Muhammadiyah Kawal Perkotaan
Oleh: Akhmad Zaini
Perlu saya jelaskan, setting sejarah yang tergambar dalam tulisan ini dan tulisan sebelumnya (edisi 2) adalah akhir abad 19 M-awal abad 20 M. Ketika itu, pada 1901 M, pemerintah Kolonial Belanda menerapkan politik etis di Indonesia. Atas saran Snouck Hurgronje—penasihat pemerintah Belanda soal Keislaman -- penerapan politik etis dimanfaatkan untuk melakukan politik asosiasi.
Politik asosiasi adalah politik mem-Belanda-kan orang Indonesia. Belanda dalam arti, beragama dan berbudaya sama dengan orang Belanda. Kristenisasi dan Westernisasi. Politik ini, secara massif dilancarkan melalui lembaga-lembaga pendidikan yang banyak didirikan untuk anak-anak pribumi.
Deliar Noer menyebutkan, di masa-masa ini, umat Islam menghadapi tantangan sangat besar. Sekolah dan rumah sakit merupakan alat bagi missi Kristen untuk memperoleh penganut baru (hal. 28). Sempat muncul aturan bahwa warga pribumi yang telah memeluk agama Kristen akan menikmati hak hukum yang sama dengan saudara-saudara mereka seagama dari kalangan bangsa Eropa (hal.9).
Strategi baru itu, ditempuh setelah mereka menyadari bahwa pendekatan kekuasaan dan militer yang diterapkan sebelumnya, ternyata belum mampu meredam gejolak perlawanan. Rakyat bumi putra yang dipelopori para tokoh Islam, masih terus bergolak.
Strategi baru yang menggunakan media pendidikan ini, diyakini akan lebih ampun. Harapan jangka panjangnya, akan semakin banyak penduduk pribumi yang beragama Kristen dan berbudaya Barat. Dari perubahan budaya dan agama ini, diharapkan penjajahan di Indonesia bisa lestari.
Di pihak lain, para tokoh Islam menganggap strategi baru ini lebih berbahaya. Karenanya, berbagai strategi baru pun dilakukan. Kalangan pesantren yang berbasis di pedesaan, semakin menjaga jarak dengan hal-hal yang berbau Belanda. Mereka menerapkan strategi nonkooperatif.
Kalangan pesantren membentengi rakyat dari Kristenisasi dan Westernisai dengan cara tidak mau sama sekali meniru pendidikan model barat. Sistem pendidikan klasikal ala Barat ditolak. Materi pelajaran berasal dari Barat seperti berhitung, menulis latin, ilmu alam dll., juga tidak diajarkan.
Begitu juga dengan cara berpakaian. Pada Muktmar ke-2 NU di Surabaya pada 9 Oktober 1927, para kiai pesantren membuat keputusan “legendaris” dan monumental; mengharamkan pemakaian celana (pantalon), dasi, dan sepatu.
Bunyi lengkap dari keputusan itu, adalah: “Apabila memakainya itu sengaja meniru orang kafir untuk turut menyemarakkan kekafirannya, maka hukumnya orang itu menjadi kafir (dengan pasti). Apabila tidak sengaja meniru sama sekali, tetapi hanya sekedar berpakaian demikian, maka hukumnya tidak terlarang, tapi makruh”.
Membaca teks asli keputusan itu, jelas ilat (alasan hukum) dari keputusan itu adalah semangat heroisme. Semangat anti Belanda yang kafir. Jadi, hukum dasar keharamannya bukan terletak di pantalon, sepatu dan dasi. Tapi, di unsur penyerupaan. Karena dengan menyerupai, berarti bisa diartikan mendukung. Dalam bahasa keputusan itu, menyemarakkan kekafiran. Ini ranah ilmu ushul fiqh yang sangat dikuasai oleh para kiai pesantren.
Namun, lagi-lagi patut disayangkan, keputusan hukum yang sarat nuansa patriotik tersebut, seakan-akan malah menjadi bukti sejarah soal ”ketradisionalan dan kekolotan” pesantren. Semangat patriotik yang tergambar jelas di balik keputusan itu, dinafikan.
Ini karena para peneliti dan penulis sejarah di awal-awal kemerdekaan, memang sangat minim yang berlatar belakang pesantren. Padahal kalau dicermati, keputusan itu sangat visioner. Sangat maju, sama sekali tidak relevan untuk dijadikan bukti dari ketradisional dalam bertindak dan berpikir.
Di pihak lain, para tokoh Islam yang ada di perkotaan, menempuh jalur untuk mengadopsi apa yang dilakukan Belanda. Salah satunya, dengan mendirikan pendidikan ala Barat. Dalam arti, menerapkan atau meniru sistem klasikal, murid dan guru menggenakan pakaian ala Belanda (celana, sepatu dan dasi), serta mengajarkan mata pelajaran-pelajaran umum yang berasal dari barat.
Gerakan modernisasi ini dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam yang pada umumnya berpendidikan Barat. Einar Martahan Sitompul, dalam bukunya, NU dan Pancasila mengatakan, gerakan pembaharuan muncul dan berkembang dalam sosok Serikat Islam (SI) dan Muhammadiyah. Gerakan pembaharuan muncul akibat persentuhan yang sangat intensif antara Islam dan peradaban Barat pada abad 20. (hal. 49)
Sarikat Islam (SI) berdiri pada 1911. Dilihat dari tokoh dan pendirinya, SI merupakan perkumpulan para priyayi Jawa. Tokoh sentral SI adalah Raden Mas Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Selain mengenyap pendidikan Barat, di dalam tubuhnya masih mengalir darah pesantren. Dia adalah putra bupati Ponorogo dan cicit Kiai Kasan Besari dari pesantren Tegalsari, Ponorogo. Hasan Besari adalah guru atau kiai dari Pangeran Diponegoro. Konon, HOS Cokroaminoto juga sempat nyantri ke leluhurnya itu.
Sedang KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah semestinya sama sekali tidak mengeyam pendidikan Barat. Riwayat pendidikannya sama persis dengan KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau adalah elite priyayi Jawa (abdi dalem keraton). Hanya, seperti diungkapkan Abdul Munir Mulkhan dalam buku, Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, beliau memandang bahwa iptek modern dan pengalaman bangsa Barat merupakan pengalaman universal yang cocok dengan tafsir Al-Quran. (hal. 25)
Dari prinsip itulah, Kiai Dahlan mengambil strategi yang berbeda 180 derajat dengan jalur yang ditempuh para kiai pesantren. Perbedaan ini bisa dipahami. Kiai Dahlan yang tinggal di tengah-tengah perkotaan, tentu menghadapi situasi yang berbeda dengan yang dihadapi kiai pesantren. Maka, strategi yang ditempuh Kiai Dahlan adalah mendirikan sekolah-sekolah formal model Belanda, namun diberi muatan pendidikan agama Islam. Kiai Dahlah juga menderikan rumah sakit dan panti-panti asuhan.
Apa target dari strategi Kiai Dahlan ini? Kurang lebih sama dengan target yang hendak dicapai kalangan pesantren. Yakni, untuk membendung Kristenisasi dan Westernisasi yang dilakukan Belanda, khususnya di wilayah perkotaan. Juga, untuk menanamkan jiwa patriotisme untuk membebaskan diri dari cengkeraman penjajah. Hanya, caranya berbeda.
Hasil dari ijtihad Kiai Dahlan itu, maka lahir anak-anak pribumi yang menguasai ilmu-ilmu Barat (modern), namun tetap memahami agama Islam. Mereka itu, di kemudian hari menjadi para kaum teknokrat muslim yang berjiwa nasionalis. Beda dengan kaum terpelajar bumi putra yang dididik di sekolah-sekolah Belanda yang tidak mengenal Islam.
Sampai sejauh ini, persoalan serius tidak terjadi. Benturan-benturan kecil memang sempat terjadi antara Kiai Dahlan dengan beberapa kiai penghulu Keraton. Namun, masih dalam tataran personal. Apalagi, personifikasi Kiai Dahlan tetaplah sebagai kiai pada umumnya.
Menurut Mulkhan, Kiai Dahlan adalah seorang Sufis Ghozalian (Mulkhan, hal. 24) . Secara fiqih, juga masih condong Syafi’iyah.
Pada fase ini, di kalangan pesantren belum terbersit untuk mendirikan organisasi. KH Hasyim Asy’ari yang mengenal dengan baik Kiai Dahlah, bahkan memberikan dukungan atas perjuangan teman seperguruannya itu. Kiai Hasyim memerintahkan para santrinya agar membantu perjuangan Kiai Dahlan.
Ketika masih sama-sama belajar di Makkah, Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim memang memiliki kecondongan (passion) yang berbeda. Kiai Dahlan tertarik dengan pergerakan. Sehingga banyak mempelajari gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah, terutama di Masir. Sehingga beliau pun akhirnya menjadi penggerak persarikatan yang handal.
Sedang Kiai Hasyim lebih tertarik untuk secara serius mendalami ilmu-ilmu keislaman. Dari kecondongan inilah, Kiai Hasyim akhirnya menjadi ulama yang dikenal sangat alim (alim alamah). Di zaman itu, mayoritas kiai di tanah Jawa dan Madura adalah santri Kiai Hasyim.
Berangkat dari sinilah, sebutan Hadratus Syeikh (Mahaguru), disematkan ke beliau.
Kiai Hasyim dikenal sebagai ahli hadist. Karena kealimannya itu, setelah pulang di tanah air dan mengasuh pesantren Tebuireng, banyak gurunya –termasuk Syaichona Kholil dari Bangkalan yang dikenal sangat alim—juga menyempatkan diri memperdalam ilmu hadist dengan Kiai Hasyim. (bersambung)
Akhmad Zaini
Mantan Jurnalis, kini menjadi pendidik di IAINU Tuban.