Mudik Transformatif
Ada yang bilang mudik tahun ini kurang berisik. Sebab, tak ada kabar tragedi yang menyertainya di jalanan. Arus lalu lintas di jalanan lancar. Kalau pun ada kepadatan itu masih dalam batas kewajaran. Tidak ada kabar pemudik harus keleleran di jalan berjam-jam.
Mudik bukan lagi perjuangan hidup dan mati seperti dulu lagi. Ketika orang berebut naik kereta api dan menjadi pepes manusia dalam gerbong. Juga tidak ada lagi kabar orang harus bermalam di jalan tol karena terjebak macet jalan bebas hambatan.
“Ah kurang asyik,” kata mereka yang pernah mengalami bertahun-tahun yang lalu.
Manajemen arus mudik maupun arus balik lebaran harus diakui makin baik dari tahun ke tahun. Baik untuk mereka pengguna transportasi publik maupun yang membawa kendaraan sendiri. Tak ada lagi berita kecelakaan lalu lintas yang memakan banyak korban. Bahkan, perjalanan menjadi menyenangkan.
Perkembangan ini jelas makin memperkecil pengalaman unik para pemudik muda. Pengalaman merasakan perjuangan di jalanan untuk bisa berkumpul bersama keluarga besar di kampung halaman. Mengurangi cerita dramatik dan terkadang mengenaskan untuk bisa bertemu orang tua bagi mereka yang menjadi perantauan.
Sekadar mengingatkan, sampai dengan lima tahun terakhir, selalu ada drama setiap musim mudik lebaran tiba. Mulai kemacetan berjam-jam jalan tol maupun jalan arteri nasional. Perang tiket angkutan umum. Sampai dengan kecelakaan lalu lintas dengan korban besar yang selalu menjadi horor dalam setiap musim lebaran.
Tradisi mudik lebaran ini merupakan khas Indonesia. Setelah duet Bung Karo yang saat itu menjadi Presiden RI Pertama dan salah satu pendiri NU KH Wahab Hasbullah menciptakan tradisi Halal Bi Halal. Sebuah tradisi untuk saling maaf memaafkan setelah umat Muslim menyelesaikan kewajiban berpuasa selama bulan Ramadhan.
Sebagai tradisi yang diciptakan berdasarkan hasil ijtihad antara umara (pemerintah) dan ulama (tokoh agama) tentu tidak bisa ditelusuri tradisi itu di Zaman Nabi Muhammad. Karena itu, menjadi lucu ketika seorang pencermah agama mempersoalkan dasar sunnah Nabi tentang hal itu. Tentu teks yang ada dari Nabi adalah anjuran untuk bersilaturahmi dan memafkan antar sesama.
Memang tidak semua fenomena sosiologis bisa ditarik ke dalam teks. Apalagi konteks sosiologis jaman sekarang jauh berbeda dengan konteks sosiologis di jaman Nabi masih hidup. Mempersoalkan tradisi yang baik yang diciptakan hanya dengan frame teks Alquran dan sunnah malah menjadi sesuatu yang tak masuk akal. Seperti menganggap Halal Bi Halal atau saling memaafkan di bulan syawal sebagai penyimpangan.
Jika pandangan tekstual seperti itu diteruskan tentu akan menjadikan agama sebagai sesuatu yang statis. Menjadi sesuatu yang jumud. Menjauhkan agama dari konteks sosial dalam setiap jaman yang terus berubah. Keberagamaan menjadi sesuatu yang bisa dianggap antitesa bagi kemajuan. Padahal, agama seharusnya menjadi inspirasi dan solusi dari setiap persoalan manusia dalam segala jaman.
Disinilah tampaknya para agamawan mulai perlu membuka diri. Terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Sehingga bisa menyelaraskan antara agama sebagai keyakinan dan agama sebagai realitas sosial. Ekspresi keagamaan yang mewujud dalam peradaban dalam setiap perkembangan umat manusia.
Tradisi mudik dan halal bi halal adalah salah satu contoh kecil bagaimana agama menjadi inspirasi dan solisi sosiologis umat manusia Indonesia. Tradisi yang dibangun atas dasar ajaran teks tentang keharusan antar manusia untuk saling berhubungan. Tradisi yang terbangun berdasarkan keyakinan akan teks perlunya umat beragama saling berempati dan memaafkan.
Banyak yang masih belum bisa memisahkan antara agama sebagai keyakinan dan agama sebagai realitas sosial. Yang kedua lebih sebagai interpretasi orang beragama terhadap keyakinannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan dalam memisahkan antara keduanya sering menjadikan benturan-benturan antar pemeluk agama.
Mudik sebagai sebuah tradisi juga pasti akan mengalami transformasi. Setiap saat, tradisi itu akan berubah wujud dalam bentuk baru sesuai dengan perkembangan jaman. Jika dulu mudik menjadi ritual yang penuh perjuangan, kini nilai perjuangan tersebut semakin berkurang dengan perkembangan teknologi informasi dan tata kelola infrastruktur transportasi publik.
Di media sosial, lima tahun lalu, yang viral adalah segala bentuk perjuangan untuk bisa kembali dari perantuan, konon sudah berubah. Ada akun @biasalahabakmuda di Twitter. Mereka bikin thread tentang keabsurdan rumah pas mudik. Viral. Padahal cuma berisi tentang posting ulang pengalaman anak muda saat mudik ke kampungnya.
Ada yang cerita tentang kamar mandi yang sudah menggunakan kloset duduk. Kan makin banyak mereka yang tak bisa pakai kloset jongkok. Sudah pakai sprayer. Tapi tetap saja disediakan timba plastik dan gayung. Ada juga yang bercerita tentang pintu tembok yang unik yang konon bisa tembus ke Hoghwart. Sekolah sihir dalam film Harry Potter.
Dus, mudik menjadi sesuatu yang fun. Sesuatu yang lucu-lucuan. Terkadang receh. Atau sesuatu yang simpel-simpel. Seperti cara berpikir generasi sekarang. Lebih rasional. Yang yang emosional. Boleh jadi masih ada nilai emosionalnya. Tapi itu dikemas dalam peristiwa yang terkesan receh dan menyenangkan. Mudik yang mengasyikkan.
Transformasi mudik ini tidak harus ditanggapi dengan perspektif agama sebagai keyakinan. Mudik lebaran dan halal bi halal harus dilihat sebagai peristiwa sosiologis. Sebagai ekspresi dari realitas keberagamaan. Menjadi baguan dari tafsir akan keyakinan atau teks dalam agama.
Sehingga menjadikan agama dan beragama sebagai sesuatu yang mengasyikkan. Bukan yang menegangkan. Apalagi sampai menimbulkan konflik yang berkepanjangan.