Muhammadiyah: Bahaya, Politik Ciptakan Polarisasi
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengingatkan, bahaya dampak politik yang telah membelah (polisasi) bangsa ini menjadi kubu yang saling berhadapan. Lebih bahaya lagi, agama digunakan untuk menyerang orang atau kelompok yang berseberangan.
“Polarisasi sengaja diciptakan dalam politik. Berbagai varian pun digunakan untuk membelah dua kubu,” ujar Sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti saat meresmikan Gedung Nyai Walidah di Kota Probolinggo, Minggu, 13 Januari 2019.
Dikatakan ada sejumlah polarisasi yang sengaja diciptakan dan dihadap-hadapkan. “Mulai muslim versus non muslim, modernis dengan tradisional, moderat dengan radikal, Jawa dengan non Jawa, pribumi dengan non pribumi, laki-laki dengan perempuan, hingga pusat dihadapkan dengan daerah,” ujar Mu’ti.
Bahkan yang berbahaya, kata Mu’ti, agama dijadikan alat untuk menyerang Capres-Cawapres. “Misal, ada video yang menayangkan seseorang berwudlu dengan air segayung. Sampai-sampai ada kiai yang mencoba ikut menjelaskan dari segi fiqih (hukum Islam) terkait kaifiyat wudlu,” ujar pria kelahiran Kudus, Jateng itu.
Kini, sebagian besar masyarakat terbelah menjadi pendukung Capres-Cawapres nomor 01 dengan 02. “Ketika masyarakat terbelah menjadi pendukung 01 atau 02, yang lucu muncul Capres-Cawapres Nurhadi-Aldo dari Partai Tronjal-Tronjol,” kata Mu’ti sambil tertawa.
Gesekan politik pun mewabah hingga ke seluruh pelosok nusantara. Mukti mencontohkan, di Gorontalo, ada gesekan politis yang sampai melibatkan mayat.
“Ada kasus di Gorontalo, dua mayat yang sudah dikubur diminta dibongkar, karena ahli waris si mayat tidak mendukung Caleg yang memiliki lahan pemakaman,” ujarnya.
Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu kemudian mengutip buku, The Death of Expertise karya Thomas N. Nichols. "Apa yang terjadi di Amerika dalam buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Matinya Kepakaran itu, sepertinya sudah melanda di Indonesia," ujarnya.
Ketika terseret dalam polarisasi politik, kata Mu’ti, banyak orang yang nalarnya, hati nuraninya ikut mati. "Bahkan dari kalangan pakar pun ada yang tidak netral alias memihak," ujarnya.
Alumnus IAIN Walisongo Semarang itu menambahkan, gejalanya matinya nalar sehat dan kritis itu ditandai dengan merajalelanya hoax di media sosial. Sehingga matinya nalar sehat mengakibatkan kebohongan semakain mewabah di mana-mana.
Kepada ribuan warga Muhammadiyah yang menghadiri pengajian di Gedung Nyai Walidah, Mu’ti berpesan, agar Muhammadiyah tidak diseret-seret ke politik praktis. "Muhammadiyah tidak ikut politik praktis, tetapi orang-orang Muhammadiyah ada di mana-mana," ujarnya.
Mu’ti pun mengklarifikasi informasi hoax bahwa dirinya telah bergabung menjadi tim sukses Capres-Cawapres tertentu dalam Pilpres 2019 ini. "Informasi itu tidak benar, saya tidak bergabung dengan timses Capres-Cawapres mana pun," ujarnya.
2018 Tahun Bencana
Abdul Mu’ti pun mengingatkan, mengingatkan pentingnya pendidikan mitigasi kebencanaan bagi warga yang tinggal di daerah rawan bencana. Ini untuk mengurangi dampak bencana dengan kemampuan deteksi dini. "Banyak orang memahami musibah dalam pengertian yang negatif," katanya.
Musibah, versi Tarjih Muhammadiyah, ada yang positif dan negatif. Sebagian besar musibah karena perilaku manusia, sebagian merupakan ujian dari Allah. "Sisi lain, terjadinya musibah itu bisa diprediksi dengan ilmu. Ini yang kita sebut sebagai mitigasi," ujar Mu’ti.
Sebagian warga negeri ini menyikapi musibah dengan berbagai pendekatan, mulai mistis hingga akademis. "Muhammadiyah melihat bencana dan musibah menggunakan pendekatan teologis sesuai akidah Islam sekaligus pendekatan ilmiah," katanya.
Terkait bencana yang bertubi-tubi melanda Indonesia, beberapa waktu lalu Muhammadiyah sudah menerbitkan buku Fikih Kebencanaan. Isinya, mengupas bencana dari sisi teologi Islam sebagaimana Alquran berbicara tentang bencana.
"Kita harus mengantisipasi sesuai pepatah sedia payung sebelum hujan. Tapi sayangnya masyarakat masih kurang edukasi," kata Mu’ti.
Mu’ti mengaku, ada gejala charity caricature saat bencana melanda bertubi-tubi. Artinya, ada orang yang berderma kepada korban bencana tetapi sengaja dipertontonkan kepada khalayak publik. "Mungkin nyumbangnya Rp 50 juta tetapi biaya eksposnya hingga ratusan juta," ujarnya.
Bencana demi bencana, kata Mu’ti juga menimbulkan gejala “kesel nyumbang” (donor fatigue) di masyarakat. “Mungkin karena bencana demi bencana yang terus-menerus akhirnya ada sebagian masyarakat yang hanya menonton saja,” katanya.
Sisi lain ada lembaga survei di Inggris yang memberikan penghargaan kepada Indonesia. "Warga Indonesia dinilai paling dermawan karena sering menyumbang, mengalahkan Inggris dan Amerika," ujar Mu’ti yang juga salah satu Advisor di The British Council London sejak 2006 itu. (isa)