Muhammadiyah Menerima Wahabi, Anti-Amalan Pesantren
PADA 1925, dua tahun sepeninggal Kiai Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dinilai telah berubah dengan mulai diterimanya paham Wahabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan dg runtuhnya Khilafah Utsmani Turki yang Aswaja dan berdirinya Kerajaan Ibnu Saud yang Wahabi yang berhasil menaklukkan Makkah dan Madinah, yang kemudian mendirikan Kerajaan Arab Saudi itu.
“Momentum yang menandai perubahan ini adalah pelaksanaan salat ’id di lapangan tahun 1925, yang berbeda dari ajaran mazhab Syafi’I,” tulis Ali Shodiqin dalam bukunya Muhammadiyah itu Nahdlatul Ulama – Dokumen Fiqih yang Terlupakan.
Lebih jauh dijelaskan, penerimaan Muhammadiyah terhadap Wahabi itu memancing kalangan pesantren untuk mendirikan NU tahun 1926, dan membentengi para santri dari paham-paham baru, termasuk Wahabi dan komunisme. NU pun merangkul sebanyak mungkin orang, dan menerima sebanyak mungkin adat-istiadat mereka untuk di-Islam-kan. Dan terciptalah benteng tradisi yang sangat kokoh hingga kini.
Sebaliknya, Muhammadiyah pun tak tinggal diam. Mereka membuat benteng baru, yaitu benteng keterbukaan berlabel Islam tanpa mazhab, dan berupaya menjebol benteng tradisi umat Islam seluruhnya dengan slogan anti-takhayul, anti-bid’ah, dan anti-churafat (TBC). Dengan benteng baru anti-TBC itulah orang-orang NU merasa dipersalahkan.
Namun, untunglah ada Kiai Mansur. Berkat jasa beliau yang mendirikan Majelis Tarjih pada 1927, Muhammadiyah tidak terseret ke dalam arus deras Wahabi global dukungan Sekutu. Muhammadiyah tidak mau memberikan cek kosong kepada Wahabi.
“Jadi, Muhammadiyah dan NU sama-sama membuat tembok benteng, sehingga ”Tembok Berlin” itu sesungguhnya terdiri dari dua lapisan yang sama-sama kuat,” kata Ali Shodiqin.
Memberi komentarnya atas masalah ini, Dr Imron Rosyadi, pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, membenarkan ajaran fikih muhamadiyah pada era KH Ahmad Dahlan itu sama dengan NU.
“Inilah yang harus kita cari titik temunya pada era kita sekarang. Artinya, kita mengingatkan kenyataan dalam perjalanan Fikih Muhammadiyah awalnya, tak ada ketegangan dengan NU atau fikih dari pesantren,” tuturnya pada ngopibareng.id. (bersambung)
Advertisement