidupan dunia untuk keselamatan bersama di akhirat kelak.
“Tugas berat ada di pundak saudara-saudara sekalian, namun akan terasa ringan dan menyenangkan manakala itu dilakukan dalam rangka ibadah dan jihad intelektual yang menjadi modal utama cendekiawan Islam. Selamat mengikuti Sekolah Tarjih Muhammadiyah, semoga Allah memberi pencerahan kepada kita semua,” tutur Fahmi.
Advertisement