Mudik dalam Spiritualisme Masyarakat Jawa (3-Habis)
Oleh: Anwar Hudijono
Siapapun yang mendisain konsep mudik yang menjadi tradisi masyarakat Jawa ini, pastilah manusia jenius. Memiliki tingkat kearifan yang tinggi. Bukan hanya ketajamannya melihat fenomena sosial pada masa konsep itu disusun, tetapi juga memiliki pemikiran yang visioner.
Lebih dari itu, dia atau mereka adalah manusia yang memiliki bashirah (mata batin) yang tajam seperti matahari. Sehingga mampu melihat apa yang akan terjadi masa depan sehingga mampu menyiapkan langkah-langkah antisipasi.
Bashirah itu suatu keutamaan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang terkinasih. Misalnya, Rasulullah Muhammad yang sudah tahu bahwa di masa depan Kerajaan Persia akan jatuh ke tangan umat Islam. Pemerintahan Khosru Yasdazird akan disobek-sobek tentara Islam seperti Khosru menyobek-nyobek surat Rasulullah.
Demikian pula ketika Hidlir mengatakan bahwa ada harta yang tersimpan di bawah rumah anak yatim piatu. Dia pasti bukan melihat dengan mata eksternal. Atau dengan alat yang canggih. Tetapi dengan bashirah.
Demikian pula ketika dia memutuskan membunuh seorang anak karena dia tahu anak itu akan durhaka kepada orangtuanya yang saleh. Memaksa orangtuanya menjadi kafir. Drama itu dikisahkan di Quran surah Kahfi.
Dengan bashirah Rasulullah Sulaiman melihat ada jazad yang tergeletak di singgasananya. Bukan melihat dengan mata eksternal. Bashirahnya pula yang langsung membuat kesimpulan, itulah mahluk yang berambisi hendak menguasai dunia dari Yerusalem. Mahluk yang mengerikan. Mengerikan bukan dalam bentuk wujud fisik, tetapi perbuatannya.
Untuk itulah Sulaiman mengangkat tangannya, seraya berdoa: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkan kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapapun setelahku. Sungguh, Engkau Yang Maha Pemberi.” (Quran: 38:35).
Siapa mahluk yang disebut jazad itu? Merujuk pandangan ekskalog Islam Syekh Imran Hossein adalah Al Masih Ad Dajjjal. Atau Dajjal.
Bashirah bukan ilmu terawangan para dukun. Ramalan ahlu nujum atau tukang sihir. Tukang ngramesi angka. Tukang ngotak-atik gambar. Kalau mereka ini dibisiki jin. Dan pasti hasil terawangan mereka itu sesat dan menyesatkan.
Kurang piknik
Lantas siapa penyusun konsep mudik itu? Saya tidak tahu. Hanya saya kira dia sekapasitas dengan Pujangga Agung Tanah Jawa Ronggowarsito. Dengan buku Serat Kalatidha, Ronggowarsito yang semasa mudanya bernama Raden Bagus Burhan dan nyantri di Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, secara tajam melihat persoalan manusia di jamannya. Sekaligus mampu melihat yang terjadi di masa depan.
Kalau mencermati skene-skene dan anatomi dramatikal di dalam peristiwa mudik akan kita dapati betapa arif dan visionernya penyusun konsep mudik Idul Fitri ini.
Misalnya, di dalam silaturahmi terdapat adegan memohon maaf dan memaafkan. Saling memaafkan. Memang ada yang sinis mengatakan, mengapa mau mohon maaf saja saat Idul Fitri. Kan bisa dilakukan sewaktu-waktu.
Sekilas pendapat itu menarik dan benar. Tapi ya cuma seperti riak air di atas batu kali. Tidak mendalam. Menyikapi pendapat demikian, biarkan saja. Mungkin lagi caper alias cari perhatian. Anggap saja yang ngomong begitu kurang piknik.
Saling memaafkan di momentum Idul Fitri itu untuk menyempurnakan episode kembali ke fitrah manusia. Karena ada dosa sesama manusia itu baru terhapus manakala sudah mendapat maaf dari orang yang didosai. Misalnya, Slamet berdosa kepada Kirun. Jika tidak mendapat maaf, maka pahala Slamet akan dikurangi untuk diberikan kepada Kirun sebesar dosa Slamet tersebut. Gimana ngitungnya? Innalla syari’ul hisab (Sesugguhnya Allah sangat cepat dalam menghitung).Kalau sudah dimaafkan Kirun maka dosanya terhapus.
Dengan demikian diharapkan selain dosanya mendapat ampunan dari Allah, juga dosanya sesama manusia terhapus semua. Dengan demikian benar-benar kembali ke fitrah secara kaffah, total.
Memang ini tidak mudah. Terutama yang kebanyakan ngrasani Jokowi, Prabowo, Habib Riziek, Amien Rais, Megawati, SBY, Gisel, Moeldoko, Anies Baswedan, Ahok, Sahrini dan sebagainya. (Makanya kurangi ngrasani atau ghibah. Berat..berat).
Lahir-batin
Contoh lain adalah lafal ucapan pada saat bertemu silaturahmi. Kalimatnya begini: “Nyuwun pangapunten sedaya kalepatan kula lahir tumusing batos.” Atau lebih sederhana: “Nyuwun pangapunten lahir-batin”. (Mohon maaf lahir-batin).
Redaksi kalimat ini khas Jawa. Dan itu hanya digunakan saat Idul Fitri. Yang umum di seluruh dunia ini cukup: Mohon maaf atas semua kesalahan saya. Atau, mohon maaf.
Dulu sering menjadi bahan diskusi, juga guyonan. Mengapa harus pakai “lahir-batin”. Mohon maaf saja kan cukup. (Untungnya tidak ada yang kemelipen mengatakan itu bid’ah).
Pertanyaan itu baru pada jaman now ini terjawab. Kalimat “lahir-batin” merupakan “penyangkalan” terhadap arus global yang akan mendangkalkan batin, spiritualisme. Bahkan membutakan.
Dalam konteks pendangkalan dan pelecehan spiritualisme dalam tradisi mudik dimulai dengan tuduhan bahwa mudik itu tidak efisien. Boros. Absurd. Ajang pamer kesuksesan di kota. Munafik karena di kota menjadi babu tapi kalau pulang ke desa bergaya juragan. Tidak akan efek ekonomi ke desa. Dan sebagainya.
Yang mengatakan demikian biarkan saja. Terhadap orang semacam ini sulit dibedakan antara ngomong dan gumoh. Mereka seperti mengukur dalamnya laut dengan sebatang lidi. Mereka layaknya melihat gajah dengan mikroskop. Yang terlihat hanya gelap.
Anggap saja si dia kurang ngopi. Berdebat dengan orang demikian hanya akan basah oleh semburan ludahnya. Sing waras ngalah gitu low.
Membenci jiwa
Babak selanjutnya, silaturahmi jabat tangan, saling bersaut-tutur diganti dengan kartu Lebaran. Berikutnya diganti dengan sms. Di jaman digital ini cukup diganti dengan meme, teks, emoji, audio, video. Masih mending video call. Mohon maaf langsung dirangkap secara massal. Satu pesan untuk satu grup WA. Satu pesan di medsos untuk manusia seluruh dunia. Kesannya sekadar iseng. Biar ramai gicu.
Silaturahmi Idul Fitri melalui medsos itu seperti gabah tanpa beras. Seperti meneguk gelas tanpa ada airnya. Bak kacang yang cuma kulitnya. Bak kolor tanpa celananya.
Dunia medos adalah dunia manipulasi. Palsu. Sering tidak sambung antara yang terungkap dengan yang tersimpan. Yang lahir dengan yang di batin. Semua dangkal. Maka pencarian konten di medsos disebut berselancar (surfing) karena hanya di permukaan, cepat dan segera berlalu.
“Medsos membenci jiwa kita,” kata Jaron Zepel Lanier, ahli filsafat komputer Amerika . Selanjutnya dia dalam bukunya yang mendunia, Ten Arguments For Deleting Your Social Media, menulis, medsos adalah bagian jaman edan. Medsos menghancurkan rasa empati Anda.
Lihat saja, ucapan duka cita entah dengan meme, teks, emoji, audio, video tanpa menyentuh relung hati. Menyatakan like (suka) tanpa lahir dari perasaan sebenarnya. Memaki, membully tanpa merasa berdosa dan bertenggang rasa.
Dengan demikian mudik dalam sepiritualisme masyarakat Jawa juga merupakan bagian dari kearifan menjaga mata batin manusia dari kebutaan. “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi sehingga hati (akal) mereka dapat memahami. Telinga mereka dapat mendengar. Sebenarnya bukan mata eksternal yang buta, tetapi yang buta ialah hati. (Quran: 22: 46).
Aktivitas mudik kini lumpuh oleh Covid-19. Tapi bukan hanya mudik, semua aktivitas ritual keagamaan maupun aktivitas spiritualisme juga terseok-seok bin gontai bin loyo bin seyek-seyek mirip jalannya mentok ambeien.
Ritual haji disetop. Umrah dibatasi. Shalat jamaah cidera karena shafnya tidak boleh rapat. Shalat Tarawih, Shalat Jumat agar dipercepat seolah dipaksa mengikuti kehidupan digital yang semakin cepat. Penyelenggaran peringatan keagamaan bisa dipidana. Salaman dilarang. Apalagi cium tangan untuk ngalap berkah, sama sekali dianggap sangat berbahaya.
Saya sependapat dengan Syek Imran Hossein, pakar eskatologi Islam, bahwa Covid-19 adalah strategi Dajjal menjalankan salah satu misinya yaitu memberikan ujian, cobaan (fitnah) terbesar kepada umat manusia. Dajjal menunjukkan kehebatannya.
Jika benar begitu kuncinya adalah yang disabdakan Rasulullah Muhammad. “Jika aku masih hidup, maka aku akan melindungi kalian dari Dajjal. Jika aku sudah meninggal maka Allah yang akan melindungi kalian.”
Rabbi a’lam (Tuhan lebih tahu).
*Anwar Hudijono, Kolumnis tinggal di Sidoarjo
5 Mei 2021