Mudik Ilaihi Raji'un
Oleh: Khoirul Anwar
Wakil Ketua PCNU Kota Malang, pengurus Lembaga Ta'lif wa-Nasr (LTN) PBNU.
Hari-hari ini mudik menjadi perjalanan favorit. Serasa memulai perjalanan panjang melintasi jalan-jalan kenangan, mudik dalam tradisi umat Islam di Indonesia bukan cuma sekadar perpindahan lintas geografis. Mudik merupakan perjalanan filosofis menuju inti keberadaan dan esensi spiritual.
Tersemai dalam lekuk waktu, tradisi mudik menggugah sanubari. Bersama menuntun langkah ke arah sangkan paraning dumadi—sumber dan tujuan kehidupan manusia. Ilaihi raji'un.
Seperti benang sutra yang menyatukan masa lalu, kini, dan yang akan datang, tradisi mudik muslim Indonesia menguraikan makna dalam peta kehidupan yang lebih luas. Dalam tapestri budaya Indonesia, mudik berlapis makna. Terentang antara dunia fisik dan ruang spiritual. Seperti sungai yang mengalir kembali ke sumbernya, mudik mengajak jiwa merenungi perjalanan hidup yang fana menuju abadi.
Frase "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un"—kita semua berasal dari Allah dan kepada-Nya kita kembali—bukan sekadar ucapan saat berduka. Itu juga sebuah refleksi mendalam tentang esensi kembali atau pulang yang dibawa oleh mudik. Hal ini mengingatkan bahwa setiap langkah ke depan adalah gerakan menuju hakikat keberadaan yang lebih dalam.
Narasi Besar Kehidupan
Menapaki jejak mudik adalah merangkai kisah pribadi dalam narasi besar kehidupan. Setiap kilometer yang dilalui tak hanya mengurangi jarak fisik, tetapi juga mengikis batas antara individu dengan akar dan asal-usulnya.
Mudik menjelma sebagai medium, menghubungkan diri dengan warisan leluhur, mengingatkan akan nilai-nilai yang terkandung dalam dekapan keluarga dan kehangatan komunal. Dalam kebersamaan itulah, terajut tali kekeluargaan yang lebih erat, menenun harmoni yang menguatkan ikatan jiwa.
Mudik, dalam konteks keislaman, mencerminkan perjalanan hidup manusia yang sementara ini. Di mana setiap individu adalah peziarah dalam dunia fana. Seperti ibadah haji yang mengajarkan tentang persamaan, kesederhanaan, dan persaudaraan, mudik mengajarkan tentang kerendahan hati, kesabaran, dan ketabahan.
Dalam perjalanan pulang, terbuka lembaran-lembaran baru untuk memahami arti kesederhanaan hidup, mengapresiasi momen bersama orang-orang terkasih, dan menginternalisasi pelajaran kehidupan yang berharga.
Dalam dinamika mudik, terkandung pelajaran tentang kehidupan dan kematian. Tentang bagaimana setiap detik berharga dan harus dimaknai dengan tindakan yang berarti.
Ini adalah refleksi dari "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un". Mengingatkan bahwa setiap awal memiliki akhir, dan setiap pertemuan pasti diikuti perpisahan. Karenanya, mudik menjadi momen introspeksi, saat untuk mengevaluasi kembali esensi hidup dan mempertajam arah tujuan spiritual.
Momen mudik juga membuka ruang bagi keluarga untuk merekat kembali. Memperbarui ikatan yang mungkin renggang akibat jarak dan waktu. Dalam dekapan keluarga, terdapat kekuatan yang memulihkan, menciptakan harmoni yang menenangkan hati dan pikiran. Suasana ini adalah waktu ketika tradisi lama direvitalisasi, nilai-nilai luhur diajarkan kembali, dan fondasi keimanan diperkuat dalam kerangka kebersamaan dan kasih sayang.
Penutup perjalanan mudik tidak hanya berarti kembali ke rutinitas. Mudik juga membawa pulang esensi dan pelajaran yang dipetik selama perjalanan.
"Dan Dialah yang menciptakan langit dan Bumi dalam enam masa, dan 'Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Jika engkau berkata (kepada penduduk Makkah), "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan setelah mati," niscaya orang kafir itu akan berkata, "Ini hanyalah sihir yang nyata." (QS. Hud 11: Ayat 7)
Ayat ini menegaskan bahwa kehidupan adalah ujian yang esensinya adalah menunjukkan amal terbaik.
Penyair sufi Jalaludin Rumi bilang, "Jalan hidup bukanlah di depan atau di belakang kita, tetapi di dalam kita." Ini menggambarkan bahwa perjalanan mudik dan kehidupan adalah introspeksi dan pencarian makna dalam diri sendiri, mengungkap lapisan-lapisan kehidupan yang tersembunyi di balik rutinitas sehari-hari.
Ketika langkah-langkah kembali ke rumah menjelma menjadi ritual tahunan, mudik pun lebih dari sekedar tradisi. Ia adalah perjalanan hati yang menuntun kembali ke esensi, ke pusat diri dan spiritualitas. Seperti kekasih yang bertemu setelah lama berpisah, setiap sudut rumah, setiap aroma masakan ibu, setiap senyuman saudara, membawa kehangatan dan kedamaian. Mengisi ruang hati dengan cinta dan kebahagiaan.
Mudik, dengan segala kerumitannya, adalah cerminan dari perjalanan kehidupan itu sendiri. Jalan yang kita tempuh, penuh dengan liku-liku, cerita, dan pelajaran. Dan hidup itu sendiri adalah perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang siapa kita dan apa makna sejati dari kehidupan ini.
Seperti mudik yang pada akhirnya membawa kita kembali ke rumah asal kehidupan. Juga perjalanan kembali kepada Sang Pencipta, mencari arti di balik keberadaan, dan mengisi setiap detik dengan amal yang bermakna.
Sebuah perjalanan panjang kehidupan, di mana setiap langkah harus diisi dengan kasih, harapan, dan kebijaksanaan. Lalu mencari dan menemukan makna dalam setiap perjumpaan dan perpisahan. Sampai saatnya kita kembali kepada-Nya.
Kembali ke sumber dari segala eksistensi. Selamat mudik sobat! (*)
Advertisement