Muhammadiyah, Antara Dinamika Ijtihad dan Inkonsistensi Pemikiran
oleh : Ahmad Musta’in Syafi’ie
SEJAK Muhammadiyah (MD) lahir hingga Presiden Soeharto lengser, dalam menyuka hilal selalu pakai Rukyah. Malah derajat hilalnya tinggi-tinggi, 4,6 dst. Tahun 1990an pernah istikmal tiga kali berturut-turut (?).
Era itu, Tim Rukyah NU yang berhasil merukyah dan datang ke kantor Pengadilan Agama atau Depag, berani disumpah mesti gak digubris. Kantornya ditutup dan sebagainya.
Bagi KH Mahfudz Anwar, pakar Falak Jombang, dua derajat lebih sedikit sangat memungkinkan rukyah. Maka NU sering Riyaya duluan (Idul Fitri, red).
Pemerintah yang dikuasai MD selalu istikmal.
Dalilnya di TV pasti ayat kewajiban taat kepada Ulil Amri. Maklum, MD lebih disayang Pak Harto.
Bagitu Pak Harto lengser dan Gus Dur jadi presiden, MD yang semula menguasai Depag dan pakai derajat tinggi mesti terlambat, berubah total dengan menggunakan metoda Imkan a-wujud meski tak mungkin bisa dirukyah.
Yang penting hilal sudah ada, di atas ufuk berapa pun derajatnya. Persyetan dengan rukyah-rukyahan.
Muncul di Mesir
Teori Imkan Al-wujud ini pernah muncul di Mesir saat Lembaga Syariah dipimpin oleh Al-Syaikh Ahmad Mustafa al-Maraghi tahun 1930an meski tidak diterima oleh jumhur ulama di sana.
Dilihat dari sejarahnya, perubahan pola pikir MD soal hilal ini jelas terkait dengan situasi politik. Dan pembacaan ini sah-sah saja.
Dulu, saat berkuasa, dulur-dulur MD istiqamah hadir di sidang Itsbat dan berdasar rukyah. Kini…
Di TV, demi pembenaran diri dan nyindir NU mereka ndalil “athi’u Allah wa athi’u Al-rasul wa Ulil Amr minkum. Sekarang..?
Dalam sebuah diskusi soal pola pikir dulur-dulur MD tentang hilal ini, pernah penulis lontarkan pertanyaan: Ini Dinamika Ijtihad atau Inkonsistensi Pemikiran?
Beda, kalau NU sejak dulu, baik sedang berkuasa atau tidak selalu pakai Rukyah. Sementara MD, saat berkuasa dulu pakai Rukyah. Saat ini, tidak.
Demi maslahah umat, bagaimana kalau padha ngalahe (saling tenggang rasa, red) sehingga bisa kompromi. Ibarat jual beli dan amrih dadine (biar sama-sama enak, red), yang atas turun dan yang bawah naik.
Contoh, hilal minimal satu derajat … atau..? Bisa dirukyah atau tidak.
Perkara dalil sama-sama punya. Perkara argumen juga sama-sama punya.
Hanya orang bijak yang bisa mengedepankn masalah ammah, mengenyampingkn ego sektoralnya.
Apapun adanya, sesama mukmin adalah saudara dan al-Faqir tetap berucap:
تقبل الله منا ومنكم الصيام والقيام وجعلنا من العائدين الفائزين
والله معكم
DR KH Ahmad Musta’in Syafi’ie
Mudhir Pondok Pesantren Madrasatul Qur'an, Dosen Universitas Hasyim Asy'ari, Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Advertisement