Mudik Piknik
Erwan Widyarto, aktifis pariwisata asal Yogyakarta punya tawaran menarik. Ia menyodorkan paket piknik ke Magelang saat masa mudik Lebaran.
"Ayo taat. Ra sah mudik. Piknik wae nang Jogja dan Magelang. Nginep di D'Lengkung Pawon Teh Tudung," tulis dia dalam laman medsosnya.
Kurang lebih tulisan itu berarti ajakan untuk taat pemerintah agar tidak mudik lebaran. Sebab, pemerintah pusat memang melarangnya. Terutama pada tanggal 6-17 Mei 2021.
Tapi di sisi lain, ia juga menyarankan orang untuk piknik. Ke Jogja dan Magelang. Terus nginep di D'Lengkung Pawon Teh Tudung, destinasi baru wisata di kota Tidar.
Iklan plesetan khas Jogja ini memang mencerminkan dilema warga Indonesia saat ini. Dalam menghadapi hari Raya lebaran kedua setelah masa pandemi Covid-19.
Pemerintah pusat dengan tegas telah mengeluarkan larangan mudik. Bahkan Presiden Joko Widodo ikut bicara. Mudik dilarang agar tak menyebarkan Covid-19.
Saya bisa paham dengan kecemasan Pak Jokowi. Harus diakui, fasilitas kesehatan di desa atau daerah masih belum mencukupi. Karena itu, kalau terjadi ledakan kasus, tingkat kematiannya akan tinggi.
Bayangkan. Kalau mudik diizinkan, jutaan orang akan mengalir dari kota ke desa. Mulai kota besar sampai dengan kecil. Mulai orang yang sudah dewasa maupun bayi.
Kita tidak tahu mereka yang mudik ini sehat atau tidak. Sedang positif Covid atau sehat. Tak mungkin melakukan tracing maupun tes semua orang yang mudik.
Sementara vaksinasi juga belum mencapai batas minimal untuk herd immunity. Ketika sebagian besar populasi di negata kita kebal terhadap virus corona. Sehingga melindungi lainnya.
Jika 80 persen penduduk kita kebal terhadap virus, maka 4 dari 5 orang yang bertemu tak akan sakit. Juga tak akan menyebarkan virus tersebut lebih jauh. Itulah saat disebut telah terjadi herd imunity.
Persoalannya berapa persen penduduk kita yang sudah kebal? Ini yang susah dijawab. Kekebalan terhadap virus bisa diperoleh karena sudah pernah terinfeksi maupun karena vaksinasi.
Sampai bulan kemarin, vaksinasi baru menjangkau 10 juta orang. Saat ini, kata Menkes Budi Gunadi Sadikin, tersedia 15 juta vaksin. Masih amat rendah dibanding jumlah penduduk kita.
Belum lagi --kata ahli epidemologi-- tidak semua orang yang telah disuntik vaksin membentuk imunitas. Bisa juga kalah cepat dengan datangnya varian baru Covid yang lebih cepat menular.
Maka berhati-hati dengan cara mengendalikan mobilitas manusia menjadi jalan tak terelakkan. Larangan mudik menjadi sangat masuk akal jika dilihat dari kenyataan di atas.
Jadi, fasilitas kesehatan yang belum merata, kekebalan kelompok yang masih jauh dari panggang api, dan tingkat kematian yang tinggi bisa menjadikan mudik haram. Cuma mengapa larangan mudik itu hanya berlaku 6-17 Mei?
Ini yang memberi celah mudik dengan kemasan lain. Apalagi di tengah wacana pelarangan mudik, menyeruak diperbolehkannya warga ke tempat-tempat wisata. Seakan mudik haram, wisata silakan.
Entah sengaja atau tidak, kebijakan seperti ini menjadi pemicu kontroversi di publik. Bahkan bisa membuka ruang untuk digoreng menjadi isu politik yang bisa merugikan pemerintah wabilkhusus presiden.
Sebenarnya mudik selalu menjadi bagian dari geliat ekonomi. Ia menjadi instrumen untuk meningkatkan belanja masyarakat, menggerakkan perputaran uang ke daerah dan menjadi tool mengungkit ekonomi daerah.
Sementara pariwisata juga menjadi andalan pemerintah menjadi penggerak ekonomi. Bahkan menjadi salah satu lokomotif di era pemerintahan sekarang. Sektor yang ikut terpuruk di saat pandemi Covid-19.
Karena itu, jika belum keluar larangan alangkah baiknya mudik tetap dibolehkan dengan syarat. Mudik dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Mudik bermartabat dan bermanfaat.
Apalagi, setelah setahun lebih pandemi berlangsung ada dua gejala yang muncul sekaligus: new normal lifestyle dan pandemic fatigue. Pemahaman yang besar terhadap perlunya prokes akibat lelah dan ingin segera lepas dari pandemi.
Di satu sisi ada kesadaran besar terhadap protokol kesehatan. Di sisi lain ada gejala kelelahan menghadapi situasi pandemi yang memang belum tahu pasti kapan akan berakhir.
Pada situasi pandemic fatigue, maka menggerakkan partisipasi menjadi penting. Menjadikan pencegahan Covid-19 tidak hanya tanggungjawab pemerintah, tapi juga publik secara keseluruhan.
Kontrol pelarangan mudik dipastikan tidak bisa berjalan efektif sepanjang ada fatigue dalam masyarakat. Justru yang dibutuhkan adalah partisipasi umum untuk bersama tidak menjadi penular dan penyebar Covid-19.
Maka mudik piknik bisa menjadi pilihan jalan tengah. Pemerintah hanya menjadi bagian untuk tracing dan testing di pintu-pintu masuk daerah tujuan mudik. Selebihnya diserahkan kepada partisipasi pemudik.
Rasanya penting ada revisi kebijakan mudik menjadi mudik piknik.
Advertisement